Jejak Islam di Kaltim

Kisah Tunggang Parangan, Pembawa Islam Pertama ke Kutai, Dapat Gelar dari Kerajaan Kutai Kartanegara

Kisah terkait sosok Tunggang Parangan punya banyak versi dengan cerita yang terus jadi legenda dari mulai kedatangannya ke Kerajaan Kutai Kartanegara.

Editor: Sumarsono
Tribun Kaltim/Dwi Ardianto
Makam Tunggang Parangan, pedakwah Islam ke Kutai ini punya banyak versi dengan cerita yang terus jadi legenda dari mulai kedatangannya ke Kerajaan Kutai Kartanegara hingga proses melakukan dakwahnya. 

TRIBUNKALTARA.COM - Banyak versi yang menyebut siapa sesungguhnya nama asli Tunggang Parangan, pembawa ajaran Islam pertama ke Kutai, Kalimantan Timur.

Namun dari banyak cerita tak ada yang menyangsikan keberaniannya, bahkan gelar yang diberikan Kerajaan Kutai Kartanegara tak lepas dari sikapnya yang pantang mundur saat berdakwah .

Kisah terkait sosok Tunggang Parangan punya banyak versi dengan cerita yang terus jadi legenda dari mulai kedatangannya ke Kerajaan Kutai Kartanegara hingga proses melakukan dakwahnya.

Mubaligh atau juru dakwah Islam ini dikenal melalui literatur, penelitian hingga cerita rakyat sebagai orang yang pertama mengislamkan Raja Kutai pada abad ke-16 atau 17 Masehi.

Tim Tribunkaltim.co mencoba menelusuri siapa ulama yang bergelar Tuan Tunggang Parangan ini dari berbagai sumber keterangan beberapa pakar sejarah.

Dosen Ilmu Sejarah Islam Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris (UINSI) Samarinda, Samsir, membenarkan sepanjang penelitian ditemukan kesepakatan di masyarakat bahwa ulama yang pertama kali membawa Islam di Kutai adalah seorang mubaligh yang bergelar Tunggang Parangan.

Beliau berhasil meyakinkan Aji Raja Mahkota Mulia dari kerajaan Kutai untuk masuk Islam.

Baca juga: Islam Masuk Lewat Kutai Lama, Perjuangan Datuk Tunggang Parangan Adu Kesaktian Berujung Syahadat

Lebih lanjut, Samsir menuliskan ada beberapa versi tentang Tunggang Parangan.

Dalam bukunya berjudul Islam dan Kebudayaan Kerajaan Kutai Kartanegara dijelaskan ada tiga versi terkait sosok Tunggang Parangan.

Versi pertama menurut masyarakat setempat bahwa yang dimaksud Tunggang Parangan adalah Syekh Abdurahman Al Idrus ( Datuk Tiro ).

Hal tersebut berdasarkan makalah dari Dahlan Syahrani, bejudul Sejarah Masuknya Islam di Kalimantan Timur.

Sementara versi kedua menurut Mattulada bahwa Datuk Di Tiro adalah Abd Jawad.

Islam kali pertama masuk ke Kerajaan Kutai diyakini melalui daerah yang kini disebut Desa Kutai Lama, Kecamatan Anggana, Kabupaten Kutai Kartanegara.
Islam kali pertama masuk ke Kerajaan Kutai diyakini melalui daerah yang kini disebut Desa Kutai Lama, Kecamatan Anggana, Kabupaten Kutai Kartanegara. (Tribun Kaltim)

Versi ketiga menurut Rabithah Alawiyah, Tuan Tunggang Parangan adalah Habib Hasyim bin Musayya bin Yahya.

Beliau disebut merupakan ulama yang datang dari Negeri Matan, sekarang dikenal Ketapang ( Kalimantan Barat ) bersama sahabatnya Datuk Ri Bandang.

Mereka telah lama menetap di Sulawesi Selatan, dan dua orang temannya yaitu Khatib Sulaiman dan Khatib bungsu ( Datuk Di Tiro ).

Dari Sulawesi Habib Hasyim bin Yahya ( Tunggang Parangan ) bersama Datuk Ri Bandang melanjutkan misinya (berdakwah Islam) menuju Kalimantan Timur yakni Kutai Kartanegara.

Dari ketiga pendapat mengemukakan bahwa Tuan Tunggang Parangan adalah mubaligh yang telah berhasil mengislamkan Sulawesi kemudian ke Kutai.

Sedang perbedaan nama asli, hal biasa bagi para mubaligh dalam menyiarkan agama Islam biasa memberikan nama atau ciri khas tersendiri.

Baca juga: Tari Jepen Massal Sambut Tahun Baru Islam 2023, Tokoh Masyarakat Beber Ciri Khas Tarian di Malinau

Namun demikian, lanjut Samsir bila melihat versi ketiga, mendekati kebenaran.

Alasannya, bila Datuk Ditiro yang mengislamkan Kutai Kartanegara dan sampai wafat di wilayah tersebut.

Sedangkan Datuk Ditiro menurut masyarakat Bulukumba, Sulawesi Selatan, meyakini bahwa makam yang ada di Bonto Tiro (Bulukumba) juga adalah makam Datuk Ditiro.

"Jadi informasinya makam Datuk Ditiro ada di Bulukumba, mendekati kebenaran jika beliau bukan Tunggang Parangan," ujarnya.

Makam Tunggang Parangan sendiri hingga kini dan dijaga sebagai situs sejarah di Desa Kutai Lama, Kecamatan Anggana, Kutai Kartanegara.

Disana juga terletak makam Raja yang menerima secara langsung diislamkan oleh Tunggang Parangan, yakni Aji Raja Mahkota Mulia  dan anaknya Aji Dilanggar.

Sementara, Ketua Adat Kutai Lama, Abdul Munir juga memberi penjelasan terkait Tunggang Parangan, yang disebutnya bahwa nama asli beliau belum diketahui hingga kini.

Tunggang Parangan merupakan gelar yang diberikan oleh Kerajaan Kutai.

Baca juga: Polri Lakukan Revitalisasi Situs Budaya dan Keagamaan di Museum dan Masjid Kesultanan Bulungan

Dari cerita nenek moyang Tunggang Parangan dia masuk seorang diri membawa parang tajam, sehingga inilah filosofi gelar tersebut.

Saat datang ke Tepian Batu, Dusun Jahitan Layar yang kini dikenal sebagai Desa Kutai Lama, Kecamatan Anggana ini, Tunggang Parangan menemui Raja Mahkota pada abad ke-16.

"Di zaman itu khususnya Kerajaan Kutai, nama Tunggang Parangan ialah gelar, namanya belum diketahui, hanya mengetahui sebagai muslim, pihak kerajaan melihat apa yang diyakini Tunggang Parangan," ungkapnya.

Dari kerajaan dan masyarakat, ikut memeluk agama yang dianjurkan Tunggang Parangan setelah melalui dakwah.

Jika ditelusuri, melalui leluhur yang bercerita, kata Abdul Munir, memang pasti banyak perbedaan dalam menyampaikannya.

Tetapi, sepengetahuan apa yang telah disampaikan turun temurun, Tunggang Parangan mengajarkan salat, mengaji, yasinan, itu lah yang diajarkan Tunggang Parangan sesuai ajaran Rasulullah SAW.

Baca juga: Pentas Seni dan Budaya di Malinau, Menampilkan Cerita Sejarah Kesultanan Bulungan

Data yang valid terkait wafatnya Tunggang Parangan juga belum diketahui, hanya makam beliau memang ditemukan di Kutai Lama.

Tunggang Parangan diperintah oleh keturunannya dari Yaman, termasuk ada andil Dato Ri Bandang yang menunjukkan jalan untuk melakukan dakwah di Kerajaan Kutai, sebelum akhirnya Dato Ri Bandang kembali ke Sulawesi.

"Yang memerintah (dakwah) keturunan-keturunan beliau dari Yaman, Tunggang Parangan sampai wafat di sini dan tidak pernah berkomunikasi lagi dengan Dato Ri Bandang," kata Abdul Munir. (*/Mohammad Fairoussaniy)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved