Hari Paskah

Tuhan telah Mati di Salib dan Kitalah Pembunuh-Nya

Inkarnasi Allah dalam diri Putra yang dilalui dengan peristiwa salib menyadarkan kita percaya tanda kehadiran Allah sendiri yang menyelamatkan.

Meta AI
ILUSTRASI - Penyaliban Yesus Kristus. Gambar ini diproduksi Meta AI untuk kepentingan publikasi TribunKaltara.com terkait renungan Jumat Agung, Jumat (18/4/2025). (Meta AI) 

Sebuah Permenungan Singkat, Jumat Agung 2025
oleh: Fr. Eric Yohanis Tatap 

Gott ist Tot und wir sind seine Mörder
Friedrich Nietzsche

Kira-kira itulah argumentasi seorang Filsuf di penghujung Abad Modern (ke-19) bernama Friedrich Nietzsche (1844-1900). Mengapa gerangan Nietzsche mengatakan Tuhan telah mati? Nietzsche menganggap tidak ada lagi moralitas yang dapat diagungkan dalam kehidupan umat manusia bahkan moralitas itu diatasi oleh manusia.

Awal Abad Modern, dengan sang pelopor bernama Rene Descartes (1596-1650) mengumandangkan semboyan Je pense donc je suis atau 'Aku berpikir maka aku ada' menjadikan hal ini sebagai doktrin yang dipakai sepanjang abad itu. Akal budi adalah segala-galanya; ia diagungkan dalam kehidupan manusia. Tidak ada yang lebih pasti dan tidak ada yang lebih daripada itu ialah akal budi manusia.

Akal budi adalah segala-galanya. Doktrin ini diperkuat oleh aliran Idealisme yang berkembang di Jerman, tepatnya bersama Fichte, Schelling, dan Hegel. Ketiga filsuf ini mengembangkan filsafat tentang subyektivitas (Ich atau Aku) yang berspekulasi. Secara radikal, pada Hegel spekulasi merupakan gerak Roh (Gaist) dalam menentukan dirinya untuk menjadi lebih penuh, utuh, mutlak, dan Absolut.

Nietzsche mengumandangkan istilah 'Tuhan telah mati' dengan alasan akal budi manusia telah menjangkau paham tentang Tuhan yang diagungkan dalam agama-agama. Tuhan dapat dijangkau karena Tuhan dapat diciptakan atau diatasi lewat produk dari akal budi manusia. Tuhan tidak lagi berupa Entitas atau Person yang kita agungkan sebagai sesuatu yang sakral atau suci, melainkan Ia hanya sebatas ilusi.

Tuhan yang dipikirkan oleh manusia Modern adalah seorang teman ngopi di caffe yang bisa mendengarkan temannya sharing dan lebih daripada itu mengambil tindakan antipati. Selain itu Tuhan berupa sebuah robot yang bisa membantu pekerjaan manusia dalam segala hal, karena ia dilengkapi dengan chip. Lebih lanjut, Tuhan dalam zaman Post-Modern ini berupa sebuah smartphone atau telefon cerdas yang ada di gengaman tangan kita masing-masing.

Pertanyaan kita ialah, apakah itu Tuhan yang sesungguhnya? Bagaimana cara meyakinkan kaum muda atau secara umum manusia tentang peristiwa keselamatan Allah mulai dari Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Suci, dan Minggu Paskah? Kami berpikir ini adalah sebuah tantangan baru bagi Gereja saat ini untuk menemukan cara-cara baru untuk meyakinkan kaum muda Gereja dalam pusaran arus globalisasi yang semakin melaju.

Dalam refleksi ini kami menawarkan dua paradigma berpikir dari Thomas Aquinas dan Yohanes Duns Scotus. Menurut Thomas Aquinas motif inkarnasi Allah dalam diri Putra merupakan cara Allah memberikan keselamatan kepada manusia dari keberdosaannya. Tesis Thomas Aquinas ini memberikan keyakinan kepada manusia bahwa manusia adalah makhluk yang lemah di hadapan Sang Maha Kuasa. Hal itu ditandai lewat manusia pertama Adam dan Hawa yang telah menunjukkan ketidaksetiaannya kepada Allah. Dengan demikian, Allah berinkarnasi melalui diri Putra agar Ia menjadi sama dengan manusia, kecuali dalam hal dosa.

Tesis Thomas Aquinas itu ditentang oleh Yohanes Duns Scotus dengan mengajukan sebuah perbandingan. Misalkan ada manusia yang hidupnya suci apakah Allah tetap berinkarnasi? Dari perbandingan itu, kemudian Duns Scotus memberikan sebuah tesis demikian: Allah berinkarnasi adalah cara Allah menunjukkan kasih-Nya yang total kepada manusia. Kasih Allah yang total tidak lagi didekatkan dengan keberdosaan manusia sehingga Allah harus turun ke dunia, melainkan karena Ia adalah Kasih itu sendiri dan Kasih itu juga Ia berikan kepada manusia.

Dari kedua paradigma yang kami gunakan ini mengajak merenung tentang peristiwa salib (sengsara, wafat, dan kebangkitan Kristus) bagi kaum muda Gereja. Pertama, peristiwa salib adalah sarana keselamatan Allah yang diberikan kepada manusia. Arah pikir ini menggunakan cara berpikir Thomas Aquinas. Kaum Muda Gereja perlu yakin bahwa peristiwa salib adalah tanda kehadiran Allah yang menyelamatkan umat manusia. Ia hadir ke dalam dunia, ada bersama dengan manusia, lalu Ia mengorbankan diri-Nya hingga mati di kayu salib, tetapi manusia belum juga memercayai-Nya. Masih saja terjadi malas-malasan mengikuti Perayaan Ekaristi, dan ketika pacaran atau bahkan menikah masih memilih pasangan dari luar Gereja. Apakah itu merupakan sebuah makna keselamatan bagi manusia? Manusia perlu memikirkan ulang keselamatan yang telah diberikan dari Allah dalam kehidupannya sehari-hari.

Kedua, peristiwa salib adalah cara Allah memberikan Kasih-Nya secara total kepada manusia. Cara berpikir ini merupakan cara berpikir Duns Scotus. Kaum Muda Gereja perlu menyadari bahwa peristiwa salib merupakan cara Allah memberikan Kasih-Nya melalui diri Sang Putra. Sang Putra di sini harus menderita hingga wafat di salib adalah semata-mata untuk mengajarkan Kasih kepada manusia. Dengan demikian manusia atau Kaum Muda perlu belajar memberikan kasih itu kepada sesamanya yang ia jumpai. Kasih yang perlu diberikan kepada orang lain berupa pengampunan, belas kasih, toleransi, cinta kasih, dan seterusnya; bukan sebaliknya berupa kemegahan diri, intoleransi, saling membenci dan sebagainya. Allah memberikan kasih itu secara cuma-cuma kepada manusia agar manusia juga melakukan hal yang sama secara cuma-cuma pula.

Manusia perlu menyadari kedua cara berpikir ini. Bahwa, inkarnasi Allah dalam diri Putra yang dilalui dengan peristiwa salib menyadarkan kita untuk percaya dan meyakini tanda kehadiran Allah sendiri yang menyelamatkan dan memberikan kasih-Nya secara total. Dengan demikian juga kita harus mengimani hal itu dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, kita terus belajar untuk memberikan kasih kepada sesama manusia, dalam bentuk tindakan berbagi, melayani dengan penuh cinta dan ketulusan, dan seterunya. Selain itu, kita juga perlu belajar untuk menjadi agen penyelamatan bagi sesama. Misalnya, menolong sesama yang membutuhkan bantuan, menuntun mereka yang diam-diam meninggalkan iman agar kembali meyakini Yesus Kristus Sang Penyelamat dan mengajarkan kasih kepada manusia.

Lebih lanjut, dalam peristiwa Paskah 2025 ini kita belajar untuk mau berkorban. Berkorban yang kami maksud di sini ialah semakin setia dalam menjalani paggilan hidup kita masing-masing, belajar mengendalikan diri, dan mensyukuri semua berkat mau pun tugas-tugas yang telah dipercayakan kepada kita untuk dikerjakan dengan sebaik-baiknya.           
 
(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved