Jejak Islam di Kaltim

Masjid Jami Adji Amir Hasanuddin, Warisan Sultan Kutai Saksi Perjalanan Syiar Islam di Kukar

Masjid Jami Adji Amir Hasanuddin yang dulu dikenal sebagai Masjid Sultan menjadi saksi perjalanan syiar Islam di Kutai Kartanegara, Kalimantn Timur.

|
Editor: Sumarsono
Tribun Kaltim/Dwi Ardianto
Masjid Jami Adji Amir Hasanudin atau yang dulu dikenal dengan Masjid Sultan dikunjungi Tribun Kaltim akhir Februari 2024 kemarin. Masjid yang sudah berusia lebih dari satu abad ini menjadi saksi perjalanan syiar islam di Kutai Kartanegara. 

Awalnya, bangunan masjidnya hanya berupa mushala atau surau kecil. Kemudian tahun 1923 di bawah pemerintahan Sultan Adji Muhammad Parikesit, bangunan surau tersebut dirombak menjadi bangunan masjid cukup besar.

Karena termakan usia, bangunan masjid tersebut dilakukan pemugaran oleh Adji Amir Hassanuddin yang bergelar Pangeran Sosronegoro bersama Tuan Guru Sayid Saggaf Baraqbah pada 1929.

Pembangunan tahap pertama Masjid Jami Adji Amir Hasanuddin dilakukan pada masa pemerintahan Raja Sultan Sulaiman, sedangkan tahap kedua dilakukan pada masa pemerintahan cucunya yakni Sultan Adji Muhammad Parikesit.

Konon, asalnya kayu-kayu yang ada dalam masjid tersebut digunakan sebagai tiang saka.

Mulanya hendak digunakan sebagai alat untuk proses ritual adat pemandian “menduduskan” putra mahkota Aji Penggeuk, tapi ternyata yang terjadi malah duka cita, beliau meninggal dunia.

Selang sekian waktu, kayu ulin yang besar dengan jumlah 16 tiang akhirnya digunakan untuk proses peletakan batu pertama pembangunan masjid.

Tiang-tiang utama yang menopang Masjid Shiratal Mustaqiem di Samarinda, tiang-tiang ini sendiri disebut merupakan salah satu yang masih asli semenjak masjid ini pertama dibangun sekitar tahun 1891. 
Tiang-tiang utama yang menopang Masjid Shiratal Mustaqiem di Samarinda, tiang-tiang ini sendiri disebut merupakan salah satu yang masih asli semenjak masjid ini pertama dibangun sekitar tahun 1891.  (Tribun Kaltim/Dwi Ardianto)

Pada 1874 waktu subuh itulah mulai pertama rakyat bergotong royong mendirikan masjid.

Dibangun gotong royong. Tidak ada paksaan mau pun upah yang dijanjikan kepada setiap yang terlibat.

Masyarakat antusias berkontribusi karena murni memiliki rumah ibadah representatif, hingga mengundang warga untuk terlibat membangun masjid dengan iman dan keikhlasan.

Berlanjut pada 1962, Ketua Takmir Masjid Iskandar Usat mengusulkan perubahan nama.

Musyawarah pun dilakukan Bersama tokoh Masyarakat Tenggarong kala itu. Dengan usulan perubahan nama Masjid Jami’ Adji Amir Hasanuddin.

Para pengurus masjid, serta tokoh Masyarakat menyetujui.

Sementara periode kedua, setelah berfungsi cukup lama sekitar tahun 1874-1927. Dilakukan renovasi tanpa menghilangkan sisi historisnya.

Dan tokoh pendiri yang tidak dapat dilupakan sejarahnya sampai saat ini yakni Adji Amir Hasanuddin dan Tuan Guru Sayid Sagat Baraqbah.

Sebagai penghargaan atas perjuangannya dalam syiar Islam ini, Kementerian Agama Kalimantan Timur dalam surat nomor WQ/2/2526/1981 menetapkan nama beliau untuk dinobatkan sebagai nama Masjid Jami Adji Amir Hasanuddin.

Baca juga: Perjalanan Dakwah Pangeran Noto Igomo, Menyebarkan Agama Islam Sembari Membuka Perkebunan

Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved