Jejak Islam di Kaltim

Masjid Shiratal Mustaqiem, Kisah Pendirian 4 Tiang dan Syiar Islam di Samarinda

Masjid Shiratal Mustaqiem, Samarinda atau sering disebut sebagai masjid tua ini merupkan bukti sejarah syiar Islam di Kalimantan Timur.

Editor: Sumarsono
Tribun Kaltim/Dwi Ardianto
Tiang-tiang utama yang menopang Masjid Shiratal Mustaqiem di Samarinda, tiang-tiang ini sendiri disebut merupakan salah satu yang masih asli semenjak masjid ini pertama dibangun sekitar tahun 1891.  

TRIBUNKALTARA.COMMasjid Shiratal Mustaqiem, Samarinda atau sering disebut sebagai masjid tua ini merupkan bukti sejarah syiar Islam di Kalimantan Timur.

Di balik bentuk bangunannya yang masih kokoh, Masjid Shiratal Mustaqiem menyimpan cerita unik di balik pendirian 4 tiang utama saat awal pembangunan

Dalam sejarah Kesultanan Kutai ada sebuah bangunan masjid di Ibu Kota Provinsi Kalimantan Timur yang memiliki nilai penting dalam jejak syiar Islam di Kota Samarinda.

Masjid tersebut dikenal dengan masjid tua atau Masjid Shiratal Mustaqiem yang memiliki makna jalan lurus.

Bangunan yang berdiri di Jalan Pangeran Bendahara, Kelurahan Mesjid, Kecamatan Samarinda Seberang tersebut bukan sekadar bangunan tua yang dikenang hanya karena sejarahnya.

Masjid ini senantiasa dimakmurkan menjadi pusat kegiatan masyarakat hingga saat ini sejak berdiri 133 tahun yang lalu, demikian ujar H Sofyan, pengurus Masjid Shiratal Mustaqiem.

Baca juga: Sosok Syekh Abu Thalhah, Diutus Sebarkan Islam Bersama 4 Saudara di Tanah Kutai

Dari masjid yang didirikan seorang ulama bernama Habib Abdurachman bin Muhammad Assegaf atau Pangeran Bendahara ini, syiar Islam dimulai di Kota Samarinda.

Dikisahkan Sofyan, adapun Pangeran Bendahara adalah nama gelar yang diberikan kepada Habib Abdurachman bin Muhammad Assegaf oleh Sultan Aji Muhammad Sulaiman yang bertahta kala itu.

Ia diangkat menjadi pemimpin atau kepala di kawasan Samarinda Seberang pada tahun 1880.

Makam Abu Thalhah di Tenggarong Kutai Kartanegara saat dikunjungi Tribun Kaltim 28 Februari 2024. Makam salah seorang ulama besar ini sampai sekarang menjadi lokasi wisata religi di Tenggarong.
Makam Abu Thalhah di Tenggarong Kutai Kartanegara saat dikunjungi Tribun Kaltim 28 Februari 2024. Makam salah seorang ulama besar ini sampai sekarang menjadi lokasi wisata religi di Tenggarong. (Tribun Kaltim/Dwi Ardianto)

Sebagai tokoh masyarakat, Habib Abdurachman bin Muhammad Assegaf ingin mengubah kawasan yang sebelumnya dikenal sebagai "kampung maksiat" menjadi Kampung Masjid.

Awal pembangunan masjid tua yakni mendirikan 4 tiang utama, dimana Habib Abdurachman dibantu warga sekitar.

Tiang yang lebih dikenal sebagai soko guru itu disumbangkan oleh empat tokoh, yakni Kapitan jaya, Pettaloncong, dan Lusulunna, serta Habib Abdurachman sendiri.

"Sebelum masjid berdiri, lokasi ini merupakan tempat maksiat. Judi, sabung ayam, minuman keras dan lain sebagainya.

Siang dan malam masyarakat seperti itu. Beliau (tekun) berdakwah dengan lemah lembut, pelan-pelan, artinya hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, tahun berganti, Allah SWT memberikan kesadaran kepada masyarakat ini untuk bertaubat, setelah itu semua dipikul oleh Habib Abdurrahman Assegaf," kata Sofyan.

Baca juga: Perjalanan Dakwah Pangeran Noto Igomo, Menyebarkan Agama Islam Sembari Membuka Perkebunan

"Masyarakat setuju, dan masing-masing mencari bahan untuk keperluan masjid untuk 4 pilar masjid yang bakal didirikan bangunan," sambungnya.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved