Berita Nasional Terkini

Pengembangan Kendaraan Listrik: Menyusuri Capaian Emisi di Hilir Hingga Dampak Ekstraktif di Hulu

Kebijakan pengembangan kendaraan listrik jalan keluar untuk mengurangi emisi karbon dari sektor transportasi, belum diyakini sebagai langkah tepat.

Penulis: Edy Nugroho | Editor: Sumarsono
IST/tangkap layar
Diskusi Media: Beralih ke Kendaraan Listrik, Lebih Banyak Manfaat atau Mudharatnya?’, Jumat, 14 April 2023. 

Ini merupakan sinyal baik yang mengarah pada potensi penggunaan kendaraan listrik yang lebih masif untuk publik di masa mendatang.

Namun perjalanan masih panjang untuk mencapai target 2030 yang ditetapkan oleh ESDM, di mana ditargetkan akan ada 2 juta mobil listrik dan 13 juta motor listrik.

Maka sangat penting diperhatikan tentang regulasi kendaraan, seperti regulasi terkait kendaraan listrik terutama proporsi kendaraan listrik milik pribadi dan umum, penyediaan infrastruktur pengisian daya kendaraan listrik listrik, dan penggunaan kendaraan pengangkut berkapasitas besar seperti truk dan bus.

“Bila melihat pengembangan kendaraan listrik di lima negara ASEAN, Indonesia tidak tertinggal jauh, subsidi/insetif pajak sudah ada, target untuk special fleet, misalnya Transjakarta full electric by 2030 ada, hingga adanya pengembangan industri kendaraan listrik baik di manufacturing juga ada, ditambah adanya dukungan internasional untuk elektrifikasi.

Tapi satu yang perlu dicatat, negara lain seperti Thailand memiliki target produksi dan penjualan kendaraan listrik, di Indonesia sudah mengarah ke titik itu, di mana Kementerian Perindustrian juga mengeluarkan target 20 persen dari total penjualan kendaraan mobil penumpang di tahun 2025,” ujar Tenny Kristiana, Associate Researcher The International Council on Clean Transportation (ICCT).

Ia menyebutkan, berdasarkan kajian ICCT, kendaraan listrik memiliki keunggulan tidak hanya emisi karbonnya yang rendah dibandingkan dengan kendaraan berbahan bakar fosil, juga dengan tidak adanya gas buang dari knalpot.

Hal ini menjadi sangat penting karena ini memberikan dampak langsung terhadap kesehatan masyarakat.

Tenny menambahkan, untuk mengurangi dampak lingkungan di sektor hilir, konsep penggunaan ulang baterai bisa menjadi salah satu solusi.

Studi terbaru ICCT menemukan bahwa menggunakan kembali 50 persen baterai yang sudah habis masa pakainya untuk penyimpanan energi bisa menyediakan kapasitas 86 GWh pada 2030, lalu 3,000 GWh pada 2040, hingga 12,000 GWh pada 2050.

Baca juga: Presiden Jokowi Undang Jepang Investasi Baterai, Bicara Kendaraan Listrik di KTT ASEAN-Jepang

Alhasil, kebutuhan penambangan nikel, cobalt, lithium dan juga manganese bisa berkurang.

Sebagai mitra strategis pemerintah, Harya Setyaka Dillon selaku Wakil Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), mengharapkan adanya reformasi terkait kebijakan tata kelola transportasi perkotaan.

Ke depannya, fokus pemerintah seharusnya tak hanya memprioritaskan manfaat kendaraan listrik untuk pribadi, tetapi juga untuk kebutuhan publik secara umum dengan mengedepankan inovasi ke transportasi berkelanjutan yang didukung dengan kemajuan teknologi.

“Saran untuk pemerintah adalah pertama, elektrifikasi kendaraan harus masuk ke dalam agenda RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional), sehingga upaya dari semua sektor saling tersinkronisasi dan terhubung agar pembangunan ekonomi menjadi lebih nyata.

Kedua, fokus terhadap kendaraan bus listrik yang manfaatnya kepada lingkungan terbukti lebih besar dan menghindari kepadatan kendaraan di jalan.

Selanjutnya adalah kembali mengencangkan skema insentif, sehingga kendaraan berbahan bakar fosil bisa segera dipensiunkan.

Terakhir, pengolahan limbah baterai dari mobil bekas agar bisa dipergunakan kembali untuk energi terbarukan, sebagai bagian dari upaya penurunan emisi gas rumah kaca secara keseluruhan,” tutup Harya. (*)

Halaman 3 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved