Opini
Memetik Hikmah Idul Adha
KEHADIRAN tanggal 10 Zulhijjah 1442 Hijriah yang biasa kita sebut dengan Hari Raya Kurban tahun ini berbeda dengan hari-hari raya sebelumnya.
Di sana tidak ada beda antara raja atau kepala negara dengan pakaian kebesarannya, bila dibandingkan dengan hamba atau rakyat jelata.
Di sana juga tidak ada beda antara jenderal dengan prajurit bawahannya. Semuanya sama. Demikianlah tuntunan Islam yang mengajarkan kesamaan dan kesetaraan di antara kita di hadapan Allah.
Yang membedakan manusia dengan yang lainnya di hadapan Allah, adalah hati dan amal perbuatannya. Rasulullah saw bersabda, artinya:
“Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian, juga tidak kepada harta kalian, akan tetapi Dia memandang kepada hati dan amal kalian” (HR. Muslim).
Dalam QS Al Hujurat ayat 13, Allah berfirman:
Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.
Hari Raya Idul Adha yang jatuh pada tanggal 10 Dzulhijah dan ditambah tiga hari berikutnya, yakni tanggal 11, 12 dan 13 disebut dengan hari tasyrik, umat Islam dianjurkan memotong hewan kurban yang dagingnya dibagikan kepada fakir miskin.
Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya: “Sembahyanglah kamu kepada Rabb-mu dan berkurban-lah” (Al-Kautsar: 2).
Baca juga: Berikut Panduan Lengkap Puasa Arafah Sebelum Idul Adha, Niat dan Keutamaannya
Menurut madzhab Imam Syafi’i, memotong hewan kurban hukumnya sunnah muakkad, artinya sunnah yang dikuatkan. Rasulullah saw bersabda sebagai berikut yang artinya:
“Barangsiapa mendapatkan kelapangan dalam rizki namun tidak mau berkurban maka janganlah sekali-kali mendekati masjid kami.”
Yang perlu kita resapi bersama adalah, untuk memahami apa hikmah yang terkandung dari ibadah kurban itu sendiri? Sebab, sebagai muslim yang hanya pada prinsipnya kita dituntut untuk berjuang dan berkurban, seperti yang dialami oleh para nabi dan rasul.
Begitu pula, bagi para ulama, kiyai, ustazd dan muballigh serta pemimpin Islam dari dahulu hingga hari ini, tidak ada satupun dari mereka yang terlepas dari perjuangan dan pengurbanan, baik dalam bentuk moril maupun materil, dan bahkan pengurbanan jiwa dan raga. Yang akhir-akhir ini, di negara kita ini dikenal dengan istilah kriminalisasi ulama. Na’uzdubillah.
Nabi Ibrahim as yang mendapatkan kehormatan abadi sebagai utusan Allah, beliau telah berhasil menunjukkan ketabahan dan keikhlasan dalam mempertaruhkan kehidupannya bersama keluarga, hanya untuk mengabdi kepada Allah semata-mata.
Karena itulah, Nabi Ibrahim selaku kepala keluarga diangkat menjadi Khalilullah atau kekasih Allah SWT. Kisah Nabi Ibrahim as bersama istrinya Siti Hajar, dan anaknya Ismail as telah diabadikan dalam QS Ash Shaaffaat ayat 99- 111.