Kondisi Habib Rizieq Setelah Ditahan di Rutan Polda Metro Jaya, FPI Tuding Polisi Paksakan Kehendak
Terkuak kondisi Habib Rizieq alias Rizieq Shihab setelah ditahan di rutan Polda Metro Jaya, FPI tuding polisi paksakan kehendak.
Terkait proses hukum terhadap Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab sebagai tersangka pelanggaran protokol kesehatan, Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel menilai di dalam putusan hakim nantinya, bisa saja akan tercantum sejumlah hal yang memberatkan bagi Habib Rizieq.
"Proses pidana dimulai di kepolisian. Berlanjut ke penuntutan yang merupakan ranah kejaksaan.
"Lalu, persidangan. Di hilir proses persidangan, di dalam putusan hakim bisa saja akan tercantum sejumlah hal memberatkan," kata Reza kepada Warta Kota, Sabtu (12/12/2020).
Sejumlah hal memberatkan itu menurut Reza adalah:
1) Status residivisme. "Residivisme adalah pengulangan perbuatan pidana.
"Di sini, umumnya, residivisme diukur berdasarkan seberapa sering seseorang masuk penjara.
"Padahal bisa juga ditakar sejak yang bersangkutan berproses di kepolisian," katanya.
Residivisme katanya menandakan kecenderungan berperilaku bermasalah belum kunjung mereda.
"Pemberatan sanksi bisa menjadi konsekuensi terhadap pelaku yang tidak menunjukkan pertobatan," ujar dia.
2) Memperumit proses hukum. "Berbelit-belit dan mengulur-ulur waktu pun bisa memperkuat kesan bahwa seseorang sedang mengingkari kesalahannya," kata Reza.
Ini bisa dianggap menghalang-halangi kerja hukum (security).
Juga bisa ditafsirkan sebagai memunculkan gangguan terhadap rasa aman masyarakat (safety).
"Memperpanjang masa hukuman bisa diambil hakim dalam rangka memulihkan atau mempertahankan rasa aman masyakat lebih lama lagi," tambah Reza.
3) Pengerahan massa. "Ketika orang yang bermasalah dengan hukum adalah tokoh dengan banyak pengikut, ia harus bisa membuktikan bahwa ia mampu mengendalikan massanya.
"Jangan sampai massa tak mampu menahan diri sehingga melakukan vigilantisme," kata Reza.
Yakni, menampilkan tindak-tanduk yang anggaplah ditujukan untuk menuntut keadilan, menciptakan ketertiban, menegakkan supremasi hukum, namun justru dengan cara-cara yang melanggar hukum itu sendiri.
"Lagi-lagi, vigilantisme akibat massa yang tak terkendali dapat dipandang sebagai gangguan terhadap rasa aman masyarakat," ujarnya.
(*)