Jejak Islam di Kaltim

Masjid Jami Adji Amir Hasanuddin, Warisan Sultan Kutai Saksi Perjalanan Syiar Islam di Kukar

Masjid Jami Adji Amir Hasanuddin yang dulu dikenal sebagai Masjid Sultan menjadi saksi perjalanan syiar Islam di Kutai Kartanegara, Kalimantn Timur.

|
Editor: Sumarsono
Tribun Kaltim/Dwi Ardianto
Masjid Jami Adji Amir Hasanudin atau yang dulu dikenal dengan Masjid Sultan dikunjungi Tribun Kaltim akhir Februari 2024 kemarin. Masjid yang sudah berusia lebih dari satu abad ini menjadi saksi perjalanan syiar islam di Kutai Kartanegara. 

TRIBUNKALTARA.COM - Masjid Jami Adji Amir Hasanuddin yang dulu dikenal sebagai Masjid Sultan menjadi saksi perjalanan syiar Islam di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Masjid ini sempat hancur ketika terjadi peperangan dengan Inggris, Sultan Adji Mulammad Sulaiman membangunnya kembali di lokasi baru yang bertahan hingga sekarang. 

Salah satu jejak peninggalan sejarah dari Kesultanan Kutai Kartanegara yang masih dapat dikunjungi ialah Masjid Jami Adji Amir Hasanudin.

Adanya masjid ini menjadi salah satu bukti penyebaran Islam yang ada di nusantara bagian timur.

Masjid Jami Adji Amir Hasanudin terletak dalam satu kompleks dengan Kedaton Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.

Lokasinya berada di persimpangan Jalan Monumen Timur dan Jalan Mayjen Sutoyo, Tenggarong, Kutai Kartanegara.

Baca juga: Sosok Pangeran Bendahara, Ulama yang Mampu Ubah ‘Kampung  Maksiat’ jadi Kampung Masjid

Melalui Sekretaris Masjid Jami Adji Amir Hasanudin, Edy Sofyansyah, tim Tribun Kaltim mencoba menggali sejarah dari berdirinya masjid tersebut hingga menjadi pilihan wisata menarik di Bumi Etam.

Mengutip catatan sejarah, berdirinya Masjid Jami Adji Amir Hasanuddin terjadi dalam dua periode.

Periode pertama, ada yang menyatakan bahwa masjid pertama di Tanah Kutai berada di ujung Muara Sungai Tenggarong, tepatnya belakang Langgar Annur Tanjung.

Namun, lantaran ada peperangan dengan Inggris, masjid pertama tersebut mengalami kehancuran saat tampuk pemerintahan sedang di pegang oleh Sultan Muhammad Salehuddin.

Masjid Shiratal Mustaqiem atau masjid tua di kawasan Samarinda Seberang, Kota Samarinda. Masjid ini merupakan peninggalan Pangeran Bendahara, seorang ulama yang mengubah kawasan maksiat menjadi kawasan yang agamis.
Masjid Shiratal Mustaqiem atau masjid tua di kawasan Samarinda Seberang, Kota Samarinda. Masjid ini merupakan peninggalan Pangeran Bendahara, seorang ulama yang mengubah kawasan maksiat menjadi kawasan yang agamis. (Tribun Kaltim/Dwi Ardianto)

Memasuki tenggang waktu sekian tahun, masjid ini dibangun kembali oleh Sultan Adji Muhammad Sulaiman di lokasi yang ada sekarang ini.

Kemudian dilanjutkan oleh Sultan Alimuddin bergelar Sultan Muda.

Masjid Jami Adji Amir Hasanuddin dibangun sejak zaman Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura ke-17 dari 19 raja di bawah kepemimpinan Sultan Adji Mulammad Sulaiman sekitar tahun 1874 Masehi yang semula masih berupa musala.

Saat ini Masjid Jami Adji Amir Hasanuddin hampir berusia 150 tahun.

“Sebenarnya bukan masjid Sultan, tapi memang yang bangun dulunya Sultan Adji Muhammad Sulaiman,” kata Edy.

Baca juga: Masjid Shiratal Mustaqiem, Kisah Pendirian 4 Tiang dan Syiar Islam di Samarinda

Awalnya, bangunan masjidnya hanya berupa mushala atau surau kecil. Kemudian tahun 1923 di bawah pemerintahan Sultan Adji Muhammad Parikesit, bangunan surau tersebut dirombak menjadi bangunan masjid cukup besar.

Karena termakan usia, bangunan masjid tersebut dilakukan pemugaran oleh Adji Amir Hassanuddin yang bergelar Pangeran Sosronegoro bersama Tuan Guru Sayid Saggaf Baraqbah pada 1929.

Pembangunan tahap pertama Masjid Jami Adji Amir Hasanuddin dilakukan pada masa pemerintahan Raja Sultan Sulaiman, sedangkan tahap kedua dilakukan pada masa pemerintahan cucunya yakni Sultan Adji Muhammad Parikesit.

Konon, asalnya kayu-kayu yang ada dalam masjid tersebut digunakan sebagai tiang saka.

Mulanya hendak digunakan sebagai alat untuk proses ritual adat pemandian “menduduskan” putra mahkota Aji Penggeuk, tapi ternyata yang terjadi malah duka cita, beliau meninggal dunia.

Selang sekian waktu, kayu ulin yang besar dengan jumlah 16 tiang akhirnya digunakan untuk proses peletakan batu pertama pembangunan masjid.

Tiang-tiang utama yang menopang Masjid Shiratal Mustaqiem di Samarinda, tiang-tiang ini sendiri disebut merupakan salah satu yang masih asli semenjak masjid ini pertama dibangun sekitar tahun 1891. 
Tiang-tiang utama yang menopang Masjid Shiratal Mustaqiem di Samarinda, tiang-tiang ini sendiri disebut merupakan salah satu yang masih asli semenjak masjid ini pertama dibangun sekitar tahun 1891.  (Tribun Kaltim/Dwi Ardianto)

Pada 1874 waktu subuh itulah mulai pertama rakyat bergotong royong mendirikan masjid.

Dibangun gotong royong. Tidak ada paksaan mau pun upah yang dijanjikan kepada setiap yang terlibat.

Masyarakat antusias berkontribusi karena murni memiliki rumah ibadah representatif, hingga mengundang warga untuk terlibat membangun masjid dengan iman dan keikhlasan.

Berlanjut pada 1962, Ketua Takmir Masjid Iskandar Usat mengusulkan perubahan nama.

Musyawarah pun dilakukan Bersama tokoh Masyarakat Tenggarong kala itu. Dengan usulan perubahan nama Masjid Jami’ Adji Amir Hasanuddin.

Para pengurus masjid, serta tokoh Masyarakat menyetujui.

Sementara periode kedua, setelah berfungsi cukup lama sekitar tahun 1874-1927. Dilakukan renovasi tanpa menghilangkan sisi historisnya.

Dan tokoh pendiri yang tidak dapat dilupakan sejarahnya sampai saat ini yakni Adji Amir Hasanuddin dan Tuan Guru Sayid Sagat Baraqbah.

Sebagai penghargaan atas perjuangannya dalam syiar Islam ini, Kementerian Agama Kalimantan Timur dalam surat nomor WQ/2/2526/1981 menetapkan nama beliau untuk dinobatkan sebagai nama Masjid Jami Adji Amir Hasanuddin.

Baca juga: Perjalanan Dakwah Pangeran Noto Igomo, Menyebarkan Agama Islam Sembari Membuka Perkebunan

Hingga kini, Edy mengatakan Masjid Jami Adji Amir Hasanudin masih menjadi sentra kegiatan ibadah dan keagamaan warga setempat.

Terlebih, kontruksi dari bangunan masjid tersebut masih relavan dengan mempertahankan keaslian arsitektur serta bentuk bangunannya.

Bahkan, masjid tersebut sudah ditetapkan menjadi masjid bersejarah di Indonesia dari hasil keputusan seminar sejarah Islam di Kalimantan Timur pada November 1981.

Selain itu, Masjid Jami Adji Amir Hasanudin ini juga ditetapkan menjadi Cagar Budaya Nasional oleh pemerintah.

“Sekarang masjid ini sudah ditetapkan menjadi masjid bersejarah di Indonesia. Meski berkali-kali direhab, tidak satu pun paku yang digunakan untuk membangun masjid.

Melainkan pasak kayu itu sendiri yang menjadi penguat setiap struktur bangunannya,” pungkas Edy. (*)

Penulis : Ary Nindita Intan R S

Baca juga berita menarik Tribun Kaltara lainnya di Google News

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved