Polemik UU Cipta Kerja

Fatal Kesalahan Ketik UU Cipta Kerja Setelah Diteken Presiden Jokowi, Pengamat Sebut Ugal-ugalan

Kontorversi UU Cipta Kerja setelah diteken Presiden Jokowi, ada kesahalan ketik fatal dalam proses regulasi tersebut, pengamat nilai ugal-ugalan

Kolase Tribun Klatara.com via Surya/Ahmad Zaimul Haq dan Tribunnews/HO/BPMI/Muchlis Jr
Kontroversi UU Cipta Kerja setelah diteken Presiden Jokowi. (Kolase Tribun Klatara.com via Surya/Ahmad Zaimul Haq dan Tribunnews/HO/BPMI/Muchlis Jr) 

TRIBUNKALTARA.COM - Kontorversi kembali mewarnai UU Cipta Kerja setelah diteken Presiden Jokowi, ada kesahalan ketik fatal dalam proses regulasi tersebut, hingga pengamat nilai ugal-ugalan.

Akhirnya UU Cipta Kerja resmi diteken Presiden Jokowi, menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020.

Namun UU Cipta Kerja yang diteken Presiden Jokowi mengandung kesalahan ketik di sejumlah pasal.

Penelusuran Kompas.com, Selasa (3/11/2020), ditemukan kesalahan ketik yang cukup fatal pada Pasal 6 di Bab Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha.

Pasal 6 menyebutkan, peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf a meliputi (a) penerapan perizinan berusaha berbasis risiko; (b) penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha; (c) penyederhanaan perizinan berusaha sektor; dan (d) penyederhanaan persyaratan investasi.

Namun, rujukan ke Pasal 5 ayat (1) tidak jelas karena dalam UU Cipta Kerja Pasal 5 tidak memiliki ayat.

Pasal 5 hanya berbunyi, ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait.

Kemudian, ada pula kesalahan ketik dalam Pasal 175 di Bab Pelaksanaan Administrasi Pemerintahan untuk Mendukung Cipta Kerja.

Pasal 175 angka 6 mengubah Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan Nomor 30 Tahun 2014.

Pasal 53 itu terdiri atas 5 ayat yang mengatur soal syarat sah keputusan pemerintahan.

Ayat (1) berbunyi, batas waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan diberikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Ayat (2), jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan dan/atau pejabat pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan dalam waktu paling lama 5 hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan.

Ayat (3), dalam hal permohonan diproses melalui sistem elektronik dan seluruh persyaratan dalam sistem elektronik dan seluruh persyaratan dalam sistem elektronik telah terpenuhi, sistem elektronik menetapkan keputusan dan/atau tindakan sebagai keputusan atau tindakan badan atau pejabat pemerintahan yang berwenang.

Ayat (4), apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), badan dan/atau pejabat pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan, permohonan dianggap dikabulkan secara hukum.

Baca juga: Polisi Amankan 4 Orang Bawa Bom Molotov, Demo Tolak UU Cipta Kerja di Jakarta Masih Berlangsung

Ayat (5), ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan keputusan dan/atau tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden. Semestinya, ketentuan dalam ayat (5) merujuk pada ayat (4). Bukan pada ayat (3) sebagaimana yang ditulis dalam UU Cipta Kerja.

Ugal-ugalan

Pengamat Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, mengatakan, jika kesalahan dalam UU Cipta Kerja ini mau diubah, maka prosesnya tidak bisa sembarangan.

Menurut Bivitri, pemerintah perlu menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk memberikan kepastian hukum agar pasal-pasal tersebut bisa dilaksanakan.

"Kalau pemerintah mau membuat ada kepastian hukum agar pasal-pasal itu bisa dilaksanakan, bisa keluarkan Perppu.

Karena UU ini tidak bisa diubah begitu saja," kata Bivitri saat dihubungi, Selasa (3/11/2020).

Baca juga: Waspada Penyusup saat Demonstrasi Tolak UU Cipta Kerja Hari Ini, Berikut Imbauan Polri

Ia pun menilai, kesalahan penulisan dalam UU Cipta Kerja makin memperjelas proses pembahasan dan pembentukannya yang ugal-ugalan.

Bivitri mengatakan, makna pembuatan undang-undang dikerdilkan hanya untuk mewujudkan tujuan-tujuan tertentu.

"Makin tampak ke publik bagaimana buruknya proses ugal-ugalan seperti ini.

Seakan-akan mengerdilkan makna pembuatan UU, padahal UU itu seperti kontrak sosial warga melalui wakil-wakilnya," kata Bivitri.

"Itu pun sudah disimpangi dengan tidak partisipatif dan tidak transparannya proses penyusunan dan pembahasan.

Ini akibatnya kalau tujuan buruk menghalalkan segala cara," tuturnya.

Merugikan Buruh

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bersama buruh Indonesia secara tegas menyatakan menolak dan meminta agar undang-undang itu dibatalkan atau dicabut.

"Setelah kami pelajari, isi undang-undang tersebut khususnya terkait klaster ketenagakerjaan hampir seluruhnya merugikan kaum buruh,” kata Presiden KSPI Said Iqbal di Jakarta, Selasa (3/11).

Ia menyebut, salah satu dari beberapa pasal UU Cipta Kerja merugikan kaum buruh yaitu pasal 88C Ayat (1) dan 88C Ayat (2).

Dalam pasal 88C Ayat (1) tertulis gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi.

Sementara itu di pasal 88C Ayat (2) menyebutkan gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.

"Penggunaan frasa 'dapat' dalam penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) sangat merugikan buruh.

Karena penetapan UMK bukan kewajiban, bisa saja gubernur tidak menetapkan UMK," kata Said dalam keterangan tertulis.

Hal tersebut, lanjutnya, akan mengakibatkan buruh menerima upah yang murah.

Baca juga: Kemendikbud Catat, Usai Demonstrasi Tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja 123 Mahasiswa Positif Covid-19

KSPI mengambil contoh di Jawa Barat. Pada 2019, UMP Jawa Barat sebesar Rp 1,8 juta, kata dia. Sementara itu UMK Bekasi sebesar Rp 4,2 juta.

"Jika hanya ditetapkan UMP, maka nilai upah minimum di Bekasi akan turun," tegasnya.

Dengan demikian, lanjut Said, berlakunya UU Cipta Kerja mengembalikan buruh ke zaman upah murah.

Hal tersebut menurut dia sangat kontradiktif, mengingat Indonesia yang sudah lebih dari 75 tahun merdeka.

"Apalagi ditambah dengan dihilangkan upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota (UMSK dan UMSP), karena UU No 11 Tahun 2020 menghapus Pasal 89 UU No 13 Tahun 2003," tambah dia.

Baca juga: Polisi Amankan Pria Diduga Penyusup Aksi Tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja Jilid III di Balikpapan

Ia menambahkan, dihilangkannya UMSK dan UMSP dapat jelas mengakibatkan ketidakadilan.

Ia mengkhawatirkan para pekerja di beberapa sektor akan mendapatkan upah minimum yang sama.

"Bagaimana mungkin sektor industri otomotif seperti Toyota, Astra, dan lain-lain atau sektor pertambangan seperti Freeport, Nikel di Morowali dan lain-lain, nilai Upah Minimum-nya sama dengan perusahan baju atau perusahaan kerupuk," contohnya.

Oleh karena itu, menurutnya seluruh dunia wajar memiliki Upah Minimum Sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri terhadap PDP negara.

Ia pun kembali menyuarakan bahwa KSPI meminta agar UMK tetap harus ada tanpa syarat dan UMSK serta UMSP yang tidak dihilangkan.

"Jika ini terjadi, maka akan berakibat tidak ada income security atau kepastian pendapatan akibat berlakunya upah murah," tutup Said.

(*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ada Kesalahan Ketik Fatal, Proses UU Cipta Kerja Dinilai Ugal-ugalan ", Klik untuk baca: https://nasional.kompas.com/read/2020/11/03/12333651/ada-kesalahan-ketik-fatal-proses-uu-cipta-kerja-dinilai-ugal-ugalan?page=all#page2.
Penulis : Tsarina Maharani
Editor : Bayu Galih
dan
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "KSPI Sebut UU Cipta Kerja Merugikan Kaum Buruh, Salah Satunya Soal Sistem Upah Murah", Klik untuk baca: https://nasional.kompas.com/read/2020/11/03/10435741/kspi-sebut-uu-cipta-kerja-merugikan-kaum-buruh-salah-satunya-soal-sistem?page=all#page2.
Penulis : Nicholas Ryan Aditya
Editor : Diamanty Meiliana
Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved