Berita Tarakan Terkini

Vonis Mati Herry Wirawan Berbeda dengan Kasus Asusila Anak di Tarakan, Ini Penjelasan Dosen FH UBT

Vonis mati kasus Herry Wirawan berbeda dengan kasus asusila anak di Tarakan, ini penjelasan Dosen FH UBT.

Penulis: Andi Pausiah | Editor: M Purnomo Susanto
TRIBUNKALTARA.COM/ANDI PAUSIAH
Dr.Syafruddin, S.H.,M.Hum, dosen pengajar Hukum Pidana Pasca Sarjana (S2) Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan. 

Pelakunya sendiri bukan tenaga pengajar resmi di sekolah santri tersebut namun pelaku dianggap senior yang dipercayakan membantu membimbing para santri di sekolah informal tersebut yang berada di Juata Laut.

Jika melihat kasusnya, rerata pelaku dan korban berjenis kelamin yang sama yakni laki-laki.
Maka dikatakan Syafruddin, kasus Herry Wirawan dan kasus yang terjadi di Tarakan tidak bisa diterapkan hukuman vonis yang sama.

Jika menyoal kasus Herry Wirawan, putusan hakim berangkat dari adanya dasar-dasar yang memberatkan terdakwa melalui pertimbangan hakim tersebut.

“Maka itu wajar saja karena menyangkut pelecehan seksual. Apalagi korbannya anak-anak. Tapi kalau dihubungkan dengan kasus di Tarakan tidak boleh menggeneralisasi atau menyimpulkan secara umum seperti itu walaupun sama-sama tindak pidana asusila,” tegasnya.

Karena bisa saja lanjutnya kasus atau case berbeda-beda. Sehingga memang perlu pertimbangan.

Apalagi kalau ada faktor yang bisa menjadi dasar peringan bagi pelaku seksual tersebut.

“Biasanya terjadi bukan karena mau semata-mata melakukan itu tapi mungkin ada penyakit yang ada dalam dirinya dan mendorong secara internal dan tidak bisa dielakkan. Hukum juga melindungi orang-orang yang seperti itu,” ujar pria alumni S2 Universitas Hasanuddin tahun 1999 ini.

Sehingga case yang terjadi di Bandung Herry Irawan berbeda dengan case yang terjadi di Tarakan.

Maka lanjutnya, setiap kali menghadapi kasus serupa harus mencari siapa yang menjadi korban dan siapa yang menjadi pelakunya,

“Kita harus mempelajari. Polisi, jaksa harus melihat itu. Supaya di pengadian nanti betul-betul fear atau adil. Bahwa secara ketentuan melawan hukum, tapi ingat alasan orang melakukan kesalahan ini. Mungkin saja ada dorongan yang tidak bias dilawan, ada penyakit. Dan namanya penyakit seperti itu sulit dilawan,” beber Syafruddin yang juga merupakan alumni Universitas Airlangga tahun 2015.

Baca juga: Beli Konten Asusila Dea Only Fans, Polisi Beber Kemungkinan Status Marshel Widianto Jadi Tersangka

Jika melihat kasus di Tarakan yang jumlah korbannya mencapai puluhan, pelaku dan korbannya sesama jenis atau bisa dikategorikan pelaku memiliki keabnormalan dalam melampiaskan hasrat seksualnya bukan pada lawan jenis melainkan pada lawan jenis.

“Itu bisa menjadi pertimbangan hakim. Tapi kalau tidak ada penyakit itu dan kerjanya suka begitu ya diberikan saja hukuman setinggi-tingginya supaya kapok. Memang secara umum ada kepentingan umum semua yang melakukan kejahatan. Harus dihukum setinggi-tingginya. Tapi jangan sampai melupakan kepentingan hukum orang untuk dilindungi karena salah satunya ada penyakit yang membelenggu dirinya,” tegas Syafruddin.

Ia melanjutkan, membahas dari sisi korban yang ingin meminta seadil-adilnya pelaku diberikan hukuman, ia tak menampik hal tersebut. Korban juga sangat perlu diperhatikan.

“Korban itu mengantarkan kita untuk memproses orang secara hukum. Jadi hukum melihat korban dan akibat. Tapi dalam memberikan penilaian kita lihat prosesnya. Kenapa bisa terjadi. Kalau murni kejahatan hukum saja setinggi-tingginya,” tegas pria yang juga pengajar Hukum Pidana Universitas Borneo Tarakan (UBT) pasca sarjana (S2).

Namun jika di balik kejahatan tersebut ada hal-hal yang menjadi beban dan pelaku melakukan kejahatan maka perlu dipertimbangkan apakah perlu sampai vonis mati.

Sumber: Tribun Kaltara
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved