Derap Nusantara

Seorang Wanita Korban Sterilisasi Paksa di Jepang Menang Gugatan, Terima Kompensasi Rp 1,5 Miliar

Seorang wanita korban sterilisasi paksa di Jepang menangi gugatan kepada Pemerintah, dan dia berhak menerima yang kompensasi senilai Rp 1,5 miliar.

Editor: Sumarsono
ANTARA
Ilustrasi - Seorang wanita korban sterilisasi paksa di Jepang menangi gugatan kepada Pemerintah, dan dia berhak menerima yang kompensasi senilai Rp 1,5 miliar. 

TRIBUNKALTARA.COM – Seorang wanita korban sterilisasi paksa di Jepang menangi gugatan kepada Pemerintah, dan dia berhak menerima yang kompensasi senilai Rp 1,5 miliar.

Uang kompensasi sebesar 15 juta yen atau Rp1,57 miliar itu diterima setelah mengajukan serangkaian gugatan kepada pengadilan setempat selama lebih dari enam tahun.

Kabarnya, kompensasi tersebut diterima seusai Mahkamah Agung Jepang, pada 3 Juli 2024 lalu, memutuskan bahwa sang korban yang kini berusia 60-an tahun, dan penggugat lainnya berhak menerima kompensasi.

Kebijakan sterilisasi paksa yang dilakukan di bawah UU Perlindungan Eugenika Jepang, berlaku pada 1948--1996 dan kini sudah dicabut.

Baca juga: Harga Emas Antam Hari Ini, Rabu 25 September 2024, Melonjak Rp20.000 jadi Rp1,463 Juta per Gram

Pada UU tersebut mengizinkan sterilisasi dilakukan tanpa meminta izin kepada orang-orang dengan disabilitas intelektual, penyakit mental, atau kelainan turunan.

Proses sterilisasi tersebut dilakukan untuk mencegah lahirnya keturunan yang dianggap "bermutu rendah".

Parlemen Jepang pada 2019 mengesahkan sebuah undang-undang yang menyatakan bahwa setiap orang yang mengalami sterilisasi paksa berhak menerima dana setara 27.885 dolar AS (Rp422,58 juta).

Namun, UU tersebut dikritik karena menetapkan jumlah kompensasi yang sama bagi semua korban sterilisasi paksa, yang jumlahnya dilaporkan mencapai 16.500, baik laki-laki maupun perempuan.

Baca juga: DPRD Kaltara Sosialisasikan Perda Perlindungan Perempuan dan Anak, Beber 5 Arahan Presiden Jokowi

Sebelum pemberian kompensasi bagi korban sterilisasi paksa diperintahkan UU, pemerintah Jepang berulang kali menolak memenuhi permintaan kompensasi dari para korban.

Pemerintah saat itu memandang kompensasi tak diperlukan karena praktik tersebut legal kala itu.

Sumber: ANTARA/Anadolu

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved