Berita Nunukan Terkini

Lestarikan Budaya, Sanggar Busak Malay Bertahan di Tengah Minimnya Dukungan Pemkab Nunukan Kaltara

Di tengah arus modernisasi, sekelompok pemuda Suku Tidung di Nunukan, terus berjuang menjaga warisan budaya leluhur melalui Sanggar Busak Malay. 

Penulis: Febrianus Felis | Editor: M Purnomo Susanto
TRIBUNKALTARA.COM / FELIS
SANGGAR BUSAK MALAY - Di tengah derasnya arus modernisasi, sekelompok pemuda Suku Tidung di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara (Kaltara) terus berjuang menjaga warisan budaya leluhur melalui Sanggar Busak Malay, Sabtu (01/11/2025), sore. TRIBUNKALTARA.COM/FEBRIANUSFELIS 

TRIBUNKALTARA.COM, NUNUKAN - Di tengah derasnya arus modernisasi, sekelompok pemuda Suku Tidung di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara ( Kaltara) terus berjuang menjaga warisan budaya leluhur melalui Sanggar Busak Malay

Sejak berdiri pada tahun 1999, sanggar ini menjadi wadah bagi generasi muda untuk mengekspresikan seni sekaligus melestarikan adat istiadat Tidung. 

Namun, semangat besar itu tak selalu berjalan mulus. Minimnya dukungan dan perhatian dari pemerintah daerah membuat para penggiat budaya ini harus bertahan dengan segala keterbatasan.

Anggota Sanggar Busak Malay, Hadriansyah, mengungkapkan bahwa selama ini sebagian besar kegiatan mereka dijalankan dengan dana pribadi.

Baca juga: Wabup Tana Tidung Apresiasi TMMD ke-126, Harap Pekerjaan Rampung 100 Persen dalam 4 Hari ke Depan

“Kalau ada kegiatan di luar daerah, biasanya kami patungan. Tidak ada anggaran rutin dari Pemerintah (Pemkab) Kabupaten Nunukan. Kadang dibantu oleh desa, tapi jumlahnya sangat terbatas,” kata Hadriansyah kepada TribunKaltara.com, Sabtu (01/11/2025), sore.

Meski kerap diundang tampil di berbagai event kebudayaan, baik di tingkat kabupaten maupun luar daerah, keterbatasan dana sering menjadi penghalang utama.

“Undangan sering datang, tapi kami bingung cari biaya. Pernah sampai harus kumpul secara patungan sama teman-teman demi bisa berangkat. Padahal kami ingin membawa nama Nunukan dan budaya Tidung ke luar daerah,” ucapnya.

Selain masalah biaya, fasilitas latihan juga masih jauh dari memadai. Hingga kini, Sanggar Busak Malay belum memiliki tempat latihan tetap dan hanya menumpang di lapangan kecil di sekitar Nunukan

Bahkan mereka pernah mengumpulkan uang secara pribadi untuk membuat seragam pentas berupa baju penari dan pemusik sebesar Rp7 juta.

“Tempat latihan kami masih seadanya. Kalau hujan ya berhenti. Kadang kami pinjam lokasi gedung desa atau dari gedung adat," ujarnya.

Peralatan penunjang kesenian pun dalam kondisi terbatas. Sound system yang digunakan sudah mulai usang dibeli secara bekas dengan bantuan dana desa beberapa tahun lalu. 

Sementara itu, alat musik tradisional, aksesoris tari, dan kostum adat Tidung masih kami butuhkan untuk pentas.

“Kami butuh alat musik tradisional, baju adat, serta perlengkapan tari yang layak. Tapi untuk beli sendiri, jelas berat bagi kami,” tuturnya.

Padahal kata Hadriansyah, Sanggar Busak Malay bukanlah sanggar baru. Berdasarkan Surat Keputusan (SK) pendirian sejak 1999, sanggar ini telah resmi terdaftar dan diakui secara hukum. 

Baca juga: Pujangga Fun Day di RTH Djoesoef Abdullah, Surga Kuliner Warga Tana Tidung Setiap Minggu Pagi

Dalam lebih dari dua dekade perjalanan, sanggar ini telah berkontribusi besar memperkenalkan budaya Tidung kepada generasi muda sekaligus menjaga identitas masyarakat di wilayah perbatasan.

Hadriansyah berharap pemerintah daerah, khususnya dinas terkait, dapat memberikan perhatian lebih terhadap upaya pelestarian budaya lokal.

“Budaya Tidung ini identitas kita di perbatasan. Kalau tidak dijaga dari sekarang, bisa hilang nanti. Kami hanya butuh sedikit dukungan agar semangat ini tetap hidup,” pungkasnya.

Penulis: Febrianus Felis

Sumber: Tribun Kaltara
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved