Berita Nasional Terkini

Praktisi Hukum Duga Keinginan Kapolri Rekrut Pecatan KPK Sebagai Langkah Politis, Ini Pengamatannya

Praktisi Hukum Fathul Huda Wiyashadi duga keinginan Kapolri Listyo Sigit Prabowo rekrut pecatan KPK sebagai langkah politis, ini pengamatannya.

KOLASE TRIBUNKALTARA.COM/HO/POLDA KALTIM/TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Ilustrasi - Kapolri Jendpol Listyo Sigit Prabowo dan Massa aksi yang tergabung dalam serikat buruh dan masyarakat sipil melakukan aksi teatrikal di depan Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (28/6/2021). Aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk protes dari upaya pelemahan KPK mulai dari revisi UU KPK hingga pemecatan 75 pegawai KPK yang tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). KOLASE TRIBUNKALTARA.COM/HO/POLDA KALTIM/TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

Menurutnya, perekrutan eks pegawai KPK ke tubuh Polri bukan menjadi solusi atas pemberantasan korupsi di Indonesia.

Sebab, berdasarkan pengamatanya, tidak ada PNS yang berwenang di organisai Polri untuk melakukan penyidikan.

Demikian, bagi Fathul, tidak efektif.

“Lebih efektif di KPK dong daripada di Polri. Emang Bareskrim kekurangan personil sampai merekrut 57 orang itu? Nggak juga, ku pikir. Malah yang kekurangan itu KPK-nya,” tegas Fathul melalui sambungan seluler, Minggu (3/10/2021).

Baca juga: Korupsi Berjamaah Muara Enim, KPK Tetapkan Tersangka 10 Anggota DPRD dan Dijejer Pakai Rompi Oranye

Pada Tribun Kaltim, ia menegaskan bahwa bukan soal dimana mereka kemudian akan dipekerjakan.

Hanya saja, menurut Fathul, pemecatan terhadap 57 orang tersebut adalah upaya pelemahan pemberantasan korupsi.

Ia khawatir, dengan adanya perekrutan puluhan eks pegawai KPK itu, pengalaman dan keterampilan mereka dalam mengungkap kasus korupsi hitungan tahun terakhir tak bisa digunakan jika terjun dalam sepak terjang organisasi Polri.

“Mereka sama aja dibawah kendali Presiden. Kalau di Bareskrim cuma jadi pejabat teras, gimana? Paling buat bantu-bantu aja, ya, ngapain. Nggak efektif,” tandas pria yang juga menjabat Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda itu.

Fathul sendiri kemudian memutar kembali tentang alasan berdirinya KPK. Kata Fathul, lemahnya kepercayaan publik terhadap kinerja kepolisian dan kejaksaan dalam penanganan kasus korupsi jadi landasan berdirinya KPK.

Sebab itu, kewenangan dalam kasus tindak pidana korupsi (tipikor) cenderung dibebankan kepada KPK berbanding Polri dan Kejaksaan.

“Nanti kalau tingkat kepercayaan masyarakat kembali, baru KPK bisa dibubarkan. Kan selama ini kerjanya Polri dan Kejaksaan gitu-gitu aja, berarti kita masih butuh KPK. Logikanya gitu,” imbuh Fathul.

Baca juga: KPK Tetapkan Azis Syamsuddin jadi Tersangka, Mundur Diri dari Wakil Ketua DPR RI, Ini Sikap Golkar

Di samping itu, Fathul mengaku merasa bingung akan keputusan Jokowi yang menyetujui permohonan Kapolri.

Pasalnya, tak ada bedanya antara pengangkatan ASN di Polri atau dikembalikan ke KPK. Baginya, tak ubahnya semata langkah politis.

“Kan sama aja pengangkatan jadi ASN. Ditaruh di KPK atau ditaruh di Mabes Polri, teknisnya kan sama, pakai surat. Kenapa suratnya nggak ditaruh di KPK aja. Apa susahnya?” tukas Fathul.

Karenanya, menyoroti isu perekrutan tersebut, Fathul beranggapan, langkah jangka pendek yang sepatutnya diambil oleh Presiden RI Jokowi bukan dengan mengamini permintaan Kapolri, melainkan mengembalikan 57 orang tersebut ke KPK.

Pasalnya, menurut Fathul, 57 orang tersebut yang dinilai berpengaruh terhadap pengungkapan kasus besar yang belum tentu bisa dilakukan oleh penyidik di KPK sekarang.

Sumber: Tribun Kaltara
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved