Berita Tarakan Terkini
Vonis Mati Herry Wirawan Berbeda dengan Kasus Asusila Anak di Tarakan, Ini Penjelasan Dosen FH UBT
Vonis mati kasus Herry Wirawan berbeda dengan kasus asusila anak di Tarakan, ini penjelasan Dosen FH UBT.
Penulis: Andi Pausiah | Editor: M Purnomo Susanto
“Kita tidak bisa melihat korban-korban pelecehan secara merata. Harus melihat case per case,” ujar pria alumni Universitas Hasanuddin dan Airlangga ini.
Jika melihat case di Tarakan, ia menilai yang terjadi di pelaku bukanlah penormalan.
“Ini sesama jenis. Berarti ada keabnormalan, karena tidak biasanya mohon maaf orang melakukan hal tersebut. Justru dengan sesame jenis berarti ada ketidaknormalan dalam diri pelaku,” ungkap Syafruddin.
Ia menambahkan, dalam pasal 44 KUHP jelas dinyatakan, orang yang tidak mampu bertanggung jawab. Lantas siapakah yang bisa dikategorikan orang yang tidak mampu bertanggung jawab lanjutnya, adalah orang yang tidak bisa memahami apa yang dilakukan kepada dirinya.
“Ada dorongan di luar kemampuannya untuk menahan itu. Itu persoalan di pengadilan nantinya. Saya minta semua kasus pelecehan melibatkan guru, murid siapapun silakan diproses secara hukum tapi nanti hakim menilai perbuatan ini layak dipidana setinggi-tingginya atau layak diringankan bahkan layak dibebaskan,” urainya.
Baca juga: Update Kasus Asusila Dea OnlyFans, Polisi Sebut Komedian Inisial M Ikut Terlibat Sebagai Pembeli
Dari sisi kacamata pihaknya, pasal yang bisa digunakan ada banyak dan mengacu pada UU Perlindungan Anak jika korbannya adalah anak yang memang usianya masih di bawah umur.
Itu tertuang dalam UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
“Kalau anak-anak korbannya, saya minta digunakan pasal perlindungan anak. Kasih dulu ancaman hukuman setinggi-tingginya. Nanti di pengadilan dilihat apakah ancaman hukuman yang diajukan jaksa ini patut menjadi pertimbangan hakim memutus setinggi-tingginya,” pungkasnya.
Penulis: Andi Pausiah