Polemik UU Cipta Kerja
Tak Main-main, Sujiwo Tejo Lempar Sindiran di Twitter Usai Istana Akui Kekeliruan UU Cipta Kerja
Sindiran menohok dilontarkan budayawan, Sujiwo Tejo di Twitter usai Istana akui ada yang keliru di UU Cipta Kerja, meski sudah diteken Presiden Jokowi
TRIBUNKALTARA.COM - Sindiran menohok dilontarkan budayawan, Sujiwo Tejo di Twitter setelah Istana akui ada yang keliru di UU Cipta Kerja, padahal sudah diteken Presiden Jokowi.
Pengesahan UU Cipta Kerja masih terus mengundang polemik meski telah diteken Presiden Jokowi.
Bahkan pihak Istana mengakui ada yang keliru di UU CIpta Kerja yang diteken Presiden Jokowi.
Terkait hal itu, Budayawan Sujiwo Tejo langsung bereaksi dengan melontarkan sindiran menohok.
Sebelumnya, ditemukan kesalahan ketik yang cukup fatal pada Pasal 6 di Bab Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha.
Pasal 6 menyebutkan, peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf a meliputi (a) penerapan perizinan berusaha berbasis risiko; (b) penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha; (c) penyederhanaan perizinan berusaha sektor; dan (d) penyederhanaan persyaratan investasi.
Namun, rujukan ke Pasal 5 ayat (1) tidak jelas karena dalam UU Cipta Kerja Pasal 5 tidak memiliki ayat.
Pasal 5 hanya berbunyi, ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait.
Baca juga: Fatal Kesalahan Ketik UU Cipta Kerja Setelah Diteken Presiden Jokowi, Pengamat Sebut Ugal-ugalan
Baca juga: Polisi Amankan 4 Orang Bawa Bom Molotov, Demo Tolak UU Cipta Kerja di Jakarta Masih Berlangsung
Kemudian, ada pula kesalahan ketik dalam Pasal 175 di Bab Pelaksanaan Administrasi Pemerintahan untuk Mendukung Cipta Kerja.
Pasal 175 angka 6 mengubah Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan Nomor 30 Tahun 2014. Pasal 53 itu terdiri atas 5 ayat yang mengatur soal syarat sah keputusan pemerintahan.
Ayat (1) berbunyi, batas waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan diberikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Ayat (2), jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan dan/atau pejabat pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan dalam waktu paling lama 5 hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan.
Ayat (3), dalam hal permohonan diproses melalui sistem elektronik dan seluruh persyaratan dalam sistem elektronik dan seluruh persyaratan dalam sistem elektronik telah terpenuhi, sistem elektronik menetapkan keputusan dan/atau tindakan sebagai keputusan atau tindakan badan atau pejabat pemerintahan yang berwenang.
Ayat (4), apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), badan dan/atau pejabat pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan, permohonan dianggap dikabulkan secara hukum.
Ayat (5), ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan keputusan dan/atau tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden.
Semestinya, ketentuan dalam ayat (5) merujuk pada ayat (4). Bukan pada ayat (3) sebagaimana yang ditulis dalam UU Cipta Kerja.
Baca juga: Sindiran Menohok Rizal Ramli ke Gatot Nurmantyo, Jenderal Eks Panglima TNI Setuju UU Cipta Kerja
Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan, kekeliruan pengetikan dalam Undang-undang (UU) No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja hanya sebatas permasalahan administrasi.
Ia memastikan kesalahan pengetikan itu tidak memengaruhi implementasi UU Cipta Kerja.
"Hari ini kita menemukan kekeliruan teknis penulisan dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Namun, kekeliruan tersebut bersifat teknis administratif sehingga tidak berpengaruh terhadap implementasi UU Cipta Kerja," kata Pratikno dalam keterangan tertulis, Selasa (3/11/2020), dikutip Kompas.com.
Ia menambahkan, sedianya setelah menerima berkas RUU Cipta Kerja dari DPR, Kementerian Sekretariat Negara telah melakukan peninjauan dan menemukan sejumlah kekeliruan yang bersifat teknis.
Kementerian Sekretariat Negara juga telah menyampaikan kepada Sekretariat Jenderal DPR untuk disepakati perbaikannya.
"Kekeliruan teknis ini menjadi catatan dan masukan bagi kami untuk terus menyempurnakan kendali kualitas terhadap RUU yang hendak diundangkan agar kesalahan teknis seperti ini tidak terulang lagi," lanjut dia.
Rupanya pernyataan dari Mensesneg Pratikno tersebut menuai komentar dari Sujiwo Tejo.
Lewat akun Twitternya, Sujiwo Tejo mengatakan bahwa hidup adalah siklus dari dunia anak-anak kembali ke dunia anak-anak.
Dan menurutnya semakin tua umur seseorang makin membutuhkan banyak waktu untuk bermain.
Seperti bermain motor gede, golf atau senam poco-poco.
Namun Sujiwo Tejo sangat menyayangkan jika pemerintah pusat justru menjadikan rakyat dan UU sebagai permainan.
"Jika berita ini benar, aku cuma mau bilang bahwa hidup memanglah siklus dari dunia bocah kembali ke dunia bocah. Dunia bermain. Makin tua makin butuh main2: moge, golf, perkutut, poco2 dll .. tapi rakyat dan UU jangan dijadikan mainan, Pak," tulis Sujiwo Tejo.
Komentar Pengamat
Pengamat Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, mengatakan, jika kesalahan dalam UU Cipta Kerja ini mau diubah, maka prosesnya tidak bisa sembarangan.
Menurut Bivitri, pemerintah perlu menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk memberikan kepastian hukum agar pasal-pasal tersebut bisa dilaksanakan.
"Kalau pemerintah mau membuat ada kepastian hukum agar pasal-pasal itu bisa dilaksanakan, bisa keluarkan Perppu. Karena UU ini tidak bisa diubah begitu saja," kata Bivitri saat dihubungi, Selasa (3/11/2020), dikutip dari Kompas.com.
Baca juga: Marak Demonstrasi Tolak UU Cipta Kerja, Dandim 0911/Nunukan Bekali Dasar Hukum ke Prajurit TNI
Baca juga: Pengacara Kondang Hotman Paris Beberkan Analisa Pasal UU Cipta Kerja, Benarkah Untungkan Buruh?
Ia pun menilai, kesalahan penulisan dalam UU Cipta Kerja makin memperjelas proses pembahasan dan pembentukannya yang ugal-ugalan.
Bivitri mengatakan, makna pembuatan undang-undang dikerdilkan hanya untuk mewujudkan tujuan-tujuan tertentu.
"Makin tampak ke publik bagaimana buruknya proses ugal-ugalan seperti ini. Seakan-akan mengerdilkan makna pembuatan UU, padahal UU itu seperti kontrak sosial warga melalui wakil-wakilnya," kata Bivitri.
"Itu pun sudah disimpangi dengan tidak partisipatif dan tidak transparannya proses penyusunan dan pembahasan. Ini akibatnya kalau tujuan buruk menghalalkan segala cara," tuturnya.
(TribunPalu.com/Kompas.com)
(*)
Jangan Lupa Like Fanpage Facebook TribunKaltara.com
Follow Twitter TribunKaltara.com
Follow Instagram tribun_kaltara
Subscribes YouTube Tribun Kaltara Official