Hari Buruh 2023

May Day, Momentum Membangun Wirausaha Baru

Tidak ada majikan yang tidak membutuhkan pekerja. Demikian halnya, semua pekerja membutuhkan lapangan kerja. Bedanya, majikan harus punya banyak uang.

Editor: Sumarsono
HO
Dr. Margiyono, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Borneo Tarakan. 

Oleh Dr Margiyono, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Borneo Tarakan

TRIBUNKALTARA.COM - Benci tapi rindu.  Gambaran dinamika hubungan pekerja dengan majikan ? Keduanya saling membutuhkan! 

Tidak ada majikan yang tidak membutuhkan pekerja. Demikian halnya, semua pekerja membutuhkan lapangan kerja.

Bedanya dengan pekerja. Pencipta lapangan kerja harus punya banyak uang dan siap menanggung risiko.

Dari risiko tidak lakunya hasil produksi, hingga usahanya bangkrut.

Artinya modalnya hilang. Bukan hanya itu, bagi yang tidak kuat mental bisa depresi. Berat khan!,

Meskipun begitu pekerja tetap memiliki hak untuk menyuarakan hak dan hak asasinya. Hak untuk berpendapat dan berserikat.

Tulisan ini mencoba memberikan pendapat tentang solusi upaya meningkatkan positioning dan  kesejahteraan pekerja dalam jangka panjang.   

Pasang-Surut Peran Kapitalis

Awal pemikiran ekonomi (masa Adam Smith), Kapitalis adalah motor penggerak ekonomi.

Merekalah yang mendorong meningkatnya output nasional.

Karena itu, semakin banyak kapitalis di suatu negara maka negara itu akan semakin makmur.

Pemikiran ini terkoreksi ketika produksi sangat banyak dan melampuai dayabeli. Sehingga memicu terjadinya depresi hebat (great depression) 1929.

Pengangguran melanda Eropa. Di tengah kekalutan global, muncul pemikiran Keynes, tentang pentingnya peran pemerintah, untuk mendorong peningkatan permintaan agregate.

Baca juga: Peringati May Day, Polres Nunukan Beri Tumpeng ke Buruh TKBM di Dermaga Pelabuhan Tunon Taka

Sekitar tahun 1980 an pendekatan ini pun dinilai  “kebabalasan”.

Dampak buruknya, tingginya peran pemerintah (big govement) adalah utang banyak negara  membengkak. 

Washington consensus yang dimotori Bank Dunia, menyebutnya akan ada ancaman stagflasi. Stagnasi dan inflasi secara global.

Karena itu Mereka mengusulkan pentingnya “liberalisasi ekonomi dan privatisasi”.

Artinya, paradigma ini meletakan kembali peran individual yang memberikan ruang lebih luas pada “persaingan”.

Tidak lain adalah Pemilik modal yang akan mendominasi hubungan produksi.

Merekalah yang akan menentukan harga faktor produksi. Termasuk upah tenaga kerja.

Akibat pemikiran ini, sektor publik pun juga terimbas. Alasan utamanya adalah sektor swasta dinilai bekerja lebih efisien.

Sementara sektor publik dianggap lamban dan kolutif, sehingga tidak efisien. 

Karena itu, Pemerintah banyak negara melakukan reformasi pengelolaan dan peraturan kepegawaian.

Baca juga: Lulus Seleksi Kompetensi PPPK Guru Malinau, 305 Peserta Mengurus Dua Dokumen Persyaratan di RSUD

Salah satu contohnya adalah lahirnya istilah PPPK ( Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja ).

Para pencari kerja yang jumlahnya banyak, kini nilai tawarnya menjadi tidak kuat. Bisa dibilang lemah.

Para pekerja pun merespon atas paradigma. Mereka membangun soliditas “sesama pekerja”. Sebut saja “asosiasi”.

Tidak lain tujuanya adalah meningkatkan nilai tawar. Padahal di sebelah sana, menunggu banyak pencari kerja yang lain.

Mereka sedang mengintip kapan bisa mengganti pekerja yang sudah bekerja.

Fenomena ini saat ini banyak terjadi di negara berkembang bahkan termasuk negara maju. Negara maju karena tekanan krisis ekonomi global.

Sementara Negara berkembang ditambah lagi oleh keterbatasan sumberdaya modal dan manusia.

Banyaknya pencari kerja di negara berkembang juga dipengaruhi oleh sedikitnya jumlah wirausaha.

Negara maju yang rata-rata wirausahanya mencapai 12 persen. Sementara  Indonesia hanya 3,74 Persen.

Merindukan Kapitalis Baru

Memerhatikan, fakta rendahnya wirausaha itu, maka investor adalah manusia langka.

Sementara kemampuan pemerintah juga tidak kunjung naik. Dalam kondisi seperti ini maka investasi yang besar tetap dianggap menjadi solusi.

Untuk bisa menarik investor segala kemudahan, informasi dan sumberdaya apapun  dikais untuk ditawarkan.

Baca juga: Tawarkan Proyek IKN Nusantara ke Investor Singapura, Jokowi Justru Mendapat Saran Ini dari PM Lee

Realitas seperti ini dialami oleh banyak negara dan daerah.

Mereka berusaha mati-matian untuk mempercantik diri.

Memantaskan diri, supaya segera dipinang investor yang gagah-perkasa, setia dan banyak uang.

Setiap hari selalu harap-harap cemas menanti lamaran Sang Investor.

Sambil membayangkan, hari persetujuan dan kesepakatan kerjasama. Setelah itu, akan segera dilaksanakan akad nikah dan mulai berbulan madu.

Dimana sang investor sudah bekerja dan menggelontorkan uangnya.

 Sehingga ekonomi mulai bergerak. Kemudian banyak pihak optimis akan lahir bayi aktifitas ekonomi yang menciptakan lapangan kerja.

Menurunkan angka pengangguran dan kemiskinan.

Bahkan Sang Pejabat menjadi senyumnya merekah lega. Karena Pendapatan Daerah dan nasional dari pajak dan retribusi terus tumbuh.

Para Pengelola anggaran belanja pemerintah juga turut bahagia.

Karena, keinginan Sang Pemimpin mewujudkan janji kampanyenya membangun ini-itu, disini-disana, bisa diwujudkan.

Sungguh berbeda daerah atau negara yang sangat sedikitnya jumlah investasi. Semuanya pucat-pasi, tak ada gairah.

Karena  tidak ada lapangan kerja, tak ada sumber pendapatan. Pengangguran banyak dan masalah sosial menjadi kian kusut.

Tak jarang merembet menjadi masalah politik.

Meskipun kadang-kadang Investor dihujat dan dituduh sewenang-wenang dalam memberikan upah, tetap saja mereka dirindukan banyak orang, daerah dan negara.

Baca juga: Singgung Resesi Global, Bupati Nunukan Minta Tahun ini ASN Manfaatkan Digitalisasi dan Fokus Bekerja

Apalagi di tengah kepungan issu resesi global oleh konflik antar-negara, serta beberapa issu lain yaitu; (1) Semakin banyaknya pencari kerja,

(2) Kelangkaan dan kegagalan produksi karena perubahan iklim dan tingginya suhu bumi, maka Kapitalis masih memiliki posisi nilai tawar yang besar.

Sambil terus memperkuat peran asosiasi pekerja dalam peningkatan kapasitas dan skill anggotanya  maka perlu dilakukan upaya mencari solusi permanen.

Solusi yang lebih sustainable harus menjadi perhatian.

Berwirausaha kini lebih muadah. Karena. saat ini kita difasilitasi oleh kecanggihan teknologi dan kemudahan komunikasi.

Bukan hanya itu, akses permodalan, baik dari perbankan atau non bank juga tersedia.

Maka memberikan pembekalan menjadi wirausaha baru bagi anggota asosiasi adalah solusi strategis dan sangat menjanjikan.

Bukankah, jika wirauasaha baru tumbuh pesat maka, dengan sendirinya nilai tawar pekerja akan meningkat.

Pekerja menjadi pihak yang diperebutkan pengusaha. Dampaknya adalah, tariff kontrak dan upah pekerja akan meningkat.

Daya beli meningkat dan ekonomi tumbuh sepanjang waktu dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia akan tercapai. Semoga! (*)

Baca artikel dan berita Tribun Kaltara menarik lainnya di google news

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

BERSAMA RAMADAN DI ERA DIGITAL

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved