Berita Tarakan Terkini

Begini Kronologi Kasus Tipikor Libatkan Mantan Wawali Tarakan, Bermula dari Pembelian Lahan

Dimulai dari membeli lahan Kantor Kelurahan Karang Rejo inilah Mantan Wawali Tarakan Khaeruddin Arief Hidayat ikut terlibat kasus tipikor.

|
Penulis: Andi Pausiah | Editor: Junisah
TRIBUNKALTARA.COM/ ANDI PAUSIAH
Kasi Intel Kejaksaan Negeri Tarakan, Harismand (kanan) bersama dengan JPU Dewantara Wahyu Pratama, SH (kiri baju hitam) saat diwawancarai media. 

TRIBUNKALTARA.COM, TARAKAN - Kejaksaan Negeri Tarakan menjabarkan bagaimana kronologi kasus tipikor menyeret mantan Wawali Tarakan, Khaeruddin Arif Hidayat (KAH).

Dikatakan Kasi Intel Kejaksaan Negeri Tarakan, Harismand bersama dengan JPU Dewantara Wahyu Pratama, SH, semua bermula saat Khaeruddin Arief Hidayat menjabat Wawali Tarakan periode 2014-2019 berpasangan dengan Wali Kota terpilih saat itu yakni Sofian Raga.

Tahun 2014 saat itu diterangkan Dewantara Wahyu Pratama, ada panti asuhan di bawah yayasan dan KAH berstatus sebagai penasihat yayasan saat itu.

Kemudian tahun 2016 bersama pemilik yayasan melakukan deal pembelian tanah yayasan dan satu rumah milik cucu pemilik panti.

"Pembelian saat itu seharga Rp 1 miliar tapi pembayaran tidak dalam bentuk uang semuanya dan ada dalam bentuk mobil satu jenis Yaris untuk cucu bernama Oktominingsih," terang Dewantara Wahyu Pratama.

Baca juga: Lapas Tarakan Tegaskan Tak Ada Perlakuan Spesial Bagi Mantan Wawali Tarakan, Hukuman 3,6 Tahun

Kemudian ada dalam bentuk umrah untuk beberapa tenaga pengajar santri di yayasan. Kemudian panti asuhan membangun panti baru lagi dengan nilai Rp600 juta.

"Deal lah di situ tapi enggak hitam di atas putih. Karena kan si punya panti lihat Pak Wawali adalah tokoh.

Lalu pada tahuh 2015 pemilik panti mengajukan persidangan intinya si Pak KAH menyuruh Lurah Karang Rejo mengajukan perluasan lahan Kantor Kelurahan Karang Rejo," terang Dewantara Wahyu Pratama.

Selanjutnya, Kantor Kelurahan Karang Rejo berada tepat di samping panti asuhan bersama.

Kemudian mantan Wawali Tarakan saat itu menginstruksikan Lurah mengajukan proposal di 2015.

Setelah pengajuan proposal, lurah bolak balik prosesnya. Kemudian saat proses pengajuan, bersamaan ada dari Pemkot ajukan tim aprasial tanah.

Kemudian ada pertemuan di Bandara Makassar antara KAH dengan terdakwa satu Hariyono. Dari sisi kedekatan Haryono sama-sama satu kader parpol.

"Di Bandara Makassar, ngobrol di sana sampaikan jual beli tanah KAH memakai nama Haryono. Oleh Haryono menyampaikan amankah dan diyakinkan KAH aman saja.

Akhirnya Haryono juga mau dan mulailah proses membeli tanah panti asuhan dari pemilik kepada Haryono.

Yang urusin semua ajudan Pak Arif, bukan Pak Arif secara langsung. Ajudan uruskan ke notaris dan semuanya," paparnya.

Baca juga: Dieksekusi Penjara, Mantan Wawali Tarakan jadi Atensi KPU Kaltara di Pleno Penetapan DCT Pemilu 2024

Saat proses pengajuan proposal itu lanjut Dewantara, tanah dan panti masih atas nama pemilik panti asuhan kemudian setelah proses berjalan, balik nama ke notaris dan menjadi milik Haryono.

"Tanah panti asuhan atas nama Jamiah itu, nominal di jual beli seingat saya Rp300 juta dan satu lagi yang cucunya Rp100 juta. Deal, selesai.

Pas pengajuan tim aprasial itu turun ke lapangan, proposal berjalan. Lurah saat itu juga mengeluarkan pengumuman tanah siapa saja yang mau mengajukan pembebasan lahan dan akhirnya kalau tidak salah empat orang yang ikut ajukan pembebasan lahan.

Ada saksi termasuk dua tanah dari panti asuhan, bersama cucu dan Haryono, dia ajukan pembebasan lahan dua tanahnya secara formil," terangnya.

Setelah semua diajukan, tim aprasial saat penilaian tanah, tidak sesuai SOP dari MABI. Tertuang dalam fakta persidangan. Dan ada sanksi administrasi terkait penilaiannya.

"Intinya Pak Sudarto sebagai Tim Aprasial yang harusnya dia mengkroscek langsung menanyakan semua terkait tanah siapa saja,tapi dia menyuruh lupa namanya siapa, cobalah kau cek siapa yang jual tanah di daerah Karang Rejo.

Kasihlah Rp50 ribu. Dapatlah infor lapor tanah ini sekian harganya sekian dan oleh Pak Sudarto tidak diklarifikasi lagi, itu saja dia pakai nilai itu. Dan nominal turunkan Rp2,7 miliar," paparnya.

Akhirnya dari anggaran Rp 2,7 miliar dilaporkan padahal sebelumnya senilai Rp 4,9 miliar. Sesuai prosedur dinilainya sah pembebasan lahan ternyata ada pengkodisian sebelumnya.

Setelah deal sudah dibayarkan ke Haryono, Haryono mengambil uang bank disetorkan ke Pak KAH dan mengambil cas ke Banklatimtara dan ada saksi melihat mengantar ke rumah KAH.

Kesalahan Haryono secara sadar. secara materil itu lahan bukan milik Haryono walau secara formil itu milik Haryono.

"KAH menggunakan Haryono karena mungkin khawatir dicurigai. Pada prinsipnya pembebasan lahan dari Pemkot pasti lebih mahal, di situlah muncul kasusnya. Pak Haryono dengan sadar juga, Pak Sudarto itu juga dari Aprasial tidak nengkroscek," paparnya.

Terpidana tipikor KAH saat tiba di Lapas Kelas IIA Tarakan saat memakai rompi usai dijemput di kediamannya oleh pihak Kejaksaan Negeri Tarakan, Senin (30/10/2023).
Terpidana tipikor KAH saat tiba di Lapas Kelas IIA Tarakan saat memakai rompi usai dijemput di kediamannya oleh pihak Kejaksaan Negeri Tarakan, Senin (30/10/2023). (FOTO ISTIMEWA / ARIEF)

Di fakta persidangan penyidik lakukan pembanding, di tahun 2017 dilakukan perhitungan harga lahan pembebasan lahan didapatkan harganya lebih turun.

"Logikanya kalau setiap tahun kecenderungan harga naik, termasuk harga pohonnya. Kemudian masuk persidangan masuk PN Tipikor Samarinda dan terbukti. Kaltara belum ada PN Tipikor.

Semua ada termuat di SIPP PN Samarinda dari tingkat pertama, tingkat kedua dari Majelis Hakim di tingkat banding merrka anggap jual beli itu sah secara hukum dan terbebas saat putusan banding. Kejaksaan kembali lakukan upaya hukum kasasi," paparnya.

Yang memberatkan di kasasi sehingga KAH kalah, membahas putusan tingkat pertama. Karena kasasi, membahas mengkanter putusan banding bebas.

Secara umum saat itu dinilai perkara perdata namun pihaknya sebagai JPU bidang tipikor ranahnya adalah bidang bersifat publik.

"Publik diutamakan dari privat jadi ini bukan ranah perdata tapi pidana. Jadi kita tidak serta merta lihat hitam di atas putih, harus lihat sebelum itu ada apa. Putusan MA terbukti berdasarkan ajuan kasasi JPU," paparnya.

Ia menambahkan, jika KAH ingin mengajukan PK ia menilai memungkinkan saja namun tidak bisa serta merta megajukan PK karena secara umum inkrah di tingkat kasasi.

"Kalau sampai PK kan istilahnya di hukum upaya hukum luar biasa dan syaratnya harus ada alat bukti dan kalau semisal yang bersangkutan mengajukan alat bukti baru yang bisa mempengaruhi putusan signifikan, monggo saja," tukasnya.

(*)

Penulis: Andi Pausiah

 

Sumber: Tribun Kaltara
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved