Berita Malinau Terkini

Kearifan Lokal Masyarakat Adat Dayak Punan Malinau, Filosofi Leluhur dan Upaya Melawan Stigma

"Selama ada hutan, kami tidak akan kelaparan" Kearifan lokal masyarakat adat Dayak Punan Malinau, filosofi leluhur dan upaya melawan stigma.

Penulis: Mohamad Supri | Editor: M Purnomo Susanto
TRIBUNKALTARA.COM / MOHAMMAD SUPRI
Pengrajin asal Bila Bekayuk Malinau Selatan, Lukas (68) saat memajang sejumlah kerajinan tangan miliknya dalam Pentas Seni dan Budaya Lembaga Adat Besar Dayak Punan Kabupaten Malinau di Lansekap Pro Sehat Malinau, Provinsi Kalimantan Utara, Selasa (29/11/2022). 

TRIBUNKALTATA.COM, MALINAU - Dayak Punan merupakan satu dari 11 suku atau etnis penduduk asli yang tersebar di sejumlah wilayah Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara.

Sebagian besar masyarakat adat Dayak Punan yang tersebar di 9 wilayah kecamatan Kabupaten Malinau masih berpegang dan mempertahankan filosofi leluhurnya.

Pada Pentas Seni dan Budaya Lembaga Adat Besar Punan Kabupaten Malinau, TribunKaltara.com berkesempatan mewawancarai tokoh dan masyarakat adat Punan.

Tokoh Masyarakat sekaligus Pengrajin Bila Bekayuk, Lukas (68) menjelaskan prinsip hidup rata-rata masyarakat Dayak Punan sederhana.

Baca juga: APBD Kaltara 2023 Disahkan, Albertus Stefanus Harap Dividen PI 10 Persen Masuk di APBD Perubahan

Aktivitas pertambangan batu bara di Kecamatan Malinau Selatan Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Utara, beberapa waktu lalu.
(TRIBUNKALTARA.COM / MOHAMMAD SUPRI)
Aktivitas pertambangan batu bara di Kecamatan Malinau Selatan Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Utara, beberapa waktu lalu. (TRIBUNKALTARA.COM / MOHAMMAD SUPRI) (TRIBUNKALTARA.COM / MOHAMMAD SUPRI)

"Bagi kami masyarakat Punan, selama ada hutan, kami tidak akan kelaparan," ujarnya, Rabu (30/11/2022).

Dalam Pentas Seni Budaya Dayak Punan Malinau, dipamerkan sejumlah hasil kerajinan hingga senjata tradisional.

Uniknya, seluruh bagian terbuat dari tumbuh-tumbuhan yang diperoleh dari hutan, rotan, bambu dan sejumlah hasil hutan lain.

Diantara yang menarik adalah racun yang digunakan untuk berburu hewan buas menggunakan senjata tradisional suku dayak, Sumpit.

Tak seperti merode umumnya yang menggunakan racun dari binatang berbisa. Masyarakat adat punan membuat racikan dari ekstrak getah tumbuhan untuk dibubuhi di ujung anak panah atau peluru sumpit.

Semua sumber daya tersedia di Hutan. Sandang, pangan, papan, semua diperoleh cuma-cuma dari alam.

Bagi masyarakat adat, hutan diibaratkan sebagai Ibu. Flora, Fauna dan segala isinya tak ubah seperti ASI, tempat manusia bergantung hidup.

"Hutan, tumbuhan itu seperti air susu ibu bagi kami. Semua ada di sana. Buat makan ada Sagu, lauk ada hewan buruan, ikan. Inilah kenapa masyarakat Punan menghargai dan sangat bergantung pada hutan," katanya.

Karena masyarakat adat Punan ditempa bertahan hidup di hutan, ada stigma atau kesan yang justru disalahartikan.

Tak benar jika ada anggapan bahwa masyarakat memeras perusahaan melalui mekanisme ganti rugi. Sebab, hukum adat mengatur, sanksi bagi perusahaan bahkan individu yang mengeksploitasi hutan semena-mena.

Halaman
12
Sumber: Tribun Kaltara
BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved