Opini
Waspada Rembesan Inflasi Impor
Semakin tinggi arus barang dan jasa impor yang mengandung virus inflasi maka, akan semakin tinggi pula potensi inflasi di wilayah atau negara.
Alasannya; (1) Bloomberg, ADB estimates menyatakan bahwa, puncak harga minyak dunia adalah April 2022.
Pada saat itu harga mencapai 123$/barell. Setelah itu, terus menurun. Bahkan hingga akhir tahun ini diperkirakan berada pada kisaran 90 an$/barell.
Baca juga: Mitigasi Potensi Inflasi Kalimantan
(2). Sekalipun Rupiah mengalami tekanan sehingga harga impor menjadi lebih mahal, bukankah kita juga memproduksi minyak dan gas yang di ekspor.
Artinya kenaikan harga oleh depresiasi Rupiah sebagian masih dikompensasi oleh perbaikan ekspor.
Karena itu, potensi kenaikan harga akibat impor minyak tidak melampaui inflasi dari negara asalnya.
Urutan kedua adalah bahan mentah non pangan. Porsinya sekitar 18 persen.
Beberapa komoditas yang diimpor semen, tembaga, tembakau, dan pupuk.
Semen berasal dari Tiongkok, Korea Selatan, dan Inggris.
Tembaga dari Tiongkok, Jepang dan ketiga dari Korea Selatan.
Tembakau berasal dari Tiongkok, Brasil dan Amerika. Kemudian pupuk berasal dari Tiongkok, Kanada dan Mesir.
Sesuai data BPS tersebut, eksporter terbesar non pangan berasal dari Tiongkok. Kemudaian merujuk data yang direlis Tradingnomic Juli 2022 inflasi negara itu hanya 2,5 persen. Artinya potensi inflasi impor non pangan masih relatif kecil.
Dengan harapan ketegangan Tiongkok-Taiwan pelan-pelan mereda.
Porsi impor yang ketiga adalah pangan. Besarnya sekitar 15 – 17 persen. Untuk mendeteksi potensi rembesan inflasi impor, kita jejak asal komoditasnya.
Garam, berasal dari yang terbesar adalah Australia, India dan Tiongkok. Tingkat inflasi tertingi adalah India 7,1 persen, karena Australia hanya 6,1 persen.