Parpol peserta pemilu yang tidak mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.
Terakhir, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU 7/2017 melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian terhadap penyelenggara Pemilu, termasuk parpol yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna.
"Telah ternyata ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 tidak sejalan dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, hak memperjuangkan diri secara kolektif, serta kepastian hukum yang adil," kata Saldi.
Keputusan Hakim MK Tidak bulat
Adapun putusan MK yang menghapus ambang batas pencalonan presiden ini tidak bulat.
Ada dua hakim konstitusi yang menyatakan berbeda pendapat, yakni Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.
Keduanya menilai para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum. Sehingga, permohonan dinilai seharusnya tidak dapat diterima.
Anwar Usman dan Daniel Yusmic P Foekh menyatakan para pemohon dalam uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak memenuhi syarat legal standing.
Legal standing, kata kedua hakim merupakan syarat mutlak bagi setiap pemohon uji materi di MK.
Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi, hanya pihak-pihak yang memiliki kepentingan hukum dan dapat membuktikan kerugian konstitusional yang nyata akibat berlakunya suatu undang-undang yang berhak mengajukan permohonan.
Para pemohon, yang merupakan mahasiswa dan pemilih dalam Pemilu dinilai tidak dapat membuktikan berlakunya Pasal 222 menyebabkan kerugian langsung, nyata, dan spesifik terhadap hak-hak konstitusional mereka.
Baca juga: Kekayaan Arsul Sani Tembus Rp 31.2 M, Hakim MK yang Dilantik Jokowi, Eks Wakil Ketua MPR Asal PPP
Kedua hakim juga menilai alasan yang disampaikan pemohon lebih bersifat abstrak dan tidak menunjukkan kerugian pribadi yang spesifik, melainkan lebih kepada kepentingan publik secara umum.
Dalam kasus ini, kerugian publik tidak cukup untuk memenuhi syarat legal standing.
Kedua hakim MK juga menegaskan pengaturan presidential threshold merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy), yang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.
Sehingga, norma tersebut hanya bisa dibatalkan jika terbukti melanggar moralitas, rasionalitas, atau prinsip keadilan yang tidak tolerable, yang menurut mereka tidak terjadi dalam kasus ini.