Opini
BI Rate Respons Guyuran Likuiditas Pemerintah
Penulis menilai trerjadi perubahan dari mazhap pro stabilitas (stability) ke pertumbuhan (growth).
Oleh: Dr. Margiyono
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Borneo Tarakan
TRIBUNKALTARA.COM - Heboh!!. Bukan hanya isu demo. Tetapi 2 minggu terakhir perekonomian Indonesia juga dihebohkan oleh perubahan kebijakan. Penulis menilai trerjadi perubahan dari mazhap pro stabilitas (stability) ke pertumbuhan (growth). Periode Menteri Keuangan Ibu Sri Mulyani ekonomi Indonesia lebih diarahkan kepada penciptaan stabilitas, melalui upaya pengendalian inflasi.
Kebijakan itu cukup berhasil. Namun sempat membuat kaget, saking takutnya pada inflasi yang terjadi malah deflasi. Akhirnya pemerintah mencoba menaikan kembali daya beli melaui subsidi listrik. Betul, ada dampaknya meski tidak terlalu signifikan.
Upaya penciptaan stabilitas itu terlihat melalui berbagai aspek. Misalnya pengelolaan kas negara yang tidak diletakan pada sistem keuangan. Menurunkan potensi inflasi dari permintaan, melalui instrumen pajak. Berbagai kebijakan itu berhasil menjaga inflasi berada dibawah 3 persen.
Upaya itu diperkuat oleh upaya meyakinkan masyarakat bahwa, untuk mencapai pertumbuhan penting menciptakan stabilitas. Logis. Selama 10 tahun terakhir memang pertumbuhan ekonomi kita lebih sering berada pada tingkat 5 % . Memang, termasuk tinggi jika dibandingkan negara ASEAN yang lain.
Setelah pergantian Menkeu, Pak Purbaya menyampaikan bahwa, Indonesia punya potensi tumbuh lebih tinggi. Beliau Optimis bisa berada pada 6 % . Bahkan bisa 8 % . Argumentasi yang disampaikan bahwa, posisi pertumbuhan 5 % selama ini lebih dipengaruhi oleh keterbatasan likuiditas.
Mengikuti logika Pak Menkeu, keterbatasan likuiditas akan mendorong bunga pasar menjadi lebih tinggi dari yang seharusnya. Implikasinya penyaluran kredit menjadi terbatas. Sehingga peningkatan kapasitas produksi dan pertumbuhan ekonomi menjadi tidak maksimal.
Kini paradigma itu diubah menjadi “banjir likuiditas”. Besarnya guyuran hingga mencapai 200 triliun. Jika jumlah uang beredar peride Juni 2025 sekitar 2.955,13 trilyun maka suntikan dana pemerintah hampir mendekati 7 % . Tepatnya 6,7 % .
Uang sebanyak itu kini diletakkan pada sistem keuangan. Terutama di bank-bank milik pemerintah. Pertanyaanya adalah, apakah bank BUMN mampu menyalurkan suntikan likuiditas itu pada perekonomian?. Kita tunggu sambil ngopi, hasil kinerjanya hingga akhir tahun.
Potensi Risiko Banjir likuiditas
Banyaknya likuiditas memang akan menambah jumlah uang beredar. Ahli moneter Fisher menyatakan bahwa, kenaikan 1 % jumlah uang beredar akan menaikkan 1 % inflasi. Istilah itu dikenal (one by one). Efek berantainya adalah akan mendorong kenaikan 1 % tingkat bunga.
Memahami realitas ini, benarkah kenaikan likuiditas di perbankan serta merta mendorong meningkatnya angka inflasi?. Masih menggunakan teori Fisher, jika jumlah uang beredar pada Juni 2025 sebesar 2.955,13 triliun. Kemudian inflasi bulan yang sama adalah sebesar 1,87 % (yty).
Maka suntikan likuiditas sebesar 200 triliun, terjadi kenaikan sekitar 6,7 % jumlah uang yang beredar. Menggunakan logika Fisher maka, resiko tertinggi inflasi masih moderat. Itu pun terjadi jika seluruh uang itu terserap tidak berdampak pada kenaikan output. Jika uang yang diserap bisa mendorong penambahan barang dan jasa maka inflasi bisa dinetralisir.
Karena, inflasi hanya akan terjadi jika pertumbuhan uang lebih tinggi dibanding pertumbuhan barang dan jasa. Makin kecil gap pertumbuhan uang dengan barang dan jasa maka makin rendah pula potensi inflasi.
Likuiditas Perekonomian Indonesia: Pertumbuhan M2 yang Menggembirakan |
![]() |
---|
Sekolah: Harapan Terakhir atau Sumber Masalah dalam Pemberantasan Korupsi? |
![]() |
---|
Persepsi Negatif terhadap Organisasi Kemasyarakatan |
![]() |
---|
Menciptakan Ruang Aman dari Kekerasan dan Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampus, Suatu Refleksi |
![]() |
---|
Kepala Daerah itu Bukan Pejabat Partai |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.