Opini

Memetik Hikmah Idul Adha

KEHADIRAN tanggal 10 Zulhijjah 1442 Hijriah yang biasa kita sebut dengan Hari Raya Kurban tahun ini berbeda dengan hari-hari raya sebelumnya.

Editor: Sumarsono
HA
H. Abdullah Berahim, Mantan Hakim Pengadilan Tinggi Agama Samarinda 

Oleh:  H. Abdullah Berahim

Mantan Hakim Pengadilan Tinggi Agama Samarinda

TRIBUNKALTARA.COM - KEHADIRAN tanggal 10 Zulhijjah 1442 Hijriah  yang biasa kita sebut dengan Hari Raya Kurban berbeda dengan hari-hari raya sebelumnya.

Suasana pandemi Covid-19 masih menghantui sebagian masyarakat kita. Pandemi yang melanda hampir di semua belahan dunia ini membawa dampak cukup serius bagi kehidupan bangsa dan negara kita.

Sebagian masyarakat masih belum bisa menjalankan aktivitas secara normal sebagaimana tahun-tahun sebelumnya.

Semuanya dibatasi, termasuk bagi mereka yang akan menunaikan ibadah haji.

Pemerintah Arab Saudi sementara ini membatasi jemaah haji tidak boleh melebihi usia di atas 65 tahun. Hal  untuk mencegah kekhawatiran terjadinya mata rantai penularan covid-19.

Boleh jadi merupakan musibah dari Allah SWT kepada kita semua untuk menguji keimanan  dan kesabaran kita, seperti firman Allah SWT QS Al Baqarah: 155-157 yang artinya:

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa  dan buah-buahan. 

Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji`uun".

Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna  dan rahmat dari Tuhan mereka,  dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS  Al-Baqarah: 155-157)

Baca juga: Ujian Kesabaran saat Hari Raya Idul Adha Berbeda

Namun demikian, apapun kehendak Allah SWTdari terjadinya pandemi covid -19 tersebut, hendaknya kita terima dengan ikhlas, ridha, pasrah serta tetap berbaik sangka kepada Allah SWT, sambil berdoa  dan terus berdoa memohon supaya musibah ini akan segera berakhir secara total dari belahan dunia, khususnya dari Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini, Aamiin Yaa Rabbal ‘Alamiiiin

Kalau kita yang berada di Tanah Air pada 10 Dzulhijah sedang berhari raya Idul Adha atau berhari raya haji, sementara saudara-saudara kita yang mendapatkan keberuntungan memenuhi panggilan Nabi Ibrahim sedang menjalani prosesi ibadah haji  dan umrah, melaksanakan rukun Islam yang kelima.

Di dalam ibadah haji  dan umrah, dengan pakaian seragam putih-putih  dan tidak berjahit itu, adalah simbol kebersamaan  dan kesetaraan manusia di hadapan Allah SWT.

Di Padang Arafah yang gersang  dan tandus itu, di tengah jutaan manusia, sejauh mata memandang manusia semuanya sama dalam pakaian ihram yang putih.

Di sana tidak ada beda  antara raja atau kepala negara dengan pakaian kebesarannya, bila dibandingkan dengan hamba atau rakyat jelata. 

Di sana juga tidak ada beda antara jenderal dengan prajurit bawahannya. Semuanya sama. Demikianlah tuntunan Islam yang mengajarkan kesamaan  dan kesetaraan di antara kita di hadapan Allah.

Yang membedakan manusia dengan yang lainnya di hadapan Allah, adalah hati  dan amal perbuatannya. Rasulullah saw bersabda, artinya:

“Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian, juga tidak kepada harta kalian, akan tetapi Dia memandang kepada hati  dan amal kalian” (HR. Muslim).

Dalam QS Al Hujurat ayat 13, Allah berfirman:

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari laki-laki  dan perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa  dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.

Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.

Hari Raya Idul Adha yang jatuh pada tanggal 10 Dzulhijah dan ditambah tiga hari berikutnya, yakni tanggal 11, 12  dan 13 disebut dengan hari tasyrik, umat Islam dianjurkan memotong hewan kurban yang dagingnya dibagikan kepada fakir miskin. 

Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya: “Sembahyanglah kamu kepada Rabb-mu  dan berkurban-lah” (Al-Kautsar: 2).

Baca juga: Berikut Panduan Lengkap Puasa Arafah Sebelum Idul Adha, Niat dan Keutamaannya

Menurut madzhab Imam Syafi’i, memotong hewan kurban hukumnya sunnah muakkad, artinya sunnah yang dikuatkan. Rasulullah saw bersabda sebagai berikut yang artinya:

“Barangsiapa mendapatkan kelapangan dalam rizki namun tidak mau berkurban maka janganlah sekali-kali mendekati masjid kami.”

 Yang perlu kita resapi bersama adalah, untuk memahami apa hikmah yang terkandung dari ibadah kurban itu sendiri? Sebab, sebagai muslim yang hanya pada prinsipnya kita dituntut untuk berjuang  dan berkurban, seperti yang dialami oleh para nabi  dan rasul.

Begitu pula, bagi para ulama, kiyai, ustazd  dan muballigh serta pemimpin Islam dari dahulu hingga hari ini, tidak ada satupun dari mereka yang terlepas dari   perjuangan  dan pengurbanan, baik dalam bentuk moril maupun materil,  dan bahkan pengurbanan jiwa  dan raga. Yang akhir-akhir ini, di negara kita ini dikenal dengan istilah kriminalisasi ulama. Na’uzdubillah.

Nabi Ibrahim as yang mendapatkan kehormatan abadi sebagai utusan Allah, beliau telah berhasil menunjukkan ketabahan  dan keikhlasan dalam mempertaruhkan kehidupannya bersama keluarga, hanya untuk mengabdi kepada Allah semata-mata.

Karena itulah, Nabi Ibrahim selaku kepala keluarga diangkat menjadi Khalilullah atau kekasih Allah SWT. Kisah Nabi Ibrahim as bersama istrinya Siti Hajar,  dan anaknya Ismail as telah diabadikan dalam QS Ash Shaaffaat ayat 99- 111. 

 Berbicara tentang  perjuangan  dan pengurbananan Nabi Ibrahim as, berarti mengingatkan kita kembali kepada cerita lama.

Akan tetapi harus kita akui, bahwa pada hakekatnya peristiwa semacam itu dapat terjadi kapan saja  dan di mana saja.

Yang pertama, sikap dari Nabi Ibrahim yang patut menjadi teladan bagi kaum laki-laki sebagai Bapak atau sebagai Suami.

Firman Allah, yang artinya:  Sungguh, Ibrahim adalah imam (yang dapat dijadikan teladan), patuh kepada Allah  dan hanif (berpegang teguh pada ketentuan agama).  Dan dia bukanlah termasuk orang musyrik (yang mempersekutukan Allah). An Nahl: 120.

Nabi Ibrahim sebagai ayah,  harus dijadikan sebagai contoh bagi ayah-ayah pada zaman sekarang ini, beliau merupakan ayah yang mendidik anaknya menjadi insan yang berakhlak mulia.

Beliau sangat mencintai anak dan istrinya, tetapi cintanya kepada Allah adalah di atas segala-galanya. Karena itulah beliau rela mengurbankan anaknya untuk memenuhi perintah Allah.

Berbagai cara yang dilakukan oleh syaithan, namun godaan syaithan itu tidak mampu menggoyahkan keimanan yang dimiliki oleh Nabi Irahim as untuk berbakti kepada Allah swt.

Yang kedua, Siti Hajar merupakan sosok wanita yang ideal, sebagai istri atau ibu yang sangat kuat imannya, hendaknya dapat dijadikan panutan bagi  ibu-ibu zaman sekarang, baik sebagai istri atau ibu, Siti Hajar, tidak goyah dengan gemerlapnya dunia yang selalu membisik ditelinganya, beliau tidak tergoda oleh laki-laki lain yang gagah  dan berduit.

Beliau adalah istri yang setia kepada suaminya. Jujur dan trampil dalam mengasuh dan mendidik anaknya, rela  dan tabah dalam menghadapi berbagai krisis, walau ditinggal di padang pasir yang panas  dan tandus, kalau kepergian suami itu adalah demi tugas suci  dan baktinya kepada Allah swt.

Dalam pembangunan suatu bangsa  dan negara seperti halnya kita bangsa Indonesia ini, peranan wanita atau kaum ibu sangatlah menentukan.

Baca juga: Kumpulan Link Twibbon Hari Raya Idul Adha, Lengkap dengan Cara Bagikan di Media Sosial

Karena wanita, sebagai isteri yang setia, akan menciptakan rumah tangga yang ideal  dan bahagia, sakinah, mawaddah wa rahmah. Wanita sebagai kekasih suami yang tabah  dan mampu hidup sederhana  dan bertanggung jawab.

Wanita sebagai seorang ibu yang jujur dan trampil menjaga keselamatan  dan pendidikan anaknya, akan melahirkan generasi bangsa yang sehat  dan berakhlak.

Wanita yang beriman kuat, akan menjadi tiang negara yang kokoh bagi bangsa  dan negara. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah saw dalam sebuah hadis yang artinya:

Wanita adalah sebagai tiang negara, jika wanita itu baik, maka akan baik pulalah negara itu. (sebaliknya) jika wanitanya itu rusak, maka akan rusak pulalah negara itu.

Selanjutnya, bagi saudara-saudara generasi muda, atau yang sekarang ada yang menyebut dengan  generasi milenial, yaitu generasi yang lahir antara 1980 sampai tahun 2020, generasi yang cenderung bersikap individual/egois dan materialis.

Sikap  dan prilaku Ismail as sebagai seorang remaja, hendaknya dapat dijadikan teladan  dan patut diperhatikan.

Karena sejak usia yang masih relative muda, Ismail selalu taat  dan bertakwa kepada Allah SWT, juga selalu berbakti kepada kedua orang tuanya.

Ismail tidak pernah terlibat dalam kehidupan  anak muda seusianya yang cenderung berbuat hura-hura, suka minum-minuman keras dan mengkonsumsi narkoba.

Masa muda Ismail AS telah dihabiskannya untuk meningkatkan iman  dan takwa kepada Allah SWT  serta berbakti kepada orang tuanya.

Oleh karena itulah, dia selalu tunduk , pasrah  dan tawakkal, rela menyerahkan diri untuk dijadikan sebagai kurban.

Perkataan atau dialog Nabi Ismail kepada ayahnya yang dijadikan sebagai tonggak sejarah hari ini disebut hari raya kurban, diabadikan dalam QS Ash Shaffaat ayat 102 yang artinya:

Maka tatkala Ismail sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama ayahnya Ibrahim as, Ibrahim berkata:

"Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah bagaimana pendapatmu?"

Ismail menjawab: "wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".

Begitulah pangkal sejarah Idul Adha yang melibatkan 3 orang anak manusia dari keluarga Nabi Ibrahim AS bersama istrinya Siti Hajar  dan anaknya Ismail AS.

Yang dapat dijadikan panutan oleh setiap keluarga muslim, dalam upaya mewujudkan rumah tangga yang harmonis  dan bahagia, yang dalam Islam disebut dengan istilah rumah tangga yang Bahagia, sakinah mawaddah wa rahmah. 

Kehadiran Idul Adha paling tidak mengingatkan kita kembali untuk menteladani kehidupan Nabi Ibrahim bersama keluarganya dalam melaksanakan perintah Allah SWT guna meniti kehidupan ini mencari ridha ilahi, baik kita sebagai ayah, kita sebagai ibu, atau kita selaku anak dalam lingkup keluarga.

Karena lingkungan keluarga, adalah bagian dari masyarakat yang harus dibina  dan dikembangkan, dalam upaya mewujudkan masyarakat bangsa  dan negara yang kita cita-citakan, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur. (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

BERSAMA RAMADAN DI ERA DIGITAL

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved