Sri Mulyani Inginkan Aset Indonesia Dikembalikan, Ungkap Nilai Utang Belanda yang Ditanggung Negara

Sri Mulyani inginkan aset Indonesia dikembalikan, ungkap nilai utang Belanda yang ditanggung negara.

Tribunnews/Jeprima
Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani. Tribunnews/Jeprima 

TRIBUNKALTARA.COM - Sri Mulyani inginkan aset Indonesia dikembalikan, ungkap nilai utang Belanda yang ditanggung negara.

Kemerdekaan indonesia bukan hanya diperjuangkan melalui tetesan keringat dan darah.

Tapi, kemerdekaan Indonesia harus dibayar dengan beberapa konpensasi agar kolonial Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia.

Dalam artikel ini, tersebut apa saja konpensasi yang harus dibayar pemerintah Indonesia untuk bisa merdeka.

Termasuk, pembebanan utang kolonial Belanda kepada pemerintah Indonesia.

Terjawab, jumlah & kronologi utang warisan Belanda, disoal Sri Mulyani, demi kedaulatan Indonesia.

Tak banyak yang tahu, rupanya Indonesia turut menanggung utang yang ditimbulkan Pemerintah Hindia Belanda.

Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, menyebutkan kalau Indonesia dihadapkan pada kondisi yang sulit bahkan sejak era kemerdekaan.

Menurut mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini, Indonesia merdeka tidak dalam kondisi perekonomian yang stabil.

Pasalnya, Belanda sendiri baru mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949-an.

"Jadi dari tahun 1945 sampai 1949 Indonesia masih terus berada dalam situasi intimidasi, konfrontasi, bahkan agresi Belanda.

Itu kondisi politik, militer, keamanan, dan ekonomi tidak pasti," ujar Sri Mulyani beberapa waktu lalu..

Baca juga: Anies Raih Penghargaan Nomor 1 Dunia Soal Transportasi Jakarta, Fadjroel Klaim Ada Jasa Jokowi-Ahok

Baca juga: Kabar Gembira, Ada PLN Gratis di November, Login www.stimulus.pln.co.id /WhatsApp, Langsung Berhasil

Baca juga: Cek Rekening Sekarang, Jadwal Pencairan BLT BPJS Ketenagakerjaan Awal November, Login kemnaker.go.id

Baca juga: Update Liga Italia Kondisi Terbaru AC Milan vs Udinese, Kejutan Susunan Pemain Pioli, Live Streaming

"Ekonomi kita diberi warisan, tidak hanya ekonomi yang rusak, tapi juga utang pemerintah kolonial," lanjut dia.

Mengutip pemberitaan Harian Kompas, 27 Desember 1985, utang warisan Hindia Belanda tersebut merupakan salah satu harga mahal yang harus dibayar pemerintah Indonesia untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan dari bekas negara penjajahnya tersebut.

Meski memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Indonesia secara de facto dan de jure baru mendapatkan status sebagai negara berdaulat pasca-kesepakatan Konferensi Meja Bundar ( KMB) tahun 1949.

Ada 3 delegasi yang berunding dalam KMB yang difasilitasi PBB yakni delegasi Indonesia, delegasi Belanda, dan delegasi Republik Indonesia Serikat (RIS).

Dalam KMB, delegasi Indonesia dipimpin oleh M. Hatta dan M. Roem sebagai wakilnya.

Delegasi Indonesia terdiri dari beberapa komite yang diketuai oleh Prof. Supomo, Dr. Juanda, Dr. Leimena, dan Dr. Ali Sastroamidjojo.

Sementara delegasi Belanda juga memiliki beberapa komite yang dipimpin Menteri Wilayah Sebrang Laut, Van Maarseveen.

Berikutnya adalah delegasi Federalis/ Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) yaitu komite yang didirikan oleh Belanda untuk mengelola Republik Indonesia Serikat (RIS).

Delegasi ini dipimpin oleh Sultan Hamid yang merupakan perwira KNIL yang juga putra sulung dari Sultan ke-6 Pontianak.

Dalam KMB, kesepakatan mengenai siapa yang harus menanggung utang Hindia Belanda jadi salah satu poin perdebatan yang sulit menemui titik temu.

Baca juga: Berani, Anies Naikkan UMP 2021 Jakarta Jadi Rp 4,4 Juta, Luncurkan Program Kartu Pekerja 4 Manfaat

Ini mengingat utang pemerintah Belanda yang ditinggalkan di Hindia Belanda sangat besar. Membengkaknya utang Hindia Belanda karena banyak pengeluaran yang harus dikeluarkan Belanda untuk melakukan dua agresi militer.

Pihak delegasi Belanda bersedia mengakui kedaulatan RI dengan catatan, Indonesia harus menanggung utang dari zaman pemerintahan Hindia Belanda hingga penyerahan kedaulatan.

Di sisi lain, pihak Indonesia hanya mau menanggung utang Hindia Belanda hingga Maret 1942, atau berakhirnya era Hindia Belanda seiring kedatangan Jepang.

Sehingga tidak menanggung utang yang timbul dari pengeluaran perang selama Agresi Militer Belanda.

Delegasi Indonesia sendiri akhirnya terpaksa menyetujui untuk membayar sebagian utang yang ditinggalkan Belanda atas nama Hindia Belanda yakni sebesar 4,3 miliar gulden atau setara 1,13 miliar dollar AS saat itu demi mendapatkan pengakuan kedaulatan dari Belanda.

Dengan kata lain dengan menanggung utang tersebut, pemerintah Republik Indonesia secara tidak langsung mengakui dengan terpaksa membiayai perang yang dikobarkan Belanda untuk kembali menjajah Indonesia.

Selain masalah utang, kesepakatan ekonomi lainnya dalam KMB adalah Indonesia harus mendapatkan persetujuan Belanda untuk menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia.

Indonesia juga diharuskan menanggung hidup 17.000 karyawan perusahaan-perusahaan Belanda hingga dua tahun ke depan setelah KMB.

Baca juga: Tak Ikuti SE Menaker, Sultan Hamengkubuwono X Berani Naikkan UMP 2021, Tapi Buruh Justru Kecewa

Aset Negara Diperjualbelikan

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan fakta upaya menyelamatkan keuangan negara melalui perbaikan pembukuan aset.

Hal itu terungkap dalam unggahan Juru Bicara Presiden RI Fadjroel Rachman di akun Instagram @jubir_presidenri, Senin (19/10/2020).

Dalam video tersebut, tampak Sri Mulyani memberikan kuliah umum di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 25 September 2018 lalu.

"Mulainya Republik Indonesia enggak punya neraca," papar Sri Mulyani.

Ia menjelaskan awalnya barang berharga milik negara, termasuk aset dan properti penting sebelumnya tidak pernah tercatat sebagai milik negara.

"Jadi barang milik negara pun tidak diadministrasikan, tidak di-record," katanya.

Ia menyebutkan hal itu sudah terjadi sejak masa kepemimpinan Presiden Soeharto.

"Kita asal bangun. Waktu Pak Harto 30 tahun bangun banyak sekali, enggak ada pembukuannya," ungkap mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini.

"Jadi waktu terjadi krisis kemudian kita punya Undang-undang Keuangan dan Perbendaharaan Negara, kita baru mulai membangun neraca keuangan," lanjutnya.

Baca juga: Link Live Streaming dan Jadwal Belajar dari Rumah TVRI Minggu 1 November 2020, Talkshow Hutan Kita

Pada proses pembukuan tersebut, Sri Mulyani menyebutkan hal pertama yang dilakukan adalah mencatat aset-aset penting yang menjadi milik negara.

Ia menuturkan dulu banyak aset negara yang diperjualbelikan dengan mudah karena tidak tercatat kepemilikannya.

"Di situ baru mulai muncul, 'Mari kita membukukan dan me-record'. Pertama mengadministrasikan, masukkan dulu dalam buku," tutur Sri Mulyani.

"Belum lagi tanah-tanah. Kalau menterinya lagi senang, saya kepengin jual tanah, saya jual tanah saja," lanjutnya.

Akibatnya, banyak aset penting yang hilang begitu saja.

"Karena dulu enggak pernah ada pengadministrasian, sehingga banyak sekali republik itu kehilangan cukup banyak aset strategis," kata Menkeu.

Ia memberi contoh pada kompleks Senayan yang dibangun pada era Presiden Soekarno.

Saat itu Bung Karno membangun kompleks Manggala Warna Bakti, TVRI, Hotel Hilton, Hotel Mulia, sampai Plaza Senayan.

Seluruh area tersebut merupakan milik negara.

"Salah satu contoh yang barangkali Anda lihat adalah kompleks Senayan Gelora Bung Karno," jelas Sri Mulyani.

Meskipun begitu, negara kehilangan status kepemilikannya karena tidak pernah tercatat dalam administrasi.

Ia memberi contoh pada area Hotel Hilton yang kini bernama Hotel Sultan.

Baca juga: Hasil Liga Italia, Conte Temukan Faktor Inter Milan Loyo Lawan Parma, Nyaris Dipermalukan Gervinho

"Karena tidak pernah dibukukan, suatu saat terjadi kerja sama, tiba-tiba swasta sudah punya titel," ungkap mantan Kepala Bappenas ini.

"Sehingga waktu kita membuat pembukuan, Hotel Hilton itu sudah tidak ada titelnya. Kita hilang," tambah Sri Mulyani.

Ia menuturkan, pemerintah harus berupaya keras mengembalikan Hotel Hilton menjadi milik negara kembali, dengan syarat boleh dipakai dalam kerja sama dengan swasta.

(*)

Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Berapa Utang Warisan Belanda yang Disinggung Sri Mulyani?", Klik untuk baca: https://money.kompas.com/read/2020/10/31/143252126/berapa-utang-warisan-belanda-yang-disinggung-sri-mulyani?page=all#page3.

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved