Berita Tarakan Terkini
Harga Udang Anjlok, APINDO Kaltara Tegaskan Tak Ada Permainan, Dampak Perang Rusia-Ukraina
Ketua DPP Apindo Kaltara Peter, menuntaskan persolan harga udang yang terkadang naik turun dan menjadi persoalan dikeluhkan tiap tahun petambak.
Penulis: Andi Pausiah | Editor: Junisah
TRIBUNKALTARA.COM, TARAKAN – Persoalan harga komoditas udang yang sempat dikeluahkan petambak di Tarakan ikut direspons Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Kalimantan Utara.
Ada tiga pihak yang masuk kategori pengusaha dalam membahas tuntas persoalan harga udang. Pertama, ada petani tambak yang memanen alias memproduksi udang untuk dijual. Kedua, ada supplier, mereka biasanya ada di pos pembelian udang atau pihak kedua atau pihak pengumpul udang dari petani tambak sebelum dijual pihak perusahaan cold storage.
Terakhir pihak ketiga yakni pabrik atau perusahaan cold storage yang kemudian komoditas ini diekspor keluar Kaltara dan keluar negeri.
Baca juga: Mediasi Sempat Alot, Tiga Pelaku Usaha Cold Storage di Tarakan Sepakat Naikkan Harga Udang
Ini dikatakan Peter Setiawan Ketua DPP Apindo Kaltara. Untuk itu, menuntaskan persolan harga udang yang terkadang naik turun dan menjadi persoalan dikeluhkan setiap tahun petani tambak, harus dibahas dari hulu sampai ke hilir.
Dikatakan Peter Setiawan, dengan adanya kenaikan BBM memberikan pengaruh untuk cost operasional lebih tinggi dari biasanya yang dialami pengusaha. Belum lagi bibit hingga pupuk yang tidak mendapatkan subsidi sama sekali.
Dalam hal ini dilanjutkan Peter Setiawan, petambak punya risiko besar, jika gagal panen atau harga murah maka tidak bisa menutup cost operasional.
Kemudian jika ini terjadi di kalangan petani tambak atau dikenal petambak, maka berdampak pada supplier. Mereka juga memiliki risiko yang sama dengan memberikan pinjaman ke petambak.
Baca juga: Alat Pengupas Kulit Udang Rancangan Ismail Juara 1 se-Kaltara, Sudah Ditawar Pengusaha Malaysia
“Sebab, jika hasil panen petambak gagal maka modal yang sudah dipinjamkan akan mandek,” bebernya.
Dampaknya lagi, yakni pihak perusahaan atau pabrik atau hilirnya, harga udang berbeda dengan tahun 1998 lalu. Dulu saat 1998 krisis moneter, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di dunia, sangat berpengaruh terhadap seluruh harga yang berlaku saat itu.
“Jadi ketika dollar naik, Tarakan happy semua. Petambak senang, supplier senang, pabrik juga senang. Sekarang kan tidak begitu lagi. Apalagi sejak perang Ukraina vs Rusia memberikan dampak yang sangat besar sekali. Mulai mata uang yang turun hingga permintaan juga menurun,” jelasnya.

Saat ini lanjutnya, keluhan dari pabrik adalah pasar Amerika Serikat sudah setop untuk membeli udang. Karena mereka merasa inflasi tinggi dan resesi global di dunia. Mereka tidak makan bahan pokoknya udang, jadi mereka beralih ke ayam.
Sementara itu, pasar ekspor terbesar untuk udang windu adalah Jepang dan lanjutnya, kondisi saat ini, mata uang Jepang mulai merosot.
“Sehingga situasi ini serba salah. Ketika pabrik beli berdasarkan PO maka dampaknya lebih besar ke petambak. Akhirnya pabrik juga dilema sekali. Jika beli, gak bisa jual, stoknya banyak. Putarannya tidak bisa cepat, maka petambak juga susah. Maka kita harus berpikir global, jangan berpikir ego masing-masing,” ujarnya.
Lalu kemudian, ia tak menampik adanya isu permainan harga di pabrik. Isu itu sudah beredar di kalangan petambak. Peter menegaskan, permainan harga di lingkup pabrik tidak bisa terjadi. Ia berani mengatakan demikia karena ia juga menjadi salah satu yang terlibat dalam jual beli di tiga perusahaan clod storage di Tarakan.
Baca juga: Perumda Tarakan Kembali Bangkit, Hasil MoU Akan Lakukan Ekspor Ikan dan Udang Beku ke Malaysia
Diketahui di Tarakan ada tiga perusahaan cold storage yakni ada PT SKA, ada PT Sabindo dan ada PT Mustika Minanusa Aurora.
“Meski kami bertiga bersaudara, tapi tidak bisa bersatu. Sebab kita bersaing. Ini bisnis. Kalau ada yang bilang, wah ini kok bisa harga sama, karena memang buyer sama. Hanya saja mereka kadang belinya di Mustika, kadang di SKA atau Sabindo. Ini buyernya sama bukan masing-masing cold storage punya buyer yang berbeda. Makanya harga sama,” paparnya.
Pemerintah kota lanjut Peter sudah melakukan pertemuan dan mengundang semua pihak baik dari Apindo, cold storage, petambak dan pemerintah Kota Tarakan bersama DPRD pada Minggu (25/9/2022) lalu.
Hasil rapat saat itu, harga udang jenis windu ukuran atau size 20 dinaikkan Rp 15 ribu sementara untuk size di bawahnya hanya naik Rp 10 ribu per kg.
“Kenaikan ini lanjutnya, untuk harga tabel dan komisi tetap. Karena komisi untuk petambak ini tetap maka komisi supplier memang harus turun,” lanjutnya.
Dalam hal ini lanjutnya, pihak supplier tidak bisa disalahkan karena mereka sama-sama mencari keuntungan.
“Untuk petambak kan murni masuk ke pabrik. Jika size 20 itu gak ada campuran dengan size lain. Kalau dari supplier mungkin untuk size 20 ada campuran size 50, 60 dan lainnya. Itu teknik dari mereka karena semua cari untung. Tapi tidak masalah, yang penting kita timbang, kalau cocok yah di beli, jika tidak cocok jangan di beli,” tuturnya.
Sehingga ia menyimpulkan, saat ini krisis dunia penyebabnya. Harga udang anjlok. Jika ada yang berpatokan dari harga dollar, misalnya harga dollar naik tapi harga udang turun, ia tegaskan itu bukan itu penyebabnya. Penyebabnya adalah tidak ada buyer, tidak ada pembeli. Seperti dikatakan sebelumnya, tidak ada demand atau permintaan dari luar dan banyak beralih mengonsumis ayam daripada udang.
Baca juga: Resep Udang Goreng Garlic Salted Egg, Cremy dan Gurih Menggugah Selera, Cocok untuk Buka Puasa
“Saat ini size kecil seperti 50 dan 60, itu susah jual. Apalagi India ada teknologi baru, untuk size 20 bisa dihasilkan dalam waktu 4 bulan, dia jual dengan harga murah. Imbasnya Indonesia rugi lagi karena mereka tidak mau beli yang mahal, mereka cari yang murah,” paparnya.
Sebenarnya lanjut Peter, ini juga yang sedang dihadapai dalam hal ekspor udang. Pada dasarnya , tiga pihak hanya perlu duduk bersama dan berkomunikasi lebih intensif.
“Saya berpesan kita duduk bersama, komunikasi yang baik. Sebab jika tidak ada komunikasi maka muncul persepsi yang salah,” pungkasnya.
(*)
Penulis: Andi Pausiah