Mutiara Ramadan

Ramadhan Momentum Tepat Untuk Taubat

Selain dikenal sebagai syahrul shiyam, syahrul shabr, syahrul Quran, dan syahrul jihad, Bulan Suci Ramadhan juga dikenal sebagai syahrut taubah.

Editor: Amiruddin
HO/Herman Aisa Pabittei
Herman Aisa Pabittei 

Oleh : Herman Aisa Pabittei, S.Ag

(Pelaksana Penyusun Bahan Penerbitan Dakwah pada Seksi Bimbingan Masyarakat Islam Kantor Kementerian Agama Kota Tarakan)

TRIBUNKALTARA.COM - Selain dikenal sebagai syahrul shiyam, syahrul shabr, syahrul Quran, dan syahrul jihad, Bulan Suci Ramadhan juga dikenal sebagai syahrut taubah.

Disebut sebagai syahrut taubah karena Ramadhan memang momentum yang tepat untuk bertaubat.

Sebaik-baik taubat adalah taubat yang segera, tanpa menunggu dan menunda-nunda.
Maka terkumpullah dua keutamaan jika kita bertaubat saat ini: keutamaan karena Ramadhannya, dan keutamaan karena menyegerakan taubat.

Dan bersegeralah menuju ampunan Tuhanmu … (QS. Ali Imran : 133)

Allah Gembira Saat Hamba-Nya Bertaubat

Allah Subehanahu Wa Ta’ala menyeru kita dengan ayat di atas untuk menyegerakan taubat. Juga dalam ayat yang lainnya :

Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah Subehanahu Wa Ta’ala dengan taubat nasuha. (QS. At-Tahrim : 8)

Allah Subehanahu Wa Ta’ala menyeru hamba-Nya untuk bersegera bertaubat karena Dia menghendaki hamba-Nya mendapatkan ampunan dan surga.

Dan Allah Subehanahu Wa Ta’ala menyeru kalian kepada surga dan ampunan dengan izin-Nya. (QS. Al-Baqarah : 221)

Allah Subehanahu Wa Ta’ala sangat sayang kepada hamba-Nya. Dibukakan pintu taubat. Diserunya kita menuju ampunan dan surga-Nya. Allah Subehanahu Wa Ta’ala sangat gembira saat hamba-Nya bertaubat. Kegembiraan Allah Subehanahu Wa Ta’ala bahkan lebih besar daripada seorang musafir yang menemukan kembali untanya setelah hilang di gurun sahara berikut segala perbekalan yang ada padanya.

Sungguh Subehanahu Wa Ta’ala Allah lebih gembira dengan taubat hamba-Nya ketika ia bertaubat kepada-Nya daripada seseorang yang menunggang untanya di tengah gurun sahara yang sangat tandus. Lalu unta itu terlepas membawa lari bekal makanan dan minumannya. Ia putus harapan untuk mendapatkannya kembali. Kemudian dia menghampiri sebatang pohon lalu berbaring di bawah keteduhannya karena telah putus asa mendapatkan unta tunggangannya tersebut. Ketika dia dalam keadaan demikian, tiba-tiba ia mendapati untanya telah berdiri di hadapannya. Lalu segera ia menarik tali kekang unta itu sambil berucap dalam keadaan sangat gembira: Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Tuhan-Mu.” Dia salah mengucapkan karena sangat gembira. (HR. Muslim)

Baca juga: Ramadan Bulan Jihad, Produktivitas Harus Meningkat

Apapun Dosa Kita, Bertaubatlah

Ada dua titik ekstrim bagi orang yang berdosa. Ekstrim pertama adalah mereka yang merasa dosanya terlalu besar hingga putus asa dari ampunan Allah Subehanahu Wa Ta’ala.

Maka, ia pun tidak kunjung bertaubat karena kekhawatiran taubatnya tidak diterima.

Ekstrim kedua adalah mereka yang merasa dosa-dosanya mudah terhapus. Merasa dosa-dosanya hanya dosa kecil.

Sehingga membuatnya berlarut-larut dalam dosa demi dosa. Kalaupun bertaubat, ia hanya melakukan taubat sambal. Sekarang berhenti, besok kembali mengulangi. Tak pernah sungguh-sungguh melakukan taubat nasuha.

Untuk ekstrim pertama, lihatlah bagaimana seorang yang telah membunuh 99 nyawa. Saat ia bertanya kepada seorang ahli ibadah apakah ada kesempatan bertaubat, ternyata dijawab tidak bisa. Lalu ia pun dibunuh sebagai orang ke-100 yang mati di tangannya.

Niatnya bertaubat tidak berhenti. Ketika bertemu seorang alim, ia pun mengajukan pertanyaan serupa. Oleh sang alim ini dijawab kalau dosanya bisa diampuni. Dan sebagai upaya taubat nasuha, ia dianjurkan hijrah ke suatu daerah yang kondusif bagi taubatnya.

Di tengah jalan, ia meninggal. Hingga berdebatlah malaikat rahmat dan malaikat azab, orang ini menjadi urusan siapa.

Lalu datanglah malaikat lain yang diutus Allah Subehanahu Wa Ta’ala untuk menyelesaikan perselisihan itu.

“Ukurlah jarak kedua tempat tersebut. Mana yang jaraknya lebih dekat, apakah tempat maksiat atau tempat hijrahnya, maka ia yang berhak atas orang ini.”

Ketika diukur jaraknya, ternyata ia lebih dekat ke tujuan hijrah. Hingga ruhnya pun menjadi urusan malaikat rahmat. Dalam riwayat lain disebutkan, Allah Subehanahu Wa Ta’ala memendekkan jarak laki-laki itu dengan tujuan hijrah.

Contoh lain dialami oleh seorang wanita dari Juhanah. Ia mengaku telah berzina dan kini ia hamil. Wanita itu bertaubat dan meminta ditegakkan hudud (rajam) atasnya. Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam menyuruh wanita itu kembali untuk menjaga kandungannya sampai bayinya lahir. Setelah berselang beberapa lama dan bayinya telah lahir, wanita itu datang lagi meminta dirajam. Akhirnya ia dirajam. Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam menshalatkan jenazahnya.

“Ya Rasulullah, engkau menshalatinya padahal ia telah berbuat zina?” tanya Umar bin Khatab meminta penjelasan.

Maka Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Aa Sallam bersabda :

Sungguh dia telah bertaubat. Seandainya taubatnya dibagikan kepada 70 penduduk Madinah, taubat itu pasti mencukupinya. Apakah kamu menjumpai seseorang yang lebih utama daripada seorang yang mengorbankan dirinya untuk Allah Subehanahu Wa Ta’ala? (HR. Muslim)

Pembagian Dosa

Imam Al-Ghazali di dalam Ihya’ Ulumuddin menyebutkan sifat-sifat pembangkit dosa yang kemudian diringkas oleh Ibnu Qudamah dalam Mukhtashar Minhajul Qashidin. Menurut beliau, sifat pembangkit dosa dibagi menjadi empat :

1. Sifat rububiyah (ketuhanan)

Dari sini muncul takabur, membanggakan diri, mencintai pujian dan sanjungan, mencari popularitas dan lain sebagainya. Ini termasuk dosa-dosa yang merusak, sekalipun banyak orang yang melalaikannya dan menganggap bukan dosa.

2. Sifat syaithaniyah (kesetanan)

Dari sini muncul kedengkian, kesewenang-wenangan, menipu, berdusta, makar, kemunafikan, menyuruh pada kerusakan dan lain-lain.

3. Sifat-sifat bahamiyah (kebinatangan)

Dari sini muncul kejahatan, memenuhi nafsu perut dan syahwat kemaluan, zina, homoseks, mencuri dan lain-lain

4. Sifat sabu’iyah (kebuasan)

Dari sini muncul amarah, dengki, menyerang orang lain, membunuh, merampas harta dan lain-lain.

Di antara empat sifat itu, penjenjangannya bermula dari bahamiyah. Bahamiyah yang dominan lalu diikuti oleh sabu’iyah, kemudian syaithaniyah dan rububiyah.

Dari keempat jenis itu, menurut sasarannya, dosa dibagi menjadi dua, yakni dosa yang berkaitan dengan hak Allah Subehanahu Wa Ta’ala dan dosa yang berkaitan dengan hak sesama manusia.

Dosa yang berkaitan dengan hak Allah Subehanahu Wa Ta’ala ada yang diampuni dan ada yang tidak diampuni. Yang tidak diampuni adalah dosa syirik, sementara dosa yang lain akan diampuni oleh Allah Subehanahu Wa Ta’ala, jika Dia Menghendaki.

Sedangkan dosa kepada sesama manusia akan diampuni oleh Allah Subehanahu Wa Ta’ala jika hak itu telah dihalalkan atau ditegakkan qishah atasnya di akhirat nanti.

Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam bersabda :

Kezaliman itu ada tiga: kezaliman yang Allah Subehanahu Wa Ta’ala tidak meninggalkannya, kezaliman yang mendapat ampunan, dan kezaliman yang tidak mendapat ampunan. Kezaliman yang tidak mendapat ampunan adalah syirik, maka Allah Subehanahu Wa Ta’ala takkan mengampuninya. Kezaliman yang mendapat ampunan adalah kezaliman antara hamba kepada Rabb-nya. Sedangkan kezaliman yang tidak akan ditinggalkan/dibiarkan Allah Subehanahu Wa Ta’ala adalah kezaliman antar manusia, maka Allah Subehanahu Wa Ta’ala akan memberi qashah sebagian atas sebagian lainnya. (HR. Thayalisi, dihasankan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah)

Yang paling umum, biasanya dosa dibagi menjadi dua : dosa besar dan dosa kecil. Jika kita telusuri hadits, dosa besar yang biasa disebutkan adalah syirik, sihir, riba, makan harta anak yatim, lari dari medan perang dan menuduh wanita mukminah yang baik sebagai pezina.

Tujuh jenis dosa besar ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Sedangkan dalam riwayat Imam Bukhari yang lain disebutkan durhaka kepada orang tua termasuk dosa besar, sedangkan dalam riwayat Imam Muslim yang lain disebutkan pula perkataan atau kesaksian palsu.

Ibnu Qudamah dalam Mukhtashar Minhajul Qashidin menyebutkan pendapat Abu Thalib Al-Makki yang merinci dosa besar menjadi 17 jenis. Empat jenis di hati : syirik, fasiq, putus asa dari rahmat Allah Subehanahu Wa Ta’ala, dan merasa aman dari tipudaya-Nya. Empat jenis di lidah : kesaksian palsu, menuduh wanita mukminah, sumpah palsu, dan sihir. Tiga di perut: minum khamr, memakan harta yatim, dan riba. Dua di kemaluan: zina dan homoseks. Satu di kaki: lari dari medan perang. Dan satu di seluruh badan: durhaka pada orang tua.

Imam Adz Dzahabi menulis kitab Al Kabair. Dosa-dosa besar. Dalam kitab itu dijelaskan ada 70 dosa besar.

Jangan Remehkan Dosa Kecil

Seringkali kita terjebak pada sikap meremehkan dosa kecil. Saat kita ghibah, bercanda yang sudah masuk kategori rafats (porno), bahkan bergaul dengan lawan jenis yang tidak islami, kita beralasan “itu kan dosa kecil, tidak apa-apa”.

Padahal orang yang meremehkan dosa ia tidak sadar sedang berhadapan dengan siapa. Siapakah yang ia maksiati? Allah Subehanahu Wa Ta’ala yang Maha Besar dan Maha Keras adzab-Nya. Juga, tidak ada dosa kecil jika dilakukan terus menerus.

Tidak ada dosa kecil selagi terus dikerjakan (HR. Dailami)

Ibarat sebuah bintik noda, dosa kecil pun akan mengotori hati. Semakin banyak dosa semakin banyak pula noda di hati.

Sesungguhnya, apabila seorang mukmin berbuat dosa, maka muncul bintik hitam dalam kalbunya. Kemudian jika ia bertaubat, meninggalkan dosa dan memohon ampun, maka hatinya bersih. Dan jika dosa-dosanya bertambah, bintik hitam itupun bertambah (HR. Ibnu Majah dan Ahmad, “hasan”)

Mari Taubat Sebelum Terlambat

Marilah kita sambut seruan Allah Subehanahu Wa Ta’ala untuk bertaubat sebelum kita terlambat. Kini Allah Subehanahu Wa Ta’ala menganugerahkan momentum yang luar biasa kepada kita untuk menjalani taubatan nasuha.

Bulan Suci Ramadhan yang sangat kondusif dengan amal shalih dan minim pengaruh negatif dibandingkan bulan lainnya, adalah kesempatan berharga yang belum tentu datang lagi kepada kita.

Bukankah kita tidak pernah bisa menjamin bahwa kita akan tetap hidup sampai Bulan Suci Ramadhan berikutnya jika kita menunda taubat saat ini? Lihatlah betapa banyak orang yang Bulan Suci Ramadhan lalu masih ada, kini sudah tiada. Bahkan ketika terjadi pandemi covid-19 seperti ini, betapa banyak orang yang kemudian meninggal setelah terjangkit virus corona.

Marilah kita sambut seruan Allah Subehanahu Wa Ta’ala untuk bertaubat sebelum kita terlambat. Dan bukankah pintu taubat akan ditutup saat kita mengalami sakaratul maut?

Sesungguhnya Allah Subehanahu Wa Ta’ala menerima taubat hamba selagi ia belum sekarat. (HR. Tirmidzi, Ahmad, Thabrani, Ibnu Hibban, dan Abu Ya’la)

Allah Subehanahu Wa Ta’ala membentangkan tangan-Nya di malam hari agar orang yang berbuat maksiat di siang hari bertaubat, dan Allah Subehanahu Wa Ta’ala membentangkan tangan-Nya di siang hari agar orang yang berbuat maksiat di malam hari bertaubat. (Demikian itu tetap terjadi) sampai matahari terbit dari barat. (HR. Muslim)

Syarat Taubat

Imam An-Nawawi dalam Riyadhus Shalihin memaparkan syarat bertaubat secara singkat dalam tiga langkah. Pertama, berhenti dari dosa yang dilakukan. Kedua, menyesali dosa yang telah dilakukan. Dan ketiga, bertekad untuk tidak mengulangi dosa itu. Ini jika bertaubat terhadap dosa yang berkaitan dengan hak Allah Subehanahu Wa Ta’ala.

Sedangkan jika dosa berkaitan dengan hak manusia, maka syarat taubat ditambah satu lagi, yaitu membebaskan diri dari hak manusia tersebut. Pembebasan ini tentu dengan penghalalan dari yang terzalimi atau mendapat keikhlasan darinya.

Maka orang yang minum khamr dalam kesendirian misalnya, untuk bertaubat cukup ia berhenti minum khamr, menyesalinya dan tidak mengulanginya. Namun jika seseorang mencuri harta orang lain, selain tiga langkah tersebut ia harus mendapat maaf dari orang yang dicuri dengan mengembalikan hartanya atau mendapatkan kehalalan darinya.

Semoga Bulan Suci Ramadhan yang juga dinamakan syahrut taubah ini kita manfaatkan bersama sebagai momentum taubatan nasuha. Dan karenanya Allah Subehanahu Wa Ta’ala menganugerahkan ampunan dan surga-Nya kepada kita. Allaahumma aamiin. Wallaahu a’lam bish shawab. (*)

Sumber: Tribun Kaltara
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

BERSAMA RAMADAN DI ERA DIGITAL

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved