Berita Nunukan Terkini

Tradisi Paskah Toroja di Nunukan, Bersihkan Jasad Leluhur yang Sudah 33 Tahun Meninggal Dunia

Ada tradisi unik Toroja di Nunukan saat merayakan Paskah atau tradisi Ma'nene, yakni membersihkan jasad leluhur yang sudah 33 tahun meninggal dunia.

Penulis: Febrianus Felis | Editor: Sumarsono
tribunkaltara.com
Masyarakat suku Toraja melangsungkan ritual Ma'Nene di Jalan Persemaian, RT 010 Kelurahan Nunukan Barat, Kabupaten Nunukan, Kamis (01/04/2021). 

TRIBUNKALTARA.COM, NUNUKAN – Ada tradisi unik suku Toroja di Nunukan saat merayakan Paskah atau tradisi Ma'nene, yakni membersihkan jasad leluhur yang sudah 33 tahun meninggal dunia.

Tradisi Ma’nene  merupakan ritual masyarakat Toraja yang dilakukan untuk menghormati para leluhurnya.

Mereka membersihkan jasad para leluhur yang sudah meninggal dunia beberapa tahun, bahkan hingga ratusan tahun yang silam.

"Kalau di Toraja bilang Ma'Nene, tapi di perantauan (Nunukan) kami sebut Paskah. Syarat mengangkut mayat itu harus ada potong kerbau dan babi.

Baca juga: Makam Tua Misterius yang Tiba-tiba Membesar di Padang Pariaman, Peneliti Siapkan Langkah Serius

Baca juga: Menggelar Ritual MaNene, Masyarakat Toraja Habiskan Biaya Rp 80 Juta untuk Membangun Ini

Baca juga: BREAKING NEWS, Ritual Suku Toraja, 33 Tahun setelah Dikubur, Mayat Pasutri Diangkat dari Liang Lahat

Itu sudah jadi tradisi turun temurun nenek moyang kami," kata Titus Takke (60), masyarakat Toraja yang tinggal di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara kepada TribunKaltara.com.

Suku Toraja memang dikenal dengan warisan budaya yang kaya dan memiliki keunikan tersendiri. Satu di antaranya yaitu Ma'Nene.

Tradisi Ma'nene suku Toraja, 33 tahun setelah meninggal dunia, mayat pasangan suami istri (pasutri) diangkat dari liang lahat.
Tradisi Ma'nene suku Toraja, 33 tahun setelah meninggal dunia, mayat pasangan suami istri (pasutri) diangkat dari liang lahat. (tribunkaltara.com)

Ritual unik itu bagi masyarakat awam terdengar menyeramkan.

Namun, tidak bagi masyarakat Toraja, ritual Ma'Nene sudah menjadi adat dan budaya yang sudah bertahun-tahun lamanya dijalankan oleh masyarakat etnis Toraja, utamanya di Sulawesi Selatan.

Bagi masyarakat Toraja yang tinggal di perantauan juga masih meyakini ritual Ma'Nene sampai sekarang.

Kamis (01/04/2021) kemarin, di Jalan Persemaian RT 010 Kelurahan Nunukan Barat, Kabupaten Nunukan sedang dilangsungkan ritual Ma'Nene (Paskah).

Ada jasad pasangan suami istri (Pasutri), bernama M. Timbang dan Maria Maku’. Timbang sendiri sudah meninggal sejak 1988 atau 33 tahun yang lalu. Sementara sang istri meninggal pada 2017 lalu.

Baca juga: Hasil Piala Menpora 2021, Tundukkan Persik Kediri, PS Sleman Langsung Bidik Persebaya

Kedua jasad pasutri tersebut dikeluarkan dari liang lahat untuk dibersihkan dan dirias.

"Ritual ini satu kali saja dilakukan. Istilah orang Toraja itu bilang diika. Besok kami potong 1 kerbau dan 1 babi.

Sebenarnya setahun setelah meninggal langsung dilakukan ritualnya, tapi karena baru tahun ini ada rezeki keluarga, jadi baru kami lakukan.

Biar puluhan tahun, kalau belum ada rezeki ya makamnya tidak dibuka," ucap Titus Takke.

Pantuan TribunKaltara.com, prosesi ritual adat itu diawali dengan berkunjungnya anggota keluarga ke pemakaman leluhur yang dinamakan Patane.

Patane sendiri adalah sebuah kuburan berbentuk seperti rumah yang dikhususkan untuk menyimpan mayat.

Baca juga: Polwan Bripka ARP Sempat Bohongi Suami, Pamit Dinas Tapi Tertangkap Basah Selingkuh di Kamar Hotel

Sebelum membuka pintu kuburan, pihak keluarga yang dituakan terlebih dahulu membaca doa yang dipanjatkan dalam bahasa Toraja kuno.

Doa tersebut dipanjatkan untuk meminta izin serta berkah dari para leluhur.

Setelah peti mati dan jasad diambil dari Patane, anggota keluarga akan berkumpul di sekitar peti itu.

Kemudian pihak keluarga mengambil jasad kakek dan nenek itu yang tersimpan di dalam liang lahat.

Setelah dikeluarkan dari dalam kubur, jasad tersebut dibersihkan menggunakan air.

Tampak jasad kakek Timbang tinggal tulang belulang. Namun, pakaian yang dikenakan termasuk sendal kulit berwarna cokelat masih terlihat utuh.

Jasad kakek Timbang dibungkus plastik bening yang cukup tebal. Waktu dibuka plastik itu tampak keluar cairan berwarna hijau kehitam-hitaman.

Sedangkan, jasad sang nenek Maria Maku' masih sedikit lebih utuh, karena belum terlalu lama meninggalnya.

Rambut warna putih nenek itu masih tampak utuh. Hanya saja sebagian tulang pada bagian pergelangan tangannya mulai hancur.

Sama seperti kakek, sendal berwarna cokelat nenek masih tampak utuh termasuk baju kebaya yang dikenakannya.

Baca juga: Diingatkan Jokowi usai Teror di Mabes Polri, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto Langsung Bereaksi

Titus Takke menjelaskan, setelah dimasukkan dalam peti, jasad belum boleh diturunkan ke dalam liang lahat atau dimasukkan ke dalam Patane, sampai besok setelah diibadatkan.

"Jadi malam ini pihak keluarga wajib menjaga mayat di kaki lima kuburan ini. Besok setelah potong kerbau dan babi, baru dilanjutkan dengan ibadat dan makan bersama.

Setelah itu baru peti diturunkan ke dalam liang lahat. Dan tidak boleh dibuka lagi. Kalau mau bakar lilin, hanya sebatas di kaki lima tidak boleh masuk sembarang di dalam kuburan," tuturnya.

Biasanya di kampung, untuk jasad pria akan dikenakan pakaian yang rapi, lengkap mulai dari jas sampai kacamata.

Sedangkan, jasad wanita akan dikenakan gaun pengantin. Setelah pakaian baru terpasang, jasad tersebut dibungkus dan dimasukkan kembali ke Patane.

Kemudian prosesi adat ditutup dengan Sisemba. Sisemba merupakan momen silaturahmi antar keluarga, yang dilakukan dengan makan bersama.

"Makanan yang dihidangkan besok tidak boleh sembarangan disajikan, karena harus berasal dari sumbangan setiap keluarga leluhur.

Dan ibadat nanti di lakukan di tanah kosong atau lapangan terbuka. Karena pada umumnya orang tidak mau makan kalau makanan disajikan di rumah keluarga jenazah itu," ungkapnya.

Pasutri itu ditempatkan dalam sebuah bangunan rumah yang berukuran, panjang 7 meter dan lebar 5 meter termasuk kaki lima.

"Jadi petinya ditempatkan beda liang lahat. Hanya saja satu bangunan rumah. Untuk membuat bangunan rumah itu biayanya hampir Rp 80 juta.

Anak yang ditinggalkan, kalau dari kakek ada 5 orang, sedangkan dari nenek 6 orang. Karene nenek dua kali menikah. Kalau cucu 17 orang, sementara cicit 10 orang," imbuhnya.

Dikutip dari travel.tribunews.com, tradisi Ma'nene di Tana Toraja itu, memiliki cerita dari masa lalu yang melatarbelakanginya.

Baca juga: Chord Gitar dan Lirik Lagu Sahur Tiba - Gigi: Puasa Hari Esok karena Allah Semata

Terlepas dari cerita itu adalah fakta atau bukan, yang jelas suku Toraja percaya bahwa memanusiakan orang yang sudah meninggal adalah perbuatan yang mulia.

Pada suatu hari ada seorang pemburu bernama Pong Rumasek yang menemukan sesosok mayat tergeletak di tengah jalan dengan kondisi memprihatinkan.

Hal ini membuat hati Pong Rumasek tergerak. Akhirnya, dilepaskanlah bajunya untuk dikenakan kepada jasad yang tinggal menyisakan tulang-belulang itu.

Lalu dipindahkannya ke tempat yang layak. Ketika pulang ke rumahnya, Pong Rumasek terkejut karena mendapati lahan pertaniannya sudah siap panen, padahal seharusnya belum waktunya.

Tak hanya itu, keberuntungan demi keberuntungan senantiasa menyertai hidup Pong Rumasek.

Ritual Ma'nene ini biasanya diadakan setiap tiga tahun sekali setelah masa panen. Atau bisa juga dilaksanakan sesuai dengan petunjuk dari sesepuh.

Ritual Ma'Nene bukan hanya soal membersihkan jasad dan memakaikannya baju baru.

Lebih dari itu, ritual ini memiliki makna mendalam, yaitu mencerminkan betapa pentingnya hubungan antar anggota keluarga.

Terlebih bagi sanak saudara yang telah terlebih dahulu meninggal dunia. (*)

Penulis: Febrianus Felis

Baca juga Berita Nunukan Terkini

Sumber: Tribun Kaltara
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved