Berita Bulungan Terkini
Mengenal Sejarah Tradisi Biduk Bebandung Bulungan Kaltara, Kendaraan Kesultanan saat Menyambut Tamu
Tradisi Biduk Bebandung merupakan warisan budaya sakral yang terus dilestarikan oleh Pemkab Bulungan.
Penulis: Desi Kartika Ayu | Editor: M Purnomo Susanto
TRIBUNKALTARA.COM, TANJUNG SELOR – Tradisi Biduk Bebandung merupakan warisan budaya sakral yang terus dilestarikan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bulungan, Kaltara.
Tradisi Biduk Bebandung ini menjadi simbol dimulainya rangkaian Birau Bulungan atau perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Bulungan dan Tanjung Selor.
Kapal menyerupai pendopo yang dihias dengan ornamen dan kain berwarna kuning, merah dan hijau ini menjadi kendaraan Kesultanan Bulungan kala itu untuk menyambut tamu kehormatan.
Dibalik perayaan tradisi yang menjadi budaya di Bulungan ini terdapat sejarah singkat lahirnya Biduk Bebandung ini.
Baca juga: Merawat Tradisi Melestarikan Kebudayaan: Biduk Bebandung jadi Simbol Rangkaian Birau Bulungan Dibuka

Disampaikan oleh salah satu tokoh masyarakat yang kini juga bekerja di pemerintahan, Saruddin bahwa Tradisi Biduk Bebandung ini digelar pertama kali oleh Sultan Jalaluddin saat pertama kali diangkat menjadi Sultan Bulungan.
“Jadi Kapal ini asli Bulungan,” katanya.
Biduk Bebandung ini terdiri dari dua perahu yang diikat menjadi satu atau biasa disebut sebagai perahu kembar.
Biduk yang berarti perahu dan Bebandung berarti diikat menjadi satu atau kembar.
Dimana dikisahkan sebelum Kesultanan berdiri di Bulungan, terdapat seorang Datu dari wilayah Brunei (ujung utara Bulungan) yang dikenal sebagai Datu Mancang mendapat titah dari sang ayahanda untuk memperluas wilayah sungai Kayan (Bulungan).
Datu Mancang bersama rombongan memulai perjalanan dengan menggunakan kapal penisir menyusuri wilayah utara Bulungan.
Namun naasnya ditengah perjalanan kapal yang dikendarainya pecah akibat dihantam ombak laut.
“Jadi Kapalnya itu pecah karena kena ombak laut di daerah Binai, sekarang masuk Tanjung Palas Utara,” jelasnya.
Akhirnya Datu Mancang memilih untuk memperbaiki kapalnya yang pecah dengan merakit kepingan-kepingan kapal tersebut dengan diikat. Inilah yang kemudian menjadi Kapal Biduk Bebandung.
“Kapalnya pecah di daerah Binai, kemudian kepingan-kepingannya disatukan oleh Datu Mancang. Jadilah Kapal Biduk Bebandung ini,” terangnya.
Sehingga dapat dikatakan bahwa Kapal Biduk Bebandung ini juga telah menyelamatkan perjalanan Datu Mancang untuk memperluas wilayah Bulungan.
Ornamen Kapal Warna Kuning Dengan Sesaji di Dalamnya
Kapal Biduk Bebandung ini memiliki tiga unsur warna yakni kuning, merah dan hijau (di bagian bawah kapal). Selain itu terdapat beberapa tiang penopang serta ukiran kepala naga diatas kapal.
Untuk sesajen yang dihidangkan biasanya adalah makan khas Bulungan dan hasil bumi Bulungan seperti Kepala, pisang, beras dan gula merah.
Baca juga: Bupati Bulungan Ingin Budaya Biduk Bebandung Terus Dilestarikan, Bisa Menjadi Daya Tarik Pariwisata
Sesajen tersebut kemudian dikenal sebagai ‘pen-duduk’ yang memiliki tujuan untuk mengikat hal-hal buruk berbau spiritual.
“Kalau ada gangguan spiritual akan dikunci dan masuk disitu. Artinya dipersilahkan ‘duduk’ dan jangan kemana-mana,” sebutnya.
Sehingga hal-hal buruk tidak akan menyebar ke wilayah Bulungan. Oleh sebab itu, tradisi ini tetap dipertahankan hingga saat ini dan menjadi tradisi wajib setiap tahunnya.
(*)
Penulis : Desi Kartika Ayu Nuryana
Merawat Tradisi Melestarikan Kebudayaan: Biduk Bebandung jadi Simbol Rangkaian Birau Bulungan Dibuka |
![]() |
---|
Jadwal Agenda HUT ke-65 Bulungan, Bupati Syarwani dan Anggota DPRD Kompak Berbalut Pakaian Adat |
![]() |
---|
Diduga Pengemudi Microsleep, Mobil Masuk Parit di Jalan Sengkawit Bulungan: Evakusi Pakai Alat Berat |
![]() |
---|
Andalkan Kempo, Tanjung Palas Timur Target 3 Besar di Porkab Bulungan 2025 |
![]() |
---|
Masih Ada Depo Air Isi Ulang di Bulungan Tak Ganti Lampu UV, Dinkes Temukan Kandungan E Coli Tinggi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.