Jejak Islam di Kaltim
Masjid Shiratal Mustaqiem, Kisah Pendirian 4 Tiang dan Syiar Islam di Samarinda
Masjid Shiratal Mustaqiem, Samarinda atau sering disebut sebagai masjid tua ini merupkan bukti sejarah syiar Islam di Kalimantan Timur.
TRIBUNKALTARA.COM – Masjid Shiratal Mustaqiem, Samarinda atau sering disebut sebagai masjid tua ini merupkan bukti sejarah syiar Islam di Kalimantan Timur.
Di balik bentuk bangunannya yang masih kokoh, Masjid Shiratal Mustaqiem menyimpan cerita unik di balik pendirian 4 tiang utama saat awal pembangunan
Dalam sejarah Kesultanan Kutai ada sebuah bangunan masjid di Ibu Kota Provinsi Kalimantan Timur yang memiliki nilai penting dalam jejak syiar Islam di Kota Samarinda.
Masjid tersebut dikenal dengan masjid tua atau Masjid Shiratal Mustaqiem yang memiliki makna jalan lurus.
Bangunan yang berdiri di Jalan Pangeran Bendahara, Kelurahan Mesjid, Kecamatan Samarinda Seberang tersebut bukan sekadar bangunan tua yang dikenang hanya karena sejarahnya.
Masjid ini senantiasa dimakmurkan menjadi pusat kegiatan masyarakat hingga saat ini sejak berdiri 133 tahun yang lalu, demikian ujar H Sofyan, pengurus Masjid Shiratal Mustaqiem.
Baca juga: Sosok Syekh Abu Thalhah, Diutus Sebarkan Islam Bersama 4 Saudara di Tanah Kutai
Dari masjid yang didirikan seorang ulama bernama Habib Abdurachman bin Muhammad Assegaf atau Pangeran Bendahara ini, syiar Islam dimulai di Kota Samarinda.
Dikisahkan Sofyan, adapun Pangeran Bendahara adalah nama gelar yang diberikan kepada Habib Abdurachman bin Muhammad Assegaf oleh Sultan Aji Muhammad Sulaiman yang bertahta kala itu.
Ia diangkat menjadi pemimpin atau kepala di kawasan Samarinda Seberang pada tahun 1880.

Sebagai tokoh masyarakat, Habib Abdurachman bin Muhammad Assegaf ingin mengubah kawasan yang sebelumnya dikenal sebagai "kampung maksiat" menjadi Kampung Masjid.
Awal pembangunan masjid tua yakni mendirikan 4 tiang utama, dimana Habib Abdurachman dibantu warga sekitar.
Tiang yang lebih dikenal sebagai soko guru itu disumbangkan oleh empat tokoh, yakni Kapitan jaya, Pettaloncong, dan Lusulunna, serta Habib Abdurachman sendiri.
"Sebelum masjid berdiri, lokasi ini merupakan tempat maksiat. Judi, sabung ayam, minuman keras dan lain sebagainya.
Siang dan malam masyarakat seperti itu. Beliau (tekun) berdakwah dengan lemah lembut, pelan-pelan, artinya hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, tahun berganti, Allah SWT memberikan kesadaran kepada masyarakat ini untuk bertaubat, setelah itu semua dipikul oleh Habib Abdurrahman Assegaf," kata Sofyan.
Baca juga: Perjalanan Dakwah Pangeran Noto Igomo, Menyebarkan Agama Islam Sembari Membuka Perkebunan
"Masyarakat setuju, dan masing-masing mencari bahan untuk keperluan masjid untuk 4 pilar masjid yang bakal didirikan bangunan," sambungnya.
Keempat tiang soko guru merupakan sumbangan dari para tokoh adat, diawali satu tiang dari Habib Abdurachman didatangkan dari Dondang.
Kemudian tiang kedua, Lusulunna dari Gunung Lipan. Disusul tiang ketiga sumbangan dari Petta Loloncang berasal dari Sungai Kapih.
Terakhir tiang keempat dari Kapitan Jaya didatangkan dari Samarinda seberang sendiri.
Pada tahun 1881 masjid mulai dibangun, meliputi luas bangunan sekitar 625 meter persegi dan lahan seluas 2.028 meter persegi.
Pembangunan masjid diceritakan Sofyan memakan waktu sekitar 10 tahun.
Setelah material siap termasuk 4 tiang yang akan menjadi pilar utama, kata Sofyan, pendirian masjid belum bisa terlaksana di bawah komando Habib Abdurachman.

Konon, para pekerja kala itu kesulitan mendirikan 4 tiang utama masjid.
Tiang berbahan kayu ulin setinggi 14 belas meter dengan diameter 80 sentimer itu tak kunjung bisa berdiri.
Banyak masyarakat tak mampu mengangkat dan menanamkan tiang utama, berkali-kali percobaan dilakukan, tetap saja gagal.
Permulaan pendirian 4 tiang yang jadi pilar utama, masyarakat sekitar masjid hingga kini percaya pada kisah yang turun-temurun tentang adanya sosok yang membantu pendirian masjid.
Sofyan bertutur kepada Tim Tribunkaltim.co soal kisah dibalik pendirian masjid kuno ini.
"Ketika setelah semua siap, dari pagi hingga petang, masyarakat yang berkumpul tak bisa mendirikan 4 tiang utama.
Menjelang maghrib ada sosok berpakaian putih menyerupai orang tua, nenek-nenek, mengucapkan salam pada Habib Abdurachman dan lainnya, kemudian bertanya ada apa ramai-ramai, yang kemudian dijawab akan mendirikan masjid," jelas Sofyan.
Nenek tersebut kemudian mengutarakan niat ingin membantu pendirian masjid, yang kemudian di tertawakan oleh masyarakat sekitar.
Baca juga: Masjid Tertua di Tarakan, Jami Nurul Islam jadi Saksi Sejarah Perang Dunia Masa Penjajahan Belanda
Sikap berbeda ditunjukkan Habib Abdurachman yang meminta masyarakat tak pandang remeh orang tua renta tersebut.
"Siapa tahu ada keramat dari orang tua ini, silahkan jika beliau sanggup. Karena dari pagi hingga petang tak sanggup mendirikan 4 pilar utama kata Habib Abdurachman," ungkap Sofyan.
Atas persetujuan Habib Abdurachman, nenek tersebut diberikan kewenangan dalam pembangunan masjid.
Tetapi nenek tersebut mengajukan dua syarat agar Habib Abdurachman dan masyarakat sekitar lokasi pembangunan masjid menaatinya.
"Dua syarat yakni, pertama waktunya (pengerjaan) di malam hari, kedua tidak boleh ada yang melihat pembangunan ini, akan gagal jika ada yang melihat (mengintip). Habib Abdurachman mengimbau agar masyarakat tak keluar rumah," tukasnya.
Setelah itu, masyarakat pun patuh pada apa yang disampaikan Habib Abdurachman agar menjalankan dua persyaratan yang diajukan sosok nenek tersebut, hingga waktu yang ditentukan, yakni setelah salat subuh.
Baca juga: Raja Aji Dilanggar, Ulama Sekaligus Umara Penyebar Agama Islam di Wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara
Dan yang membuat kaget, 4 pilar utama berdiri menjulang, membuat masyarakat kaget dan takjub.
"Selepas subuh, masyarakat (berbondong-bondong) mendatangi lokasi pembangunan masjid. Alhamdulillah berdiri (tiang/pilar utama) ini.
Dicari oleh masyarakat nenek tersebut, sudah tidak ada lagi (menghilang).
Jadi berdiri masjid tahun 1881, karena serba manual menggunakan alat tradisional akhirnya 10 tahun baru selesai semua (pembangunan masjid) pada tahun 1891," tutur Sofyan. (*)
Penulis : Ary Nindita Intan R S
Baca juga berita Tribun Kaltara lainnya di Google News
Batu Indra Giri, Penanda Hubungan Diplomatik Masuknya Islam di Paser, Kalimantan Timur |
![]() |
---|
Al Quran Tulisan Tangan Asli Khatib Muhammad Saleh, Jejak Penyebaran Islam di Paser |
![]() |
---|
Masjid Jami Darul Ibadah, Saksi Bisu Perkembangan Islam di Ujung Selatan Kalimantan Timur |
![]() |
---|
Sosok Datu Bejambe, Leluhur Tokoh Penyebar Agama Islam di Paser |
![]() |
---|
Makam Kuno Bertuliskan Arab Jejak Syiar Islam di Desa Pasir Mayang |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.