Hari Kesaktian Pancasila
Detik-detik Tragedi G30S, Mengenal 7 Pahlawan Revolusi Korban Kekejaman PKI dan Sejarah Singkatnya
Detik-detik tragedi Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau G30S/PKI, mengenal 7 Pahlawan Revolusi korban kekejaman PKI & sejarah singkat.
Ia lahir pada 20 Januari 1924.
Pada saat Jepang menguasai Indonesia, M.T Haryono sempat menempuh pendidikan di Ika Dai Gakko (Sekolah Tinggi Kedokteran).
Namun pendidikan tersebut tidak sampai tamat karena Jepang saat itu menyerah.
Lalu, setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, ia bergabung dengan TKR.
Kemudian, ia mendapat pangkat Mayor.
Ia memiliki beberapa kemampuan berbahasa asing.
Kemampuan tersebut di antaranya, bahasa Jerman, Belanda, dan Inggris.
Lalu, berkat kemampuan yang dimiliki, ia didaulat sebagai atase militer Indonesia di belanda.
Kemudian ia kembali ke Indonesia.
Setelah itu, ia diangkat menjadi Deputi III Menteri/Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani.
Baca juga: TERUNGKAP! Teka-teka Mengapa Soeharto tak Diculik & Dibunuh G30S/PKI, Kesaksian Kolonel Abdul Latif
5. Mayjen R. Suprapto
Mayjen R. Suprapto lahir di Purwokerto, Jawa Tengah.
Ia lahir pada 20 Juni 1920.
Suprapto mengikuti pelatihan militer di Koninklijke Militaire Akademie setelah menyelesaikan pendidikannya.
Namun pelatihan tersebut tidak sampai selesai karena Jepang datang menguasai Indonesia.
Lalu, setelah Indonesia meredeka, R. Suprapto bergabung ke dalam TKR.
Kemudian, pada 1 Oktober 1965, ia dijemput paksa oleh pasukan Cakrabirawa.
Pasukan Cakrabirawa mengatakan bahwa R. Suprapto dipanggil untuk menghadap Presiden Soekarno.
Namun, ia ternyata dibawa ke lubang buaya oleh pasukan Cakrabirawa.
6. Mayjen TNI Sutoyo Siswomiharjo
Mayjen TNI Sutoyo Siswomiharjo lahir di Purworejo, Jawa Tengah.
Ia lahir pada 28 Agustus 1922.
Setelah tamat pendidikannya, Ia bekerja menjadi pegawai pemerintah di Purworejo.
Kemudian pada tahun 1944, Ia berhenti bekerja.
Setelah Indonesia merdeka, Sutoyo Siswomiharjo bergabung dengan TKR.
Pada tahun 1960, Ia menyelesaikan sekolah staf dan komando di Bandung.
Lalu, Ia ditugaskan menjadi Inspektur Kehakiman Angkatan Darat.
Kemudian Ia naik jabatan sebagai Inspektur Kehakiman dengan pangkat Brigadir Jenderal TNI.
Setelah itu, Ia dijemput paksa di kediamannya oleh pasukan Cakrabirawa dan dibawa ke Lubang Buaya.
Baca juga: Pakar Sejarah Bongkar Kebohongan Film G30S/PKI, Cacat Fakta, Tidak Ada Penyiksaan Jenderal
7. Kapten Czi. Pierre Tendean
Kapten Czi. Pierre Tendean memiliki nama lengkap yaitu Pierre Andries Tendean.
Ia lahir pada 21 Januari 1939.
Sedari kecil, Pierre Tendean memiliki cita-cita menjadi seorang tentara.
Setelah lulus sekolah, Ia mendapat tugas menjadi seorang Komandan Peleton Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II di Medan.
Pierre mendapat pangkat yaitu Letnan Dua.
Sampai akhirnya Ia naik pangkat sebagai letnan satu.
Kemudian Pierre ditarik menjadi seorang ajudan Jenderal A.H Nasution.
Pada 1 Oktober 1965, pasukan Cakrabirawa datang untuk menculik Jenderal A.H Nasution.
Namun, karena mendesak, mereka tidak bisa memberdakana antara Pierre Tendean dan A.H Nasution.
Sehingga mereka membawa Pierre Tendean.
Lalu, A.H Nasution berhasil melarikan diri.
Kemudian, jasad Pierre Tendean dimasukkan ke dalam Lubang Buaya.
Misteri Jejak Pelarian DN Aidit
Misteri jejak pelarian DN Aidit di Solo-Boyolali hingga lokasi Dipa Nusantara Aidit dieksekusi, DN Aidit adalah tokoh PKI yang diburu usai G30S.
Selalu menjadi diskusi yang tidak ada habisnya, apabila menceritakan memori kelam Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau ( G30S/PKI )
Kejadian inipun tak lepas dari nama Dipa Nusantara Aidit atau biasa dikenal dengan DN Aidit.
DN Aidit merupakan orang yang disebut-sebut sebagai tokoh atau dalam dalam kejadian G30S/PKI.
Baca juga: Hari Kesaktian Pancasila, Ini 4 Mobil Bersejarah Tragedi G30S/PKI, Ada Truk Penculik Para Jenderal
DN Aidit saat itu berstatus sebagai pimpinan PKI atau Partai Komunis Indonesia.
Sejak PKI dinyatakan sebagai partai terlarang, banyak terjadi penangkapan dan pembunuhan pada mereka yang terlibat dalam PKI.
Tentu saja, tak terkecuali sang pimpinan PKI, yakni DN Aidit.
Kematian DN Aidit sendiri hingga kini masih jadi misteri.
Yang ada, adalah cerita dari mulut ke mulut, dan belum terbukti kebenarannya.
Dikutip dari buku Indonesia dalam Arus Sejarah, Pasca Revolusi, karya Prof Dr Aminudin, DN Aidit melarikan diri ke Yogyakarta setelah terjadinya peristiwa G30S.
Baca: Cerita Saksi Hidup Penguburan 7 Pahlawan Revolusi di Lubang Buaya dalam Peristiwa G30S/PKI
Ia lebih dulu menyerahkan pimpinan tertinggi PKI pada 2 Oktober 1965.
Berdasarkan informasi yang dihimpun selepas dari Jogjakarta, DN Aidit pergi ke Solo.
Saat di Solo awalnya, Aidit berada di wilayah Kleco yang kemudian pindah lagi ke rumah di Desa Sambeng, belakang Stasiun Balapan, pada 22 November.
Pegiat Sejarah asal Boyolali, R Surojo, mengatakan, di Sambeng itu lah Aidit dijemput sekelompok pria.
“Ceritanya, Aidit bersembunyi di sebuah ruang rahasia dengan pintu lemari,” ujar Suroso.
Setelah dilakukan interogasi, sekelompok pria itu kemudian membawa Aidit meninggalkan Solo.
Rombongan membawanya melewati Jalan Raya Solo-Semarang.
Arah perjalanan ke arah barat.
Sejatinya, rombongan itu berencana membawa Aidit ke Semarang.
Namun menurut literasi yang dia baca, bahwa pimpinan rombongan itu mengambil inisiatif untuk mengeksekusi Aidit di Boyolali.
Baca juga: Jelang Peringatan Hari Kesaktian Pancasila, Berikut Fakta Sejarah, Bermula dari Tragedi G30S/PKI
“Konon kabarnya di Boyolali itulah, Aidit menjalani eksekusi di belakang sebuah rumah, di sekitar Simpang Lima Boyolali saat ini,” jelasnya.
Cerita beredar menyebutkan, tempat eksekusi DN Aidit ada di belakang bangunan tua yang ada di sebelah barat Simpang Lima Boyolali.
Bangunan tua bergaya Eropa itu saat ini juga digunakan sebagai tempat parkir Pengunjung Perpustakaan daerah, yang ada di tengah-tengah simpang Lima Boyolali.
Pegiat Sejarah Boyolali, R. Surojo menyebut di kawasan simpang lima Boyolali dulunya ada rumah.
Saat ini, lokasi rumah itu kurang lebih ada di belakang Perpustakaan Daerah Boyolali.
“Lokasinya berada berada di sekitar kantor Arsi atau Perpustakaan saat ini,” ujar Surojo.
“Namun tepat pastinya di mana, saya kurang tahu, karena ini berdasarkan beberapa keterangan-keterangan itu seperti itu,” tambahnya.
“Hanya mungkin karena berbagai hal, keterangan itu belum dapat dijadikan bukti yang kuat (mengenai lokasi eksekusi Aidit),” ujarnya.
Surojo pun menyebut, beberapa tahun lalu, Ilham Aidit pun pernah datang secara diam-diam mengunjungi makam ayahnya.
“Hanya sampai saat ini kita belum memperoleh data yang jelas tentang cerita (eksekusi) kebenaran cerita itu,” ujarnya.
Meski belum bisa memastikan tempat eksekusi Pimpinan PKI itu, namun peristiwa G 30 S PKI itu menjadi sejarah kelam masa lalu.
“ Kalau saya mengatakan tragedi kemanusiaan. Jadi sebagai catatan sejarah, untuk bangsa ini tidak akan terjadi peristiwa semacam ini lagi,” imbuhnya.
Pada 2012, Ilham Aidit, putra DN Aidit, memang mengaku sudah menemukan makam ayahnya di Boyolali.
"Saya sudah menemukan makam ayah saya di Boyolali," kata Ilham, Senin (1/10/2012) sebagaimana dikutip dari artikel Kompas.com.
Hanya saja, Ilham tak menyebutkan, di mana persisnya makam ayahnya itu.
Baca juga: TERUNGKAP! Teka-teka Mengapa Soeharto tak Diculik & Dibunuh G30S/PKI, Kesaksian Kolonel Abdul Latif
Ini 4 Mobil Bersejarah Tragedi G30S/PKI
Jelang peringatan Hari Kesaktian Pancasila, ini 4 mobil bersejarah tragedi berdarah G30S/PKI, ada truk yang digunakan oleh penculik para Jenderal.
Setiap tanggal 1 Oktober, seluruh rakyat Indonesia memperingatinya sebagai peringatan Hari Kesaktian Pancasila.
Dimana, pada hari itu, 6 Jenderal dan satu orang Perwira menengah dibunuh secara keji.
Sekaligus menjadi keganasan Partai Komunis Indonesia atau PKI.
Peristiwa itu juga, menjadi salah satu tragedi paling berdarah dalam sejarah Indonesia.
Baca juga: Jelang Peringatan Hari Kesaktian Pancasila, Berikut Fakta Sejarah, Bermula dari Tragedi G30S/PKI
mengingatkan kita pada perjuangan para pahlawan revolusi yang gugur dalam pemberontakan G30S/PKI.
Perjuangan tersebut terjadi di tanggal 30 September 1965, sampai saat ini masih menjadi perdebatan di tengah lingkungan akademisi mengenai siapa penggiatnya dan apa motif di belakangnya.
Nah, di sisi lain terdapat sederet mobil bersejarah yang ikut ambil bagian dalam sejarah Hari Kesaktian Pancasila.
Kali ini GridOto.com sudah merangkumnya.
1. Mobil Toyota Land Cruiser
Toyota Land Cruiser Milik Soeharto (Istimewa)
Saat itu, Jenderal TNI Soeharto memegang pimpinan sementara TNI AD untuk menghadapi pemberontakan G30S/PKI di Indonesia.
Mobil Toyota Land Cruiser berpelat nomor 04-62957/44-10 ini digunakan Mayor Jenderal TNI Soeharto untuk menumpas G30S/PKI.
Baca juga: TERUNGKAP! Teka-teka Mengapa Soeharto tak Diculik & Dibunuh G30S/PKI, Kesaksian Kolonel Abdul Latif
2. GM Old Mobile 98
GM Old Mobile 98 Milik Jendral TNI Ahmad Yani (Istimewa )
GM Old Mobile 98 adalah mobil dinas milik Jenderal TNI Ahmad Yani ini digunakan untuk mengurus segala urusannya sebagai jenderal.
Saat itu Jenderal TNI Ahmad Yani menjabat sebagai Menteri atau Panglima Angkatan Darat pada tahun 1962-1965.
Mobil tersebut kemudian dirampas para anggota PKI dan dibawa ke Lubang Buaya.
Komandan Tentara Nasional Indonesia ini meninggal pada usia 43 tahun setelah dibunuh anggota G30S/PKI.
3. Panser Saracen
Panser PCMK-2 Saracen ini adalah kendaraan berlapis baja berasal dari Inggris.
Panser ini digunakan untuk mengangkut jenazah korban G30S/PKI dari Rumah Sakit Pusat TNI AD Gatot Subroto untuk mendapatkan visum etrepertum.
Saracen di tahun 1965 kala itu masuk dalam unit batalyon kavaleri 7 yang berada di bawah komando Kodam V (sekarang Kodam Jayakarta), di mana tugasnya yakni melindungi keamanan Ibu kota Jakarta.
Baca juga: Pakar Sejarah Bongkar Kebohongan Film G30S/PKI, Cacat Fakta, Tidak Ada Penyiksaan Jenderal
4. Truk Dodge 500
Truk Dodge 500 (Istimewa)
Truk Dodge 500 dengan nomor polisi B 2982 L ini dipamerkan di Monumen Pancasila Sakti, Jakarta Timur.
Pada 1 Oktober 1965, gerombolan G30S/PKI menggunakan truk ini untuk menculik dan membawa jenazah Bridgen TNI DI Pandjaitan dari kediamannya ke Desa Lebang Buaya, Jakarta Timur.
Baca juga: Dialog Sukitman dengan Pembunuh 7 Jenderal di Malam G30S, Dengar Langsung Jenderal A Yani Dibunuh
Fakta Sejarah, Bermula dari Tragedi G30S/PKI
Jelang peringatan Hari Kesaktian Pancasila yang jatuh pada 1 Oktober 2021 mendatang.
Maka dalam artikel ini akan memuat fakta-fakta sejarah, sampai akhirnya kejadian menyedihkan tersebut terjadi di Indonesia.
Semua kejadian ini, bermula dari tragedi berdarah Gerakan 30 September atau G30S yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia ( PKI).
Dalam tragedi ini, 6 Jenderal dan 1 orang Perwira menengah di tubuh TNI AD tewas dibunuh.
Sejarah hari ini, 1 Oktober, Hari Kesaktian Pancasila, sejumlah faktanya, bermula dari tragedi G30S atau Gerakan 30 September
Hari ini, Kamis 1 Oktober 2020, bangsa Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila.
Baca juga: Jelang Peringatan Hari Kesaktian Pancasila, Berikut Fakta Sejarah, Bermula dari Tragedi G30S/PKI
Berikut sejumlah fakta Hari Kesaktian Pancasila, yang bermula dari tragedi G30S atau Gerakan 30 September tahun 1965.
Peringatan Hari Kesaktian Pancasila bermula dari Surat Keputusan Menteri atau Panglima Angkatan Darat Jenderal Soeharto pada 17 September 1966 lalu.
Setelah keputusan tersebut keluar, Wakil Panglima Angkatan Darat Letjen Maraden Panggabean dalam jumpa pers menjelaskan, Pancasila sebagai way of life bangsa Indonesia pada tanggal itu mendapat ancaman yang luar biasa sehingga hampir saja Pancasila musnah dari Bumi Pertiwi.
Namun, Pancasila selamat dari serangan fisik penganut Marxisme, Leninisme, dan Maoisme.
Dalam surat itu dinyatakan, peringatan harus dilakukan oleh seluruh slagorde (pasukan) Angkatan Darat dengan mengikutsertakan angkatan lainnya serta rakyat.
Pada 1 Oktober 1966, peringatan Hari Kesaktian Pancasila pertama kali dilakukan di Lubang Buaya.
Tragedi G30S
Diberitakan harian Kompas 6 Oktober 1965, gerakan tersebut merupakan bagian dari sejarah buruk bangsa Indonesia.
Dalam peristiwa tersebut, enam jenderal serta satu perwira pertama TNI AD yang menjadi korban.
Letnan Jenderal Anumerta Ahmad Yani, Mayor Jenderal Raden Soeprapto, Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Haryono, Mayor Jenderal Siswondo Parman, Brigadir Jenderal Donald Isaac Panjaitan, Brigadir Jenderal Sutoyo Siswodiharjo, dan Lettu Pierre Andreas Tendean.
Ketujuh korban tersebut juga dianugerahi pahlawan revolusi.
Mereka dibunuh oleh PKI lalu dimasukkan ke dalam sumur Lubang Buaya di Jakarta Timur.
PKI menuduh mereka akan melakukan makar terhadap Soekarno melalui Dewan Jenderal.
Baca juga: TERUNGKAP! Teka-teka Mengapa Soeharto tak Diculik & Dibunuh G30S/PKI, Kesaksian Kolonel Abdul Latif
Fakta tragedi G30S PKI
1. Penculikan dan Pembunuhan Jenderal oleh Pasukan Cakrabirawa
G 30S PKI terjadi pada 30 September 1965 malam, hingga 1 Oktober 1965 pagi hari.
10 petinggi TNI tewas dalam kejadian tersebut.
Mereka adalah Jenderal Ahmad Yani, Letnan Jenderal (Letjen) Suprapto, Letjen Haryono, Letjen Siswondo Parman, Mayjen Pandjaitan, Mayjen Sutoyo Siswomihardjo, Kapten Pierre Tendean, AIP Karel Satsuit Tubun, Brigjen Katamso Darmokusumo dan Kolonel Sugiono.
Penculikan dan pembunuhan para jenderal itu dilakukan di Jakarta dan Yogyakarta.
Sebanyak tujuh jenazah Pahlawan Revolusi ditemukan di sumur berdiameter sempit, yang kemudian dikenal sebagai sumur Lubang Buaya.
2. Penculikan oleh Pasukan Cakrabirawa
Pasukan Cakrabirawa adalah pasukan pengaman Presiden yang andal.
Pasukan ini berkekuatan 3.000 personel dari keempat Angkatan Bersenjata.
Dalam G 30S PKI, Pasukan Birawa menjadi promotor untuk menculik para jenderal.
Letkol Untung dan satu peleton Cakrabirawa dari Batalyon I KK pimpinan Lettu Dul Arif memimpin operasi itu.
Tindakan yang dilakukan Pasukan Cakrabirawa itu dianggap mencoreng nama pemerintah, sehingga dibubarkan pada 28 Maret 1966.
Baca juga: Pakar Sejarah Bongkar Kebohongan Film G30S/PKI, Cacat Fakta, Tidak Ada Penyiksaan Jenderal
3. Nasib Letkol Untung dan Pasukannya
Setelah operasi yang disebut kudeta itu gagal, Letkol Untung sempat melarikan diri ke Jawa Tengah.
Namun, pria pemilik nama kecil Kusman ini tertangkap oleh dua anggota Armed, yang tak dikenalnya.
Anggota Armed itu tak tahu jika yang mereka tangkap adalah Letkol Untung, yang memimpin pemberontakan G30S PKI.
Akhirnya, Untung dibawa ke Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) pada awal 1966.
Vonis mati untuknya dijatuhkan pada 6 Maret 1966.
Untung sempat meminta grasi pada Presiden Soeharto.
Namun, grasi itu tidak datang dan nasibnya justru berakhir di regu tembak.
Sedangkan personel pasukan Cakrabirawa banyak yang ditangkap dan dipenjarakan tanpa melalui proses pengadilan.
4. Tewasnya Gadis Lima Tahun Bernama Ade Irma Suryani
Jenderal Abdul Harris (AH) Nasution menjadi sasaran dalam G 30S PKI.
Namun, putrinya yang baru berusia lima tahun, Ade Irma Suryani, justru tertembus peluru Pasukan Cakrabirawa.
Ade Irma meninggal dunia setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, tepatnya pada 6 Oktober 1965.
Baca juga: Detik-detik Sukitman Lihat Pembantaian Jenderal saat Dimasukkan ke Lubang Buaya di Malam G30S
Saat kejadian sekitar pukul 03.30 dini hari, Ade tidur bersama ayah dan ibunya.
Istri Jenderal Nasution, Johanna Nasution, berusaha melindungi suaminya, sehingga menyerahkan Ade Irma ke adik iparnya.
Namun karena panik, adik AH Nasution tak sengaja membuka pintu yang diberondong peluru pasukan Cakrabirawa.
Bocah kecil itu bersimbah darah, tetapi baru ketika hari sudah menjelang pagi dibawa ke RSPAD.
Dikutip dari Intisari, ada sekitar tiga peluru yang bersarang di punggung Ade Irma Naution.
5. Diperingati dengan Upacara Bendera
Kebenaran G30S PKI sering kali menjadi perdebatan.
Namun, peristiwa ini adalah salah satu episode kelam dalam perjalanan Bangsa Indonesia.
Bagaimanapun setelah G30S PKI pecah, Pancasila terbukti menjadi ideologi bangsa yang tak tergantikan.
Saat ini, Hari Kesaktian Pancasila diperingati dengan upacara bendera di instansi pemerintahan dan sekolah-sekolah.
Hari berkabung nasional
1 Oktober juga disikapi sebagai hari perkabungan nasional, namun bukan untuk ritual kesaktian Pancasila.
Diberitakan Kompas.com (1/6/2016), dikarenakan sejumlah perwira TNI gugur pada 1 Oktober 1965.
Pelajar dan warga melihat monumen Pancasila Sakti Lubang Buaya, Jakarta, usai mengikuti upacara peringatan hari Kesaktian Pancasila, Sabtu (1/10/2016). Tanggal 1 Oktober merupakan Peringatan Hari Kesaktian Pancasila (TRIBUNNEWS/HERUDIN)
Peristiwa yang patut dikenang tersebut akhirnya difilmkan oleh almarhum Arifin C Noer dan diberi judul Gerakan 30 September.
Film tersebut menggambarkan adegan penculikan dan pembunuhan yang dilakukan segerombolan militer yang disebut sebagai pasukan Cakrabirawa. Cakrabirawa dibentuk atas unsur-unsur angkatan.
Personel Cakrabirawa yang terlibat ialah Letkol Untung dan beberapa pasukannya dari Angkatan Darat.
Film G30S PKI disebut propaganda Orde Baru
Film ini wajib ditonton di Orde Baru atau era Presiden Soeharto.
Pasca-Orde Baru runtuh, sejumlah pihak pun menyoroti kebenaran cerita film G30S/PKI.
Sejumlah adegan dan penggambaran sosok dalam film juga dipertanyakan karena dianggap tak sesuai dengan kenyataan.
Di antaranya adalah soal adegan DN Aidit merokok.
Mengutip Intisari, menurut anak DN Aidit, Ilham Aidit, penggambaran ayahnya merokok tidaklah benar.
Namun, majalah Intisari yang terbit pada Maret 1964 berisi keterangan yang sebaliknya.
Intisari yang melakukan wawancara dengan DN Aidit selama dua jam itu menerangkan bahwa tokoh PKI tersebut banyak minum, merokok, dan menikmati secangkir kopi pahit.
Perwira TNI yang menjadi eksekutor Aidit bercerita saat penangkapan Aidit di Solo.
Ada puntung rokok yang sempat dinikmatinya.
Sebelum dieksekusi mati, Aidit juga sempat meminta rokok kepada petugas pemeriksa.
Adegan lainnya yang dipersoalkan adalah mata dicongkel yang dinilai tak sesuai dengan fakta.
Imelda Bachtiar, penulis memor kesejarahan, mewawancarai dr Liem Joe Thay yang kemudian lebih dikenal dengan Prof Arief Budianto, kini telah almarhum, Guru Besar Kedokteran Forensik UI.
Ia salah seorang dokter non-militer yang saat itu diminta bergabung dengan Tim Kedokteran ABRI untuk memeriksa mayat enam perwira tinggi dan satu perwira pertama korban, pada malam 4 Oktober sampai dini hari 5 Oktober 1965.
Bagian terpenting dari wawancara itu yang juga dikutip oleh Julius Pour dalam bukunya Gerakan 30 September, Pelaku, Pahlawan dan Petualang (Penerbit Buku Kompas, 2010) adalah ketika Prof Arief menyatakan:
“Satu lagi, soal mata yang dicongkel. Memang, kondisi mayat ada yang bola matanya copot, bahkan ada yang sudah kontal-kantil.
Tetapi itu karena sudah tiga hari terendam air di dalam sumur dan bukan karena dicongkel paksa.
Saya sampai periksa ulang dengan saksama tapi matanya dan tulang-tulang sekitar kelopak mata. Apakah ada tulang yang tergores? Ternyata tidak ditemukan...”
Agus Surono bertanya pada Prof Arief, mengapa di film ada adegan penyiksaan yang sadis dengan mencungkil bola mata.
“Itu semua tidak ada, pemeriksaan mayat membuktikannya. Film itu kan propaganda Orde Baru,” demikian Prof Arief.
Bagi Anda yang mengalami masa pemerintahan Orde Baru atau sebelum tahun 1998, tentu masih ingat dengan film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI atau lebih dikenal film G30S/PKI.
Poster film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI. Berikut ini link download film G30S/PKI, gratis dan link nonton streaming film G30S PKI di TV One malam ini, Rabu 30 September 2020 jam 21.00 WIB. (Istimewa via Tribunnews)
Sepanjang Orde Baru berkuasa, film ini wajib diputar oleh semua stasiun televisi setiap tanggal 30 September.
Film ini dibuat untuk mengenang peristiwa kelam pembunuhan 6 jenderal dan satu perwira TNI atau yang lebih dikenal sebagai Pahlawan Revolusi.
Penculikan dan pembunuhan 6 jenderal dan 1 perwira itu terjadi pada 30 September malam atau 1 Oktober dini hari pada tahun 1965.
Namun hal itu berubah setelah reformasi. Menteri Penerangan kala itu yang juga merupakan jenderal dari TNI, Letjen Muhammad Yunus Yosfiah memutuskan untuk menghentikan penayangan "film wajib" tersebut.
Yunus mencatatkan diri sebagai orang yang pertama membuat aturan bahwa film Pengkhianatan G30S/PKI tak lagi wajib diputar.
Tapi tahukah Anda selain Letjen TNI Yunus, ada dua tokoh kunci lagi yang berperan di balik dihentikannya penayangan film G30S PKI?
Siapa mereka?
Dari rujukan-rujukan yang diperoleh Imelda Bachtiar, penulis memor kesejarahan, yang dimuat di Intisari, setidaknya ada tiga tokoh sentral yang berperan dalam dihentikannya pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI.
Mereka adalah almarhum Marsekal Udara Saleh Basarah, Menteri Penerangan Yunus Yosfiah, dan Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono.
Majalah Tempo menulis, Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono saat itu mengatakan, ia pernah ditelepon Marsekal Udara Saleh Basarah, Kepala Staf Angkatan Udara KSAU (1973-1977) sekitar bulan Juni-Juli 1998.
"Beliau keberatan karena film itu mengulang-ulang keterlibatan perwira AURI pada peristiwa itu (30 September)," kata Juwono ketika diwawancarai 28 September 2012.
Sebagai menteri pendidikan kala itu, Juwono meminta kepada para ahli sejarah untuk meninjau kembali kurikulum pelajaran sejarah tingkat SMP dan SMA, khususnya yang memuat peristiwa-peristiwa penting.
Supaya informasi yang diperoleh siswa didik lebih berimbang.
Ada pun Menteri Penerangan saat itu, Letjend (Purn) TNI Yunus Yosfiah mengatakan, pemutaran film yang bernuansa pengkultusan tokoh, seperti film Pengkhianatan G30S/PKI, Janur Kuning, dan Serangan Fajar tidak sesuai lagi dengan dinamika Reformasi.
"Karena itu, tanggal 30 September mendatang, TVRI dan TV swasta tidak akan menayangkan lagi film Pengkhianatan G30S/PKI," ujar Yunus seperti ditulis dalam harian Kompas, 24 September 1998.
Memang, pada periode kepemimpinan Presiden Soharto, sebuah film legendaris berjudul Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI atau lazim dikenal dengan nama Pengkhianatan G30S/PKI wajib diputar di seluruh bioskop dan stasiun televisi Tanah Air.
Film produksi Perum Produksi Film Negara (PPFN) tahun 1984 ini disutradari dan ditulis oleh Arifin C Noer.
Kala itu, ia menghabiskan waktu dua tahun untuk memproduksi film yang menghabiskan anggaran Rp 800 juta tersebut.
Setelah selesai, film berdurasi 3 jam itu lalu ditayangkan dan diputar secara terus menerus menjelang peringatan Hari Kesaktian Pancasila selama 13 tahun.
Kemudian, peristiwa reformasi mengubah kembali arah sejarah Bangsa Indonesia.
Selang empat bulan setelah jatuhnya Soeharto, Departemen Penerangan memutuskan tidak lagi memutar film ini.
Arsip pemberitaan Harian Kompas 30 September 1998 menyebutkan, kala itu, Departemen Penerangan beralasan, film ini sudah terlalu sering ditayangkan.
"Karena terlalu sering diputar, filmnya juga sudah kabur," ucap Dirjen RTF Deppen Ishadi SK.
Bahkan Menteri Penerangan Muhammad Yunus Yosfiah berpendapat, pemutaran film yang bernuansa pengkultusan tokoh, seperti film Pengkhianatan G30S/PKI, Janur Kuning, dan Serangan Fajar tidak sesuai lagi dengan dinamika reformasi.
"Karena itu, tanggal 30 September mendatang TVRI dan TV swasta tidak akan menayangkan Lagi Film Pengkhianatan G30S/PKI," ujar Muhammad Yunus seperti dikutip dari Harian Kompas, 24 September 1998.
Selain itu, kalangan seniman, pengamat film, serta artis juga menyuarakan hal serupa.
Menurut pemberitaan Harian Kompas, 2 September 1998, sutradara film Eros Djarot saat itu menolak pemutaran film.
"Film itu sangat tidak perlu diputar," kata Eros.
Hal senada juga digaungkan Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Artis Film Indonesia (PB PARFI) periode 1993-1998, Ratno Timoer.
Ada pula yang menganggap, film ini menyimpan rasa dendam yang tidak menguntungkan.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Mengenal 7 Pahlawan Revolusi Korban Pengkhianatan Gerakan 30 September, Berikut Sejarah Singkat G30S
Artikel ini telah tayang di TribunKaltim.co dengan judul Peringati Hari Kesaktian Pancasila, Inilah 4 Mobil Bersejarah dalam Tragedi G30S/PKI
Artikel ini telah tayang di TribunKaltim.co dengan judul Sejarah Hari Ini, 1 Oktober, Hari Kesaktian Pancasila, Sejumlah Faktanya, Bermula dari Tragedi G30S
Jangan Lupa Like Fanpage Facebook TribunKaltara.com
Follow Twitter TribunKaltara.com
Follow Instagram tribun_kaltara
Subscribes YouTube Tribun Kaltara Official
