Jejak Islam di Kaltim

Sosok Pangeran Bendahara, Ulama yang Mampu Ubah ‘Kampung  Maksiat’ jadi Kampung Masjid

Ada kisah panjang dari perjalanan dakwah Pangeran Bendahara, termasuk mengubah wilyah yang dulunya dikenal sebagai tempat maksiat menjadi agamis.

Editor: Sumarsono
Tribun Kaltim/Dwi Ardianto
Masjid Shiratal Mustaqiem atau masjid tua di kawasan Samarinda Seberang, Kota Samarinda. Masjid ini merupakan peninggalan Pangeran Bendahara, seorang ulama yang mengubah kawasan maksiat menjadi kawasan yang agamis. 

TRIBUNKALTARA.COM - Sosoknya dikenal sebagai penggagas berdirinya Masjid Shiratal Mustaqiem atau masjid tua di Samarinda Seberang, Kota Samarinda, Kalimantan Timur.

Di balik pendirian masjid tersebut, ada kisah panjang dari perjalanan dakwah Pangeran Bendahara, termasuk mengubah wilyah yang dulunya dikenal sebagai tempat maksiat menjadi agamis.

Dialah sosok Habib Abdurachman bin Muhammad Assegaf dikenal juga dengan nama Pangeran Bendahara.

Dirinya adalah salah satu ulama dan penyebar Islam di Kerajaan Kutai Kartanegara.

Mendapat kepercayaan dari Sultan Kutai untuk berdakwah di wilayah yang kini masuk dalam kawasan  Samarinda Seberang. 

Salah satu peninggalan beliau yang sampai saat ini masih kokoh berdiri adalah Masjid Shiratal Mustaqiem atau masjid tua yang juga menjadi saksi syiar Islam di Samarinda.

Baca juga: Masjid Shiratal Mustaqiem, Kisah Pendirian 4 Tiang dan Syiar Islam di Samarinda

Dikisahkan H Sofyan yang juga pengurus Masjid Shiratal Mustaqiem, sosok Pangeran Bendahara adalah nama gelar yang diberikan kepada Habib Abdurachman bin Muhammad Assegaf oleh Raja Kutai ke-17 Sultan Aji Muhammad Sulaiman (1850-1899).

Ketekunan Habib Abdurachman bin Muhammad Assegaf dalam menjalankan syariat Islam ditanggapi Sultan Aji Muhammad Sulaiman yang kemudian memberi amanah kawasan Samarinda Seberang menjadi pusat dakwah sang ulama.

Tiang-tiang utama yang menopang Masjid Shiratal Mustaqiem di Samarinda, tiang-tiang ini sendiri disebut merupakan salah satu yang masih asli semenjak masjid ini pertama dibangun sekitar tahun 1891. 
Tiang-tiang utama yang menopang Masjid Shiratal Mustaqiem di Samarinda, tiang-tiang ini sendiri disebut merupakan salah satu yang masih asli semenjak masjid ini pertama dibangun sekitar tahun 1891.  (Tribun Kaltim/Dwi Ardianto)

Ia diangkat menjadi Kepala Adat di kawasan Samarinda Seberang pada tahun 1880 dan diberi gelar Pangeran Bendahara.

"Pangeran Bendahara diberi gelar kesultanan Kutai. Sejarah bangunan ini dimulai pada tahun 1876 datang ke Samarinda.

Habib Abdurachman bin Muhammad Assegaf seorang ulama dari Kalimantan Barat merupakan seorang muslim yang taat, meminta izin kepada Sultan Aji Muhammad Sulaiman untuk berdakwah di wilayah ini, Alhamdulillah kemudian diizinkan," kata Sofyan.

Sebagai tokoh masyarakat, Habib Abdurachman bin Muhammad Assegaf ingin mengubah kawasan yang sebelumnya dikenal sebagai "kampung maksiat" menjadi kampung masjid.

Dukungan dari masyarakat juga didapatkan setelah ia mendakwah di sekitar area lokasi yang akan dibangun masjid.

Baca juga: Perjalanan Dakwah Pangeran Noto Igomo, Menyebarkan Agama Islam Sembari Membuka Perkebunan

Keberhasilan dakwah Habib Abdurachman atau Pangeran Bendahara membuatnya mendapat sokongan melancarkan niat dakwah dan mensyiarkan agama islam.

Pendirian masjid digagas oleh Habib Abdurachman bin Muhammad Assegaf atau Pangeran Bendahara menandai syiar islam dimulai di Kota Samarinda.

Beberapa nama tokoh sentral mengikuti jejak Habib Abdurachman untuk belajar Islam, yang akhirnya juga ikut andil menyumbangkan material bahan bangunan masjid.

Habib Mubarak, salah seorang keturunan langsung Pangeran Noto Igomo berada di makam ulama besar Kesultanan Kutai awal bulan Maret 2024 lalu.
Habib Mubarak, salah seorang keturunan langsung Pangeran Noto Igomo berada di makam ulama besar Kesultanan Kutai awal bulan Maret 2024 lalu. (Tribun Kaltim/Dwi Ardianto)

Awal pembangunan masjid tua yakni mendirikan 4 tiang utama, dimana Habib Abdurachman dibantu warga sekitar.

Tiang yang lebih dikenal sebagai soko guru itu disumbangkan oleh empat tokoh, yakni Kapitan Jaya, Pettaloncong, dan Lusulunna, serta Habib Abdurachman sendiri.

"Sebelum masjid berdiri, lokasi ini merupakan tempat maksiat. Judi, sabung ayam, minuman keras dan lain sebagainya.

Siang dan malam masyarakat seperti itu. Beliau (tekun) berdakwah dengan lemah lembut, pelan-pelan, artinya hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, tahun berganti, Allah SWT memberikan kesadaran kepada masyarakat ini untuk bertaubat, setelah itu semua dipikul oleh Habib Abdurrahman Assegaf," ungkap Sofyan.

"Masyarakat setuju, dan masing-masing mencari bahan untuk keperluan masjid untuk 4 pilar masjid yang bakal didirikan bangunan," sambungnya.

Keempat tiang soko guru merupakan sumbangan dari para tokoh adat, diawali satu tiang dari Habib Abdurachman didatangkan dari Dondang.

Baca juga: Raja Aji Dilanggar, Ulama Sekaligus Umara Penyebar Agama Islam di Wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara

Kemudian tiang kedua, Lusulunna dari Gunung Lipan. Disusul tiang ketiga sumbangan dari Petta Loloncang berasal dari Sungai Kapih.

Terakhir tiang keempat dari Kapitan Jaya didatangkan dari Samarinda seberang sendiri.

"Masjid mulai dibangun tahun 1881 menyimpan sejarah peradaban Islam, serta memiliki makna mendalam bagi masyarakat Muslim saat itu, hingga sampai saat ini," pungkas Sofyan.

 (*/tribunkaltim)

Baca berita menarik lainnya Tribun Kaltara di Google News

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved