Perbatasan RI Malaysia
Kisah Santi, Guru Honorer di Perbatasan RI-Malaysia, 4 Tahun Tinggal di Ruang UKS, Digaji Rp 1 Juta
Mengabdi menjadi guru honorer di perbatasan RI-Malaysia merupakan hal yang tak mudah.
Penulis: Febrianus Felis | Editor: Amiruddin
Selama perbaikan gedung sekolah, Santi dan guru lainnya terpaksa mengajar di pondok kecil dengan kapasitas 15 orang.
Dengan pola mengajar yang dibagi beberapa shift, sehingga semua peserta didik mendapat kesempatan belajar yang sama.
"Karena kalau mau antar materi terus, rumah siswa jauh. Mau virtual nggak ada jaringan. Jadi sesekali kumpul untuk berikan penjelasan.
Pas ujian kenaikan kelas lalu, kami print materi lalu antar satu per satu ke rumah siswa. Sampai saya sempat sakit karena tidak bisa jalan jauh. Dan pernah jatuh dari motor juga karena jalanan licin," ungkapnya.
Alumni S1 PGSD Universitas Terbuka Borneo Tarakan itu, mengaku sanggup bertahan dengan upah Rp 1 juta perbulan, sebab profesi guru sudah diimpikan Santi sejak kecil.
Santi menuturkan, dirinya akan mengikuti tes Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), yang akan dibuka pendaftarannya pada Juni mendatang.
"Mudahan bisa lolos. Karena formasi hanya 1 di sekolah ini. Honornya di sini ada dua. Tapi yang satu guru agama Islam. Sempat orang bilang, kenapa mau jadi guru honorer di situ, nggak ada listrik, blankspot, akses jalan nggak bagus, lalu gajinya segitu.
Baca juga: Atasi Stunting, Disdikbud Nunukan Gelar Progasda Plus di Desa Binusan Dalam & 3 Sekolah Terpencil
Baca juga: Cerita Kepsek SDN 012 Nunukan, Nasib Sekolah Terpencil, Mulai Blankspot Hingga Belajar di Pondok
Baca juga: Waspada, BMKG Prediksi 4 Wilayah di Nunukan Berpotensi Mengalami Cuaca Ekstrem Selasa 25 Mei 2021
Saya jawab, tidak masalah memang cita-cita saya jadi guru. Perihal honorer, bagi saya itu proses," imbuhnya.
Saat ini Santi mengajar kelas I SD, dengan jumlah peserta didik 11 orang. Adapun materi yang ia ajarkan yakni Matematika, PKN, Bahasa Indonesia, dan SBK.
"Selama pandemi Covid-19 hanya 1 jam saja saya mengajar di pondok. Yang susahnya itu, kadang anak-anak di kasi tugas, ada yang orang tuanya nggak bisa ajarkan. Karena beberapa orang tua nggak bisa baca tulis.
Di sini keseharian orang tua murid ya ikat rumput laut, buruh sawit, sehingga malam hari baru pulang. Banyak orang tua yang meminta sekolah tatap muka segera dibuka," pungkasnya.
(*)
Penulis: Febrianus Felis
Jangan Lupa Like Fanpage Facebook TribunKaltara.com
Follow Twitter TribunKaltara.com
Follow Instagram tribun_kaltara
Subscribes YouTube Tribun Kaltara Official