Berita Nasional Terkini

RESMI, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Batalkan Telegram yang Larang Media Tampilkan Arogansi Polisi

Akhirnya Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo bereaksi membatalkan telegram yang melarang media maupun insan pers tampilkan arogansi polisi.

polri.go.id
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. (polri.go.id) 

TRIBUNKALTARA.COM - Akhirnya Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo bereaksi membatalkan telegram yang melarang media maupun insan pers tampilkan arogansi polisi.

Sebelumnya telegram Kapolri Listyo Sigit Prabowo itu mendapat sorotan tajam dari Persatuan Wartawan Indonesia ( PWI) tyerkait dengan larangan pers menampilkan gambar kekerasan arogansi polisi di lapangan.

Blakangan setelah menuai kontroversi, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo langsung mencabut telegram tersebut.

Pencabutan ini termuat dalam Surat telegram Nomor: ST/759/IV/HUM.3.4.5./2021.

Surat tersebut dikeluarkan pada Selasa 6 April 2021 dan ditandatangani Kadiv Humas Polri Irjen Pol Raden Prabowo Argo Yuwono.

Diketahui Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sempat menerbitkan surat telegram terkait dengan peliputan media massa di lingkungan Polri.

Telegram itu, ditujukan kepada para Kapolda dan Kabid Humas jajaran tertanggal 5 April 2021.

Namun, telegram itu menjadi polemik lantaran tertulis Kapolri meminta agar media tidak menyiarkan tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan. Hal itu termaktub dalam poin pertama dalam telegram tersebut.

Perintah itu tertuang dalam surat telegram (ST) dengan nomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 tentang pedoman pelaksaan peliputan bermuatan kekerasan dan atau kejahatan.

Baca juga: TERBARU Kapolri Listyo Sigit Mutasi 24 Jenderal dan 26 Perwira Menengah, Ini Daftar Lengkapnya

ST tersebut ditandatangani oleh Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono atas nama Kapolri pada tanggal 5 April 2021. Dalam ST itu, ditujukan kepada para Kapolda serta Kabid Humas di daerah.

Ketika dikonfirmasi, Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono membenarkan adanya surat telegram tersebut. Surat telegram itu diterbitkan untuk menjaga kinerja Polri.

"Pertimbangannya agar kinerja Polri di kewilayahan semakin baik," kata Rusdi saat dikonfirmasi, Selasa (6/3/2021).

Baca juga: Polisi Bongkar Pemasok Senjata ke Terduga Teroris Ditembak Mati di Mabes Polri, Punya Puluhan Airgun

Dalam surat telegram itu, setidaknya ada 11 poin instruksi Kapolri kepada jajarannya yang bertugas di kehumasan. Yang paling pertama adalah media dilarang menyiarkan tindakan kepolisian yang arogan dan berbau kekerasan.

"Media dilarang menyiarkan upaya/tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan, diimbau untuk menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas namun humanis," sebagaimana dikutip ST tersebut.

Kedua, jajarannya yang bekerja di bidang humas tidak boleh menyajikan rekaman proses interogasi kepolisian dan penyidikan terhadap tersangka tindak pidana. 

Ketiga, tidak boleh menayangkan secara terperinci rekonstruksi yang dilakukan oleh pihak kepolisian.

"Keempat tidak boleh memberitakan terperinci reka ulang kejahatan meskipun bersumber dari pejabat kepolisian yang berwenang dan/atau fakta pengadilan," jelas TR tersebut.

Kelima, tidak menayangkan reka ulang pemerkosaan dan/atau kejahatan seksual. 

Keenam, menyamarkan gambar wajah dan identitas korban kejahatan seksual dan keluarganya, serta orang yang diduga pelaku kejahatan seksual dan keluarganya.

Ketujuh, menyamarkan gambar wajah dan identitas pelaku, korban, beserta keluarga maupun korbannya yang masih di bawah umur juga harus disamarkan.

"Kedelapan, tidak menayangkan secara eksplisit dan terperinci adegan dan/atau reka ulang bunuh diri serta menyampaikan identitas pelaku," bunyi poin lainnya.

Kesembilan, tidak menayangkan adegan tawuran atau perkelahian secara detail dan berulang-ulang.

Kesepuluh, kepolisian dilarang membawa media dan melakukan siaran langsung saat proses penangkapan pelaku kejahatan. Hanya anggota Polri yang berkompeten yang boleh melakukan dokumentasi.

"Terakhir, tidak menampilkan gambaran eksplisit dan terperinci tentang cara membuat dan mengaktifkan bahan peledak," tutup telegram itu.

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo (polri.go.id)
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo (polri.go.id) (polri.go.id)

Polri: Hanya Berlaku Internal

Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono menyatakan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo tidak melarang media konvesional untuk menayangkan jika ada anggota Polri yang dianggap menyalahgunakan tugasnya melakukan kekerasan.

Hal tersebut sekaligus mengklarifikasi mengenai surat telegram rahasia (STR) Kapolri Jenderal Listyo Sigit dengan nomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021.

Baca juga: Suami Polwan Bripka ARP Kaget Ada Handuk Masih Basah saat Pergoki Istrinya Selingkuh di Kamar Hotel

Dimana poin pertama dalam STR itu banyak mendapatkan kritik karena mengancam kebebasan pers.

Menurutnya, surat telegram itu tidak ditunjukkan kepada insan pers secara umum. Namun, surat telegram itu diarahkan kepada personel yang bertugas di bidang kehumasan.

"STR tersebut untuk internal," kata Brigjen Rusdi Hartono saat dikonfirmasi, Selasa (6/4/2021).

Rusdi kemudian menjelaskan alasan Kapolri menerbitkan STR itu kepada jajaran internalnya.

Menurutnya, instruksi itu bertujuan agar humas dapat berkinerja lebih baik lagi.

Baca juga: Kritik Keras IPW Usai Terduga Teroris Serang Mabes Polri, Sebut Jajaran Kapolri Listyo Sigit Ceroboh

"STR itu untuk internal agar kinerja pengemban fungsi humas di satuan kewilayahan lebih baik, lebih humanis dan profesional," tukas dia.

Dikritik PWI

Ketua Dewan Kehormatan PWI Ilham Bintang menilai surat telegram itu seharusnya ditujukkan kepada media Polri ataupun stasiun televisi yang bekerjasama dengan Polri.

"Saya pikir telegram Kapolri itu salah alamat kalau ditujukan kepada media pers. Mungkin itu memang buat media-media Polri yang selama ini bekerjasama dengan terutama stasiun TV, membuat program buser dan kawan-kawannya," kata Ilham dalam keterangannya, Selasa (6/4/2021).

Dijelaskan Ilham, sumber hukum pers diTanah Air adalah UU Pers Nomor 40 tahun 1999 yang merupaksn produk reformasi. Aturan ini secara hukum jauh di atas surat telegram Kapolri.

"Jadi, menurut saya bukan untuk media pers. Kalau pun dimaksudkan untuk media pers, saya harus mengatakan itu salah alamat.

Derajat telegram itu jauh di bawah UU Pers. Mustahil peraturan yang berada di bawah, seperti telegram Kapolri mengalahkan UU yang berada di atasnya," ungkap dia.

Lebih lanjut, Ilham menambahkan Kapolri seharusnya menerbitkan surat telegram yang berisikan larangan personel Polri untuk melakukan kekerasan daripada melarang menyiarkannya.

"Kalau buat pers justru itu penting diberitakan sebagai koreksi kepada polisi.

Yang benar, Kapolri harus melarang polisi bersikap arogan dalam melaksanakan tugas.

Sudah pasti tidak ada video yang merekam peristiwa itu untuk disiarkan," ucapnya.

Ia mengkhawatirkan adanya misinformasi yang disampaikan oleh pihak kepolisian sebagaimana tertera dalam surat telegram tersebut.

"Supaya lebih terang dan tidak disalahtafsirkan nanti oleh petugas polisi di lapangan yang berpotensi menimbulkan kegaduhan baru," ungkapnya.

(*)

(Tribunnews)

Berita tentang Kapolri

Sumber: Tribunnews.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved