Opini
Matinya Nalar Bernegara
Sudah puluhan tahun bangsa ini merdeka, namun kemerdekaan dalam arti sesungguhnya belum dapat dirasakan secara penuh oleh tiap-tiap warga bangsa.
Oleh : Sholihin Bone
Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi Fakultas Hukum (SAKSI),
Anggota Satgas PPKS Universitas Mulawarman
TRIBUNKALTARA.COM - Ada semacam kegamangan dan kekecewaan, ketika melihat prilaku oknum pejabat dan keluarga pejabat yang gandrung mempertontonkan kemewahan, harta, dan segala kenikmatan yang ada pada diri mereka.
Gamang karena posisi mayoritas warga Indonesia masih berada didalam kesulitan hidup dan ekonomi yang menghimpit.
Gamang, karena warga Indonesia mengalami posisi kecewa oleh kelakukan oknum pejabat yang kerap menyalahgunkan kekuasaan (Korup).
Gamang, karena posisi bangsa masih jauh dari kata sejehatera disebabkan ulah oknum pejabat yang kadang abai dalam usaha mensejahterakan rakyat.
Gamang, karena kekayaan bangsa hanya dinikmati oleh segelintir orang yang punya keistimewaan dan jabatan-jabatan politik yang mereka emban.
Dari sekian banyak kegamangan dan kekecewaan yang dirasakan oleh publik, kemudian memunculkan pertanyaan didalam relung hati terdalam.
Masih adakah nalar bernegara di kalangan para pejabat di Tanah Air ?
Ataukah nalar bernegara mereka telah mati ? dimatikan oleh “keserekahan”, intrik, dan keinginan untuk memperkaya diri dan keluarga dari jalan yang menyimpang, serta bertentangan dengan kepatutan, moralitas dan hukum tentunya.
Titik kegamangan dan kekecewaan publik tidak berhenti sampai di situ, kekecewaan publik kemudian diperparah dengan gonjang ganjing 300 T yang terjadi disalah satu kementerian RI.
Kabar yang sangat luar biasa dan sangat menghina nalar publik tentunya, ketika uang 300 T yang diduga ada indikasi TPPU kemudian berujung pada ketiadaan sikap kstaria dari pemagku kepentingan untuk menuntaskannya.
Terksesan ada upaya untuk menuntup-nutupi skandal tersebut.
Bagi publik, ini mesti diklarifikasi secara jelas dan mesti ada pihak yang harus bertanggung jawab.
Mereduksi Kemerdekaan
Sudah puluhan tahun bangsa ini merdeka, namun kemerdekaan dalam arti sesungguhnya belum dapat dirasakan secara penuh oleh tiap-tiap warga bangsa.
Saban tahun, kita memperingati kemerekaan. Namun, peringatan kemerdekaan tersebut hanya rutinitas yang belum memberikan makna terdalam didalam perjalanan bangsa ini.
Saya kira kita akan bersepakat, bahwa kemerdekaan tidak menghendaki penjajahan, kemerdekaan tidak mengendaki “keserakahan”, kemerdekaan tidak mengendaki intrik negatif dalam mengemban kekuasaan, kemerdekaan tidak menghendaki penumpukan kekayaan yang hanya bisa dirasakan oleh segelintir orang dan penguasa, kemerdekaan tidak menghendaki otoritarian, kemerdekaan tidak mengendaki adanya praktik korup dan penyalahgunaan kekuasaan.
Singkatnya, kemerdekaan harus mewujud dalam bentuk tindakan konkrit yang dijangkarkan pada aras kebaikan dan kesejahteraan warga bangsa.
Menelaah berbagai soal yang menyelimuti perjalanan bangsa ini, menunjukan bahwa nilai kemerdekaan tidak totalitas diperjuangkan oleh para pemangku kekuasaan. '
Dalam menjalankan kekuasaan, ternyata mereka lupa substansi pembukaan, mereka alpa menerjemahkan konstitusi, mereka meremahkan cita-cita bernegara yang telah diukir dan dititipkan oleh para pendiri bangsa.
Baca juga: Sambangi Universitas Mulawarman, Bupati Ibrahim Ali Jalin Kerjasama dengan Fakultas Kedokteran
Kesederhanaan
Membincangkan problematika bernegara, menarik jika kita merefleksi kembali cara hidup Bung Hatta didalam mengemban kekuasaan.
Dalam catatan sejarah, dikisahkan bahwa Bung Hatta merupakan prototipe sederhana ketika memegang kekuasaan sebagai Wakil Presiden.
Ada kisah yang sangat menarik dari perjalanan tokoh revolusi ini, di dalam mempraktekan nilai-nilai kesederhanaan.
Dalam memegang kekuasaan, Bung Hatta sangat berhati-hati dalam menggunakan uang Negara, uang Negara betul-betul digunakan untuk kelancaran pekerjaannya, sementara untuk menghidupi pribadi dan keluarganya, Bung Hata betul-betul menggunakan uang yang memang Haknya dan didapat dari hasil yang bersih.
Tidak hanya itu, Bung Hatta juga sangat berhati-hati dalam menggunakan barang atau fasilitas dari Negara.
Mobil Dinas misalnya, Bung Hatta hanya menggunakan untuk kepentingan pekerjaannya, tidak untuk digunakan oleh keluarganya.
Satu hal yang paling menarik terjadi pada tahun 1950-an, ketika Bung Hatta membaca surat kabar, di dalam surat kabar tersebut, ada iklan sepatu kulit Bally, iklan tersebut digunting dan disimpan, beliau, yang kemudian dijadikan motivasi untuk menabung, agar Bung Hatta mampu membelinya.
Namun, hingga Bung Hatta pensiun atau semasa menjabat sebagai Wakil presiden, keinginan untuk membeli sepatu kulit Bally juga tak pernah terealisasi.
Padahal, sangat mudah bagi Bung Hatta untuk memilki Sepatu Kulit Bally tersebut, mengingat posisi Bung Hatta sebagai wakil Presiden pada saat itu.
Pada akhitnya, Bung Hatta mengurungkan niat untuk memilikinya, bapak bangsa itu lebih memilih dan mementingkan hidup yang sederhana.
Dalam kisah yang lain, pasca Bung Hatta Pensiun sebagai Wakil Presiden, kehidupan ekonomi Bung Hatta memburuk, sampai-sampai Bung Hatta tidak mampu membeli kopi, gula, hingga membayar listrik.
Bung Hatta lantas menulis surat kepada Gubernur DKI Jakarta yang pada waktu itu dijabat oleh Ali Sadikin, inti surat tersebut adalah, agar semua tagihan listriknya dipotong langsung dari uang pensiunnya sebagai Wakil Presiden.
Pasca kejadian tersebut, Gubernur Ali Sadikin merasa sangat prihatin setelah melihat tingginya tagihan listrik terhadap keluarga Bung Hatta, sementara uang pensiun setiap bulan yang akan diterima oleh Bung Hatta sangatlah kecil.
Pada waktu itu, Gubernur Ali Sadikin, mengambil keputusan untuk menanggung biaya listrik dan air keluarga Bung Hatta.
Atas sikap tersebut, keluarga Bung Hatta menyambut gembira atas tindakan yang dilakukan oleh Gubernur Ali Sadikin. (Diolah dari (inews.id). )
Begitulah sosok keteladanan Bung Hatta dalam menerjemahkan kesederhanaan hidup sebagai pejabat (Wakil Presiden).
Beliau lebih mementingkan kesederhanaan, Bung Hatta telah memberikan keteladanan yang luar biasa berarti didalam kehidupannya.
Beliau, telah meletakaan pondasi hidup yang mesti terus diteladani oleh para pemangku kepentingan di negara ini.
Dalam pemahaman sederhana penulis, Bung Hatta, selama memegang jabatan, mampu merawat nalar bernegaranya, nalar bernegaranya tetap hidup dalam lanskap kekuasaan.
Pada akhirnya, di tengah “kacaunya” Negara ini, oleh praktik-praktik korup dan penyalahgunaan kekuasaan, di tengah kegamangan, kekecewaan dan tercederainya suasana kebatinan warga bangsa, oleh ulah pejabat dan keluarga pejabat, yang gemar mempertontonkan kemewahan, fasilitas yang ada pada diri mereka, maka sudah waktunya pemangku kepentingan di negara ini, membaca , mengingat ulang dan meneladani sosok Bung Hatta dalam menjalankan kekuasaan.
Hal tersebut penting, agar nalar bernegara mereka kembali hidup dan bekerja semaksimal mungkin bagi kebaikan dan kemaslahatan rakyat.
Tentu, kita semua menginginkan dan merindukan pejabat yang sederhana dan berpihak pada semua warga bangsa.
(*)
Join Grup Telegram Tribun Kaltara untuk mendapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari. Caranya klik link https://t.me/tribunkaltaracomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Jangan Lupa Like Fanpage Facebook TribunKaltara.com
Follow Twitter TribunKaltara.com
Follow Instagram tribun_kaltara
TikTok tribunkaltara.com
Follow Helo TribunKaltara.com
Subscribes YouTube Tribun Kaltara Official
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kaltara/foto/bank/originals/sholihin-bone-peneliti-pusat-studi-anti-korupsi-fakultas-hukum-saksi-universitas-mulawarman.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.