Perang Rusia dan Ukraina

Imbas Perang Rusia Kepada Ukraina, Harga Minyak dan Gandum Meroket,Indonesia Berpeluang Kena Hantam?

Dunia diguncang aksi Presiden Putin ketika mengumumkan operasi militer ke Ukraina.Harga minyak dan gandum meroket,Indonesia berpeluang kena hantam

Editor: Hajrah
Finance and Markets
Harga minyak dunia menembus US$ 100/barel atau sekitar 1,4 juta untuk pertamakalinya dalam tujuh tahun terakhir. Walau barangkali berlum berpengarush signifikan, namun Indonesia sebagai pengimpor bahan bakar minyak dipastikan terdampak dari sisi APBN dan inflasi. (Finance and Markets ) 

TRIBUNKALTARA.COM- Dunia diguncang aksi Presiden Putin ketika mengumumkan Operasi Militer ke Ukraina.

Hingga kini, Ukraina berada dalam status darurat Internasional menyusul ledakan yang terus terjadi di negara tersebut. Tensi Panas antara kedua negara masih berlangsung.

Akibatnya kontraksi berbagai sektor ekonomi global tak terelakkan.

Sejauh apa sebenarnya efek dari perang dua negara benua biru ini?

Benarkah saat ini harga minyak dunia mulai terkoreksi.

Seperti diketahui, harga minyak dunia menembus US$ 100/barel atau sekitar 1,4 juta untuk pertamakalinya dalam tujuh tahun terakhir.

Walau barangkali berlum berpengarush signifikan, namun Indonesia sebagai pengimpor bahan bakar minyak dipastikan terdampak dari sisi APBN dan inflasi.

Konflik ini bisa memicu efek domino yang berpengaruh terhadap suplai Indonesia.

Tak hanya minyak, harga pangan lain seperti gandum dan jagung dikabarkan ikut meroket. Harga pangan global mendekati level tertinggi dalam 10 tahun terakhir.

Ini mengingat Rusia dan Ukraina merupakan salah satu pemasok gandum yang cukup vital bagai Indonesia. Untuk diketahui, pemakaian gandum dalam nehgeri tahun 2020 mencapai 8,6 juta ton, tahun 2021 naik jadi 8,9 juta ton dan diproyeksi tahun ini alami peningkatan hingga 5 persen.

Presiden Rusia Vladimir Putin. (Twitter/@mfa_russia)
Presiden Rusia Vladimir Putin. (Twitter/@mfa_russia) (Twitter/@mfa_russia)

Baca juga: Bukan Ancaman, Ini Sanksi Ekonomi Beberapa Negara yang Menanti Untuk Rusia Jika Tak Hentikan Perang

Komisi VII DPR meminta pemerintah tidak buru-buru menaikkan harga energi di pasar domestik meski harga minyak mentah dan harga gas dunia melonjak tajam sebagai ekses serangan militer Rusia ke Ukraina, Kamis (24/2/2022) kemarin.

"Fraksi PKS meminta pemerintah cepat mengantisipasi berbagai kemungkinan buruk tersebut dan tidak mengambil solusi gampangnya saja dengan mengorbankan rakyat melalui cara menaikkan harga BBM, gas LPG, dan tarif listrik domestik,” kata Komisi VII DPR RI Mulyanto, Jumat (25/2/2022).

Menurut, pemerintah harus memberi perhatian khusus dan bekerja ekstra keras mencari jalan keluar mengatasi persoalan lonjakan harga komoditas energi dunia, agar tidak merembet dan berpengaruh negatif bagi perekonomian nasional.

Hal ini perlu dilakukan, karena Indonesia sudah termasuk dalam kelompok negara net importer migas, terutama BBM dan gas LPG.

“Pemerintah jangan sekedar latah dengan menaikkan harga BBM, gas LPG, dan listrik domestik. Kalau langkah ini yang diambil, maka diduga dapat memicu inflasi, yang menderita adalah masyarakat luas," ucap politikus PKS itu.

Baca juga: Pemerintah Diminta Jaga Harga BBM di Tengah Naiknya Harga Minyak Dunia Akibat Rusia Invasi Ukraina

Mulyanto pun meminta pemerintah mengambil langkah berbagai upaya mereduksi ketergantungan pada BBM dan gas LPG internasional harus semakin dipercepat.

"Sudah sangat mendesak adalah konversi pembangkit listrik tenaga diesel dengan gas atau EBT, khususnya di wilayah Indonesia bagian timur. Selain itu adalah konversi gas LPG untuk keperluan rumah tangga dan industri dengan gas alam,” paparnya.

Dalam jangka pendek, Mulyanto mengusulkan agar pemerintah menghidupkan kembali gerakan penghematan migas nasional.

"Untuk jangka panjang program mobil listrik, pembangunan kilang minyak dan peningkatan lifting migas menjadi sangat strategis. Sayanganya program-program ini terkesan lambat bila tidak ingin dikatakan jalan di tempat," ujarnya.

Baca juga: Operasi Militer, Ini Ancaman Serius Untuk Ekonomi Global Rusia, Inggris dan Amerika Kompak Blokade

Diketahui, patokan internasional minyak mentah berjangka Brent naik 4,34 persen menjadi 101,04 dolar AS per barel, melintasi level 100 dolar AS untuk pertama kalinya sejak 2014.

Sepanjang pekan ini harga gas acuan Eropa telah naik lebih dari 65 persen dari level Euro 72,56 per kwh. Di Inggris, harga gas naik 23 persen, sedangkan harga gas di AS naik 6,5 persen menjadi 4,92 dolar AS per juta British thermal unit (mmBtu).

Kenaikan harga migas tersebut tentunya akan diikuti dengan menguatnya harga LPG, di mana harga acuan gas LPG, Contract Price Aramco (CPA), sejak memasuki 2021, mengalami kenaikan tinggi.

Realisasi dari Januari - April 2021 mencapai 570 dolar AS per metrik ton, kemudian meningkat menjadi sebesar 847 dolar AS per metrik ton pada November 2021.

Konflik Rusia vs Ukraina kian memanas.

Terlebih Presiden Rusia, Vladimir Putin disebut telah meluncurkan invasi skala penuh di Ukraina pada Kamis (24/2).

Tak pelak, suara-suara ledakan terdengar di kota-kota Ukraina tak lama setelah Putin mengumumkan operasi militer ke negara tersebut.

Akibat aksi ini Rusia mendapat kecaman serius dari  Inggris serta Amerika Serikat.

Kedua negara tersebut kompak memblokade segala akses di sektor perekonomian serta memberhentikan kegiatan ekspor bidang teknlogi ke Rusia.

Bahkan beberapa negara besar lainnya ikut mendukung pemblokiran akses Rusia terhadap layanan keuangan global Swift.

Untuk diketahui,Swift merupakan sistem perbankan yang memungkinkan suatu negara dapat melakukan transaksi dengan negara lain secara cepat dan efisien.

Bahkan AS tak segan menjatuhi hukuman berat apabila ada perusahaan Barat yang melakukan transaksi dengan Rusia menggunakan mata uang dolar.

AS, UE, serta Inggris baru-baru ini diketahui telah memasukkan sejumlah nama bank Rusia ke daftar hitam, dengan tujuan agar negara tersebut tidak dapat melakukan transaksi internasional.

 
Diharapkan cara ini dapat menghambat aktivitas bisnis para perusahaan besar Rusia, sehingga secara perlahan ekonomi di negara tersebut lumpuh.

(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved