Berita Nunukan Terkini

Cerita Dorma Kisu Buka Sanggar Tari Dayak Lundayeh, Sisihkan Gaji Demi Koleksi Pernak-Pernik

Demi eksistensi budaya Dayak Lundayeh di Nunukan, Kalimantan Utara, wanita bernama Dorma Kisu koleksi pernak-pernik dan hasil kerajinan tangan.

Penulis: Febrianus Felis | Editor: Junisah
TRIBUNKALTARA.COM/ FEBRIANUS FELIS
Dorma memperlihatkan kerajinan tangan khas Dayak Lundayeh yang terbuat dari kulit kayu dan dihiasi duri Landak dan bulu burung Enggang, Minggu (12/09/2021), pagi 

TRIBUNKALTARA.COM, NUNUKAN - Demi eksistensi budaya Dayak Lundayeh di Nunukan, Kalimantan Utara, wanita bernama Dorma Kisu koleksi pernak-pernik dan hasil kerajinan tangan khas Dayak Lundayeh.

Ditemui dikediamannya di Jalan Pongtiku RT 016, Kelurahan Nunukan Tengah, Dorma menceritakan awal mula ia tertarik mengoleksi pernak-pernik khas Dayak Lundayeh.

Berawal dari kegelisahan Dorma melihat budaya lain muncul satu persatu dengan ciri khasnya masing-masing.

Baca juga: Kearifan Lokal Masyarakat Dayak Punan di Malinau Selatan Hulu, Andalkan Hutan Jaga Ketahanan Pangan

Sehingga, pada tahun 2004 silam ia dan keluarga beralih dari Krayan, yang merupakan kampung halamannya, pindah ke Nunukan lalu membuka sanggar tari khas Lundayeh.

"Saya lihat dari dulu tidak ada orang Lundayeh yang memikirkan tentang eksistensi budaya Lundayeh melalui barang-barang adat. Suku lain tampil tampil dengan tarian dan nyanyian mereka. Jadi saya mulai menggali kebudayaan Dayak Lundayeh dengan membuka sanggar tari di Nunukan," kata Dorma kepada TribunKaltara.com, saat ditemui di gerai pernak-perniknya, Minggu (12/09/2021), pukul 08.30 Wita.

Sehingga, ia berpikir untuk mempelajari lebih dalam lagi tarian dan lagu-lagu kuno khas Lundayeh.

Bahkan, Dorma mengaku selama lima tahun dirinya sempat melakukan rekaman enam lagu kuno khas Lundayeh.

Baca juga: Mengenal Ellias Yesaya, Pelestari Musik Tradisional Dayak Lundayeh di Kalimantan Utara

Kendati begitu, dia sempat mendapat penolakan dari etnisnya sendiri lantaran ketidakpahaman mereka pada isi lagu tersebut.

Namun, sejak dirinya disiarkan oleh radio swasta dari negeri jiran, Malaysia, tak sedikit warga yang memesan kaset lagu kuno khas Lundayeh itu.

"Ada enam jenis lagu kuno Dayak Lundayeh yang saya sudah sempat rekam di studio. Banyak penolakan dari etnis saya sendiri, mungkin mereka nggak paham isi lagu, karena itu bahasa daerah. Begitu saya disiarkan oleh radio swasta di Malaysia baru banyak yang pesan kasetnya," ucapnya.

Dorma memperlihatkan hasil kerajinan tangan khas Dayak Lundayeh yang terbuat dari kulit kayu dan dihiasi duri Landak dan bulu burung Enggang, Minggu (12/09/2021), pagi
Dorma memperlihatkan hasil kerajinan tangan khas Dayak Lundayeh yang terbuat dari kulit kayu dan dihiasi duri Landak dan bulu burung Enggang, Minggu (12/09/2021), pagi (TRIBUNKALTARA.COM/ FEBRIANUS FELIS)

Lanjut dia,"Saat ada Iraw di Malinau kami jual 30 buah kaset lagu kuno Lundayeh itu. Satu kaset seharga Rp100 ribu. Setelah itu banyak yang copy sudah lagunya. Kami juga tidak bisa urus hak cipta, karena itu lagu nenek moyang kami," tambahnya.

Dari sanggar tari dan lagu-lagu khas Lundayeh, Ibu dua cucu itu beralih mengoleksi pernak-pernik Dayak Lundayeh, baju adat, baju batik, alat musik, dan kerajinan tangan lainnya seperti anyaman tas dan bakul pada tahun 2008.

Dorma menuturkan, dirinya saat itu sudah bekerja sebagai pegawai di salah satu kantor dinas pemerintah daerah Nunukan.

Ia sadar untuk mengoleksi semua barang itu membutuhkan tak sedikit modal. Sehingga, Dorma sempat mencoba melakukan pinjaman modal awal ke bank sebanyak Rp40 juta.

Baca juga: Public Hearing Sepakati Perubahan Lambang dan Hari Jadi Kaltara, Begini Kata Tokoh Adat Dayak

"Waktu itu saya mau ajukan pinjaman ke bank tapi kan pegawai tidak boleh minjam di bank. Jadi saya pakai nama menantu saya. Dapatlah modal Rp40 juta. Selain itu saya juga sisihkan dari gaji saya untuk terus mengoleksi pernak-pernik dan barang khas Lundayeh lainnya. Di situlah mulai banyak penggemar. Sehingga saya semangat sekali untuk teruskan niat koleksi barang-barang itu," ujarnya.

Meskipun, ditengah pandemi Covid-19, gerai pernak-pernik milik Dorma masih dikunjungi konsumen. Utamanya tamu dari luar daerah.

Tak hanya itu, Dorma bahkan membuat tali masker dari manik-manik khas Lundayeh.

"Gelang itu saya jual Rp40-Rp50 ribu tergantung keaslian. Kalau gelang dari kulit kayu Rp30 ribu. Tali tas Rp200 ribu. Kalau gelang dari manik-manik itu saya kerjasama dengan anak muda di Krayan. Saya yang punya manik-manik dan mereka yang kerjakan. Karena mata saya sudah nggak bisa lihat manik-manik terlalu kecil," tuturnya.

Lanjut Dorma,"Kemarin saya kirim 1 Kg manik-manik ke Krayan. Saya pesan buat gelang. Kalau anting-anting saya jual Rp25 ribu. Karena saya ambil dari pengrajin itu harganya Rp10 ribu," ungkapnya.

Meskipun, transportasi Nunukan-Krayan hanya bisa dengan pesawat terbang, tak menyurutkan semangat Dorma untuk terus mengirim manik-manik ke Krayan.

"Memang penerbangan sedikit jadi kendala. Tapi sekarang ini agak murah bagasinya. Dulu Rp35 ribu per kilo sekarang hanya Rp20-25 ribu per kilo," imbuhnya.

Barang lainnya yang dijual Dorma seperti baju adat dari kulit kayu yang sudah dimotif seharga Rp700 ribu.

Baju adat bermotif Tabu, Jelaran, dan Linawa dijual Rp750 ribu. Batik tulis Bulanmawan seharga Rp500 ribu.

"Kalau baju berbahan kulit agak susah ambilnya di hutan, Krayan. Kayu Talun itu susah dapatnya. Nah, kalau batik tulis, satu lembar saya produksi selama tiga hari. Saya gambar dulu, baru dicanting," pungkasnya.

"Kalau ada pesanan batik tulis dari pejabat, saya gambar lalu kirim ke Solo dan Yogyakarta. Karena kita takut salah mewarnai. Kalau pesanan dari warga biasa, saya bisa buat sendiri. Biasanya pesan tamu dari Jakarta. Pejabat Polda Kaltara juga beli ke saya Rp500 ribu. Kalau saya produksi sendiri hanya Rp450 ribu ada juga Rp350 ribu tergantung ukuran kain," beber Dorma.

Baca juga: Polda Kaltara Musnahkan Senpi Ilegal, Tokoh Adat Dayak Kaltara Henock Merang: Kami Ikut Ketentuan

Selain itu, Dorma beberkan sebelum pandemi tak sedikit anyaman bakulnya dibeli oleh para turis. Saat ini anyaman bakul Dorma ia jual seharga Rp250 ribu.

Untuk topi yang terbuat dari kulit kayu dan dihiasi duri Landak dan bulu burung Enggang, ia jual Rp350 ribu.

Anyaman tas dari rotan mulai Rp350-500 ribu.

"Kalau topi yang tidak pakai bulu burung sudah banyak yang pesan. Kalau yang ada bulu burung baru dua orang yang pesan yaitu dari Malinau dan Tanjung Selor. Bahkan orang Krayan saja pesan di sini sama saya," tutupnya.

Dorma juga mengoleksi alat musik khas Lundayeh seperti Sape, Gong, Kolintang.

Termasuk juga Pelepet khas Lundayeh yang menyerupai Mandau.

(*)

Penulis: Febrianus Felis

Sumber: Tribun Kaltara
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved