Jejak Islam di Kaltim

Islam Masuk Lewat Kutai Lama, Perjuangan Datuk Tunggang Parangan Adu Kesaktian Berujung Syahadat

Jejak Islam masuk ke Kalimantan Timur kali pertama lewat Kerjaan Kutai Lama, berkat perjuangan Datuk Tunggang Parangan adu kesaktian berujung syahadat

Editor: Sumarsono
Tribun Kaltim
Islam kali pertama masuk ke Kerajaan Kutai diyakini melalui daerah yang kini disebut Desa Kutai Lama, Kecamatan Anggana, Kabupaten Kutai Kartanegara. 

TRIBUNKALTARA.COM - Jejak Islam masuk ke Kalimantan Timur kali pertama lewat Kerjaan Kutai Lama, berkat perjuangan Datuk Tunggang Parangan adu kesaktian berujung syahadat.

Datuk Tunggang Parangan dikisahkan beradu kesaktian melawan Raja Mahkota, pemimpin Kerajaan Kutai ketika itu.

Adu kesaktian konon berlangsung selama 4 babak yang semuanya dimenangkan Tunggang Parangan.

Setelahnya  Raja Mahkota menepati janjinya, mengucap dua kalimat syahadat di bawah bimbingan Tunggang Parangan.

Islam kali pertama masuk ke Kerajaan Kutai diyakini melalui daerah yang kini disebut Desa Kutai Lama, Kecamatan Anggana, Kabupaten Kutai Kartanegara.

Hal tersebut terasa masuk akal karena dahulu wilayah ini adalah pusat pemerintahan dari Kerajaan Kutai Kartanegara sebulum berpindah ke Tenggarong

Dari pusat kota yakni ibu kota Provinsi Kalimantan Timur, Samarinda, berjarak sekitar 30 kilometer.

Tim Tribunkaltim.co mencoba menelusuri jejak Islam di Kerajaan Kutai, tepat makam mubaligh yang dikenal pertamakali menyiarkan Islam, yaitu Datuk Tunggang Parangan.

Baca juga: Polri Lakukan Revitalisasi Situs Budaya dan Keagamaan di Museum dan Masjid Kesultanan Bulungan

Di situ juga ada makam Islam yang ditemukan yakni Raja Kutai ke-6 dan 7 bernama Aji Raja Mahkota Mulia Alam serta anaknya yaitu Aji Dilanggar.

Makam ketiganya berada dalam satu kawasan, tetapi berbeda tempat.

Makam Tunggang Parangan berada di kawasan yang kini menjadi permukiman warga Desa Kutai Lama,.

Sementara dua Raja Kutai yang telah memeluk Islam abad ke-16 sampai 17 terletak tak jauh sekitar 200 meter di atas bukit yang tak terlalu tinggi.

Lembaga Adat Bulungan Kabupaten Malinau menampilkan sejarah kesultanan Bulungan melalui Pentas Seni dab Budaya di Panggung Kesenian Malinau, Kalimantan Utara, Kamis (23/2/2023).
Lembaga Adat Bulungan Kabupaten Malinau menampilkan sejarah kesultanan Bulungan melalui Pentas Seni dab Budaya di Panggung Kesenian Malinau, Kalimantan Utara, Kamis (23/2/2023). (TRIBUNKALTARA.COM/ MOHAMMAD SUPRI)

Kain kuning khas dari Kerajaan Kutai di kompleks makam Raja juga nampak, serta membalut pusara terakhir keduanya. 

Menurut Dosen Ilmu Sejarah Islam Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris (UINSI) Samarinda, Samsir, dirinya tidak tahu kapan persisnya Islam masuk ke Kutai Kartanegara.

Namun Kerajaaan Kutai Kartanegara sebagai kerajaan terbesar menaruhkan pengaruh dalam syiarnya.

"Jika berbicara (masuknya Islam) di Kaltim, tidak tahu tahun persisnya, namun berbicara Kutai Kartanegara, masuknya Islam diterima Raja ke-6 yaitu Raja Mahkota Mulia sekitar abad ke-17.

Sejarahnya tak lepas dari Tuan Tunggang Parangan, serta dua nama yakni Datuk Ditiro dan Datuk Ri Bandang," kata Samsir.

Baca juga: Teatrikal Raja Berangkat, Edukasi Sejarah Kesultanan Bulungan Lewat Teater dan Musikalisasi

Penulis buku berjudul Islam dan Kebudayaan Kerajaan Kutai Kartanegara menuturkan, Kutai Lama sebagai tempat melakukan hubungan dengan pihak luar, tetapi juga mempengaruhi karakteristik masyarakat.

Meskipun Kutai di pedalaman, tetapi masih dapat berhubungan dengan orang luar karena sungai Mahakam sering dilalui oleh para pedagang.

Adapun penetapan tahun, Islam resmi sebagai agama kerajaan juga terdapat kontroversi dari para pakar sejarah.

Dalam bukunya, Samsir menjelaskan versi Oemar Dahlan menyebutkan bahwa Islam diterima di Kutai pada tahun 1607 masa pemerintahan Raja Mahkota (1545-1610). 

Sedang menurut Kementerian Penerangan menyebutkan bahwa Islam masuk ke Kutai 1525-1600. Versi lain seperti Eiseinberger 1565-1605, dan Rabithah Alawiyah 1724.

Namun semua sepakat Islam masuk ke Kutai Kartanegara di masa pemerintahan Raja Mahkota.

Konon, Raja Mahkota penguasa Kerajaan Kutai Kartanegara dikisahkan  mempunyai kesaktian luar biasa  Karena kesaktiannya, di sepanjang pantai tanjung Mangkaliat hingga daerah Kutai Lama mendapat ketentraman hidup para penduduknya.

Tunggang Parangan yang seorang mubaligh membawa seruan, mengajak raja, keluarga dan rakyatnya untuk memeluk agama Islam.

Tetapi dengan syarat sebelum Raja Mahkota dapat menerima dengan baik, penuh keikhlasan agama Islam, ada adu kesaktian antara keduanya.

Syarat dapat diterima oleh Tunggang Parangan, yakni adu kesaktian.

Baca juga: Kisah Dakwah Dua Habib Terkemuka di Malinau, Sejarah Syiar Islam Abad ke-19 Masa Kerajaan Tidung

"Hal ini dilakukan untuk memenuhi permintaan Raja Mahkota, namun disepakati bahwa apabila Raja Mahkota kalah, beliau akan mengucapkan dua kalimah syahadat (masuk Islam).

Tetapi apabila Tuan Tunggang Parangan yang kalah bersedia untuk mengabdi kepada Kerajaan," kata Samsir.

Adu kesaktian, konon berlangsung selama 4 babak yang ke semuanya dimenangkan Tunggang Parangan.

Berarti Raja Mahkota harus menepati janjinya, untuk mengucap dua kalimat syahadat di bawah bimbingan Tunggang Parangan.

Sementara, sejarawan, Muhamad Sarip juga menjelaskan terkait awal masuknya Islam Kutai Lama dalam bukunya "Kerajaan Martapura dalam literasi sejarah Kutai 400-1635".

Dalam Bab V Kemunduran Dinasti Mulawarman, dijelaskan juga bahwa pada tahun 1575, seorang mubaligh atau juru dakwah Islam datang di Tepian Batu, Kutai Lama.

Rakyat Kutai Kartanegara menyambutnya dengan sikap terbuka dan tanpa penolakan.

Mubaligh tersebut yakni Tuan Tunggang Parangan, membawa misi religius yang berbeda dengan ajaran yang sudah dianut masyarakat setempat yaitu hindu corak lokal.

Dalam manuskrip Arab Melayu, yang ditulis pada abad ke-19 oleh juru diskus Kesultanan Kutai, Tunggang Parangan diwartawakan datang sebagai penyebar Islam pertama di tanah Kutai, yang mana wilayah ini merupakan Kerajaan terbesar di Pantai Timur Kalimantan.

Menurut analisis ilmuwan, tahun kedatangan Tunggang Parangan yakni sekitar 1575 atau tiga perempat abad ke-16 Masehi. 

"Tunggang Parangan berdakwah ke Kutai Lama setelah sebelumnya mengislamkan penduduk Makassar," ucap Sarip.

Masjid Besar An'nur dulunya disebut Masjid Jami', merupakan salah satu Masjid Tertua di Malinau. Masjid ini merupakan sejarah syiar Islam sekaligus hubungan baik Habib Abdurrahman dan Raja Tidung, Panembahan Aji Kuning pada akhir Abad ke-19 di Malinau, Kalimantan Utara, Sabtu (9/12/2023).
Masjid Besar An'nur dulunya disebut Masjid Jami', merupakan salah satu Masjid Tertua di Malinau. Masjid ini merupakan sejarah syiar Islam sekaligus hubungan baik Habib Abdurrahman dan Raja Tidung, Panembahan Aji Kuning pada akhir Abad ke-19 di Malinau, Kalimantan Utara, Sabtu (9/12/2023). (TRIBUNKALTARA.COM/ MOHAMMAD SUPRI)

Dalam bukunya, Sarip menjelaskan bahwa Tunggang Parangan tidak sendiri datang ke wilayah Kutai. Ia ditemani Datuk Ri Bandang, berlayar dari Makassar.

Sarip juga menuliskan kedua mubaligh ini merupakan asal Minangkabau.

Alkisah, Datuk Ri Bandang tidak menemani Tunggang Parangan berdakwah di Kutai karena mendengar masyarakat Makassar yang baru Islam kembali murtad (kembali kepada kepercayaannya asal).

"Datuk Ri Bandang tak sempat bertemu Raja Mahkota, ia kembali ke Makassar untuk tugas dakwah," terang Sarip.

Mengenai dakwah Islam di Kutai Lama, setidaknya ada proses yang bernuansa mitologis ketika Raja Kutai adu kesaktian dengan Tuan Tunggang Parangan.

Menurut Sarip, secara harfiah, pola cerita tersebut serupa dengan riwayat metode dakwah yang mengutamakan unsur karamah, mukjizat, atau keajaiban.

Meski demikian, cerita tekstual tersebut dapat diinterpretasikan sebagai cara dakwah yang terjadi melalui dialog secara egaliter.

Adu kesaktian tersebut juga bermakna perdebatan nalar atau dialektika yang akhirnya dimenangkan Tunggang Parangan.

Sehingga, Raja Mahkota sukarela memeluk Islam

"Raja pun diajarkan tata cara salat. Tunggang Parangan juga menggelar kajian agama, mengajarkan Rukun Islam, rukun iman dan bacaan doa-doa serta zikir.

Baca juga: Tari Jepen Massal Sambut Tahun Baru Islam 2023, Tokoh Masyarakat Beber Ciri Khas Tarian di Malinau

Segenap keluarga dan punggawa istana serta rakyat Kutai Kertanegara turut menjadi muslim," jelas Sarip.

Sementara Ketua Adat Kutai Lama, Abdul Munir sang penjaga situs resmi makam Tunggang Parangan, Aji Raja Mahkota Mulia Alam dan Aji Dilanggar juga menceritakan Islam di Kerajaan Kutai Kartanegara.

Bahwa dari cerita versi kutai kuno menurut nenek moyangnya, 5 Raja Kutai Kartanegara sebelumnya belum diketahui terkait keislamannya.

Jika diurutkan, Aji Batara Agung Dewa Sakti merupakan raja pertama (1300-1325), kemudian raja kedua yakni Aji Batara Agung Paduka Nira (1325-1360).

Ketiga Aji Maharaja Sultan (1360-1420), keempat Aji Raja Mandarsyah (1420-1475), lalu Aji Pangeran Tumenggung Bayabaya (1475-1545).

Barulah pada masa Aji Raja Mahkota Mulia (1545-1610) dan anaknya Aji Dilanggar (1610-1635), Islam mulai menyebar ke berbagai tanah kekuasaan Kerajaan Kutai Kartanegara.

Abdul Munir, juga mengungkapkan di Desa Kutai Lama memang tidak ditemukan bangunan istana selain terdapat makam peninggalan bercorak Islam yang diyakini ialah makam dari Tunggang Parangan dan dua raja Kutai yang telah memeluk Islam. (*/Mohammad Fairoussaniy)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved