Berita Bulungan Terkini

Lanjutan Kasus RSP Pulau Bunyu, Hakim PN Tanjung Selor Tolak Permohonan Praperadilan Tersangka

PN Kelas IB Tanjung Selor menolak permohonan pra peradilan yang diajukan tersangka kasus dugaan tipikor pembangunan RSP Pulau Bunyu, Bulungan.

Penulis: Edy Nugroho | Editor: M Purnomo Susanto
TribunKaltara.com / Istimewa
Sidang pra peradilan kasus dugaan Tipikor pada proyek pembangunan RS Pratama Bunyu. (Istimewa) 

TRIBUNKALTARA.COM, TANJUNG SELOR – Hakim pengadilan negeri atau PN Kelas IB Tanjung Selor menolak permohonan praperadilan yang diajukan tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) pembangunan Rumah Sakit Pratama Pulau Bunyu, Bulungan, Kalimantan Utara.

Humas PN Kelas IB Tanjung Selor, Mifta Holis Nasution mengungkapkan, melalui putusannya pada sidang hari Senin (14/10/2024), Majelis Hakim menolak secara keseluruhan permohonan praperadilan yang diajukan pemohon.

Hakim menilai, dalam putusannya, penyidik telah memenuhi unsur untuk menetapkan D sebagai tersangka, yaitu telah memenuhi dua alat bukti, berupa keterangan saksi dan ahli.

Sebelumnya, dalam gugatan praperadilan, pemohon menilai penetapan tersangka belum memenuhi syarat. Karena tidak adanya bukti kerugian negara.

Baca juga: Kejar Target, Bupati Bulungan Syarwani Optimis Pembangunan RSP Pulau Bunyu Selasai Akhir Tahun Ini

Berkaitan dengan itu, hakim dalam amar putusannya menyebut, bahwa bukti surat hasil penghitungan kerugian negara memang belum dilampirkan. Secara tersirat, melalui keterangan saksi dan ahli sudah memenuhi, karena telah menyebut adanya kerugian negara.

"Belum ada alat bukti berupa surat, jadi LHP ataupun laporan Hasil Penghitungan  (LHP) kerugian negara itu termasuk salah satu kualifikasi alat bukti sebagai alat bukti surat. Itu nanti menjadi salah satu alat bukti yang ditunjukkan dalam persidangan," urainya 

Dalam sidang praperadilan, lanjut dia, tidak menilai mengenai pokok daripada alat bukti. Nanti mengenai pembuktian untuk kerugian keuangan negara itu akan dinilai di persidangan pokok perkaranya. 

"Jadi sederhananya, praperadilan itu hanya menilai mengenai telah terpenuhi tidak dua alat bukti dan telah di periksa tidak calon tersangkanya, sebelum ditetapkan sebagai tersangka," tambah Mifta. 

Majelis hakim, tegasnya, memandang bahwa dua alat bukti yang terpenuhi yaitu saksi dan ahli. Telah terpenuhi itu dan MDR sebelum ditetapkan sebagai tersangka, telah di priksa sebagai calon tersangka

Kemudian media menyinggung, berarti tidak benar ya, penetapan sebagai tersangka sebelum ada pemanggilan sebagai tersangka

Kata Mifta, kalau di putusan itu secara spesifik mungkin nanti akan di baca titik fokus hakim memandang seperti itu. Sesuai dengan peraturan KUHP jadi hakim praperadilan itu tidak menilai materi isi daripada buktinya, mengingat formal. 

Apakah ada upaya selanjutnya dari pihak pemohon? Mifta menjelaskan, praperadilan itu tidak memiliki upaya hukum banding.

Kepada sejumlah media ia mempersilahkan untuk mengkaji perkembangan perkaranya mungkin bisa berkoordinasi dengan penyidik

Dengan telah diputusnya permohonan praperadilan tersebut, menunjukan bahwa proses penetapan tersangka kasus dugaan tipikor pembangunan RSP Bunyu  oleh Penyidik Polda Kaltara telah dilakukan secara proporsional dan melalui tahapan-tahapan yang didasari SOP dan hukum acara yang berlaku.

Sebelumnya, melalui Kuasa Pemohonnya, tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) pembangunan Rumah Sakit Pratama (RSP) Bunyu di Bulungan, Kalimantan Utara (Kaltara), mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Selor.

Syamsudin, selaku Kuasa Pemohon Praperadilan pihak tersangka menyebutkan, pengajuan permohonan praperadilan itu dilakukan dengan alasan adanya kejanggalan yang dilakukan atas penetapan tersangka terhadap D, dalam perkara ini.

Menurut Syamsudin, satu kejanggalan yang menjadi pertimbangan pihaknya mengajukan gugatan praperadilan adalah, tidak adanya alat bukti kuat dalam penetapan kliennya (D) sebagai tersangka.

"Sesuai keputusan mahkamah konstitusi, penetapan tersangka dapat menjadi objek praperadilan. Dari situlah kami mengajukan praperadilan," kata Syamsudin yang didampingi dua rekannya, Samsuri dan Gusti Madani Farisi. Ketiganya dari Kantor Pengacara Ada Syamsudin & Rekan Samarinda, Kaltim.

Kemudian kenapa penetapan tersangka dipra peradilkan? Syamsudin yang ditemui di Tanjung Selor, Sabtu (12/10/2024) menerangkan, sesuai keterang D, selama ini belum pernah diperiksa sebagai saksi, dan juga tidak ada surat panggilan sebagai tersangka.

"Secara tiba-tiba saja dijadikan tersangka. Dan langsung ditahan," ungkapnya kepada Tribun Kaltara. 

Syamsudin menjelaskan, praperadilan ini diajukan karena berdasarkan keterangan dari kliennya yang berinisial D bahwa dirinya tidak pernah diperiksa sebagai saksi, serta tidak pernah kemudian dipanggil sebagai tersangka.

“Tapi tiba-tiba langsung diperiksa sebagai tersangka dan ditahan,” jelasnya.

Diterangkan, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, menyebutkan, bahwa objek praperadilan itu ditambah Mahkamah Konstitusi menjadi, orang yang ditetapkan tersangka itu harus sudah ada bukti yang dipegang terlebih dahulu.

Terlebih dalam perkara tipikor. Dalam hal ini, bukti kerugian negara harus ada. Sementara dalam perkara kliennya, hingga D ditetapkan sebagai tersangka, bahkan sampai diajukan praperadilan,  belum ada alat bukti, yang menunjukkan adanya kerugian negara.

"Jadi ini ditetapkan sebagai tersangka apa? Kalau tuduhan korupsi, alat buktinya mana. Ini tidak ada sama sekali, baik itu dari BPKP maupun BPK," ungkapnya.

Selain itu, dalam permohonan praperadilan tersebut juga menyebutkan bahwa D yang ditetapkan sebagai tersangka, adalah merupakan sub kontraktor dari pekerjaan proyek RSP Bunyu tersebut.

Baca juga: Dua Gedung Perawatan Khusus Selesai Dibangun, Kapasitas RSUD Malinau Bertambah 49 Tempat Tidur

“Jadi bukan sebagai kontraktor. Seharusnya, kalau dalam perkara tipikor itu, kedudukan orang itu kan ada kontraktor yang tanda tangan dengan negara yang diwakili oleh PPTK, PPK dan Kuasa Pengguna Anggaran,” jelasnya.

Sementara, lanjutnya, sub kontraktor tidak ada sangkut pautnya dengan penerimaan dana dari pihak pemerintah atau negara. Dalam hal ini, sub kontraktor hanya bekerja sama dengan kontraktor.

Anehnya lagi, ungkap dia, justru kontraktornya hingga kini masih bebas, tanpa ada dimintai pertanggungjawaban. Disebut, ada dua kontraktor pelaksana proyek senilai Rp 52 miliar tersebut. Yakni, PT ISK dan MFA.  

(*)

Penulis: Edy Nugroho

Sumber: Tribun Kaltara
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved