Jejak Islam di Kaltim

Orang Kepercayaan Sultan Dipilih Jadi Arsitek Masjid Jami Adji Amir Hasanudin

Meski berusia lebih dari satu abad, Masjid Jami Adji Amir Hasanudin masih kokoh berdiri, konon desian masjid ini dirancang orang kepercayaan Sultan.

Editor: Sumarsono
Tribun Kaltim/Dwi Ardianto
Meski berusia lebih dari satu abad, Masjid Jami Adji Amir Hasanudin masih kokoh berdiri, konon desian masjid ini dirancang oleh orang kepercayaan Sultan. 

TRIBUNKALTARA.COM - Meski berusia lebih dari satu abad, Masjid Jami Adji Amir Hasanudin masih kokoh berdiri, konon desian masjid ini dirancang oleh orang kepercayaan Sultan.

Struktur bangunan utamanya mayoritas berbahan ulin, komoditas khas hutan Kalimantan yang terkenal kekokohannya.

Masjid Jami Adji Amir Hasanudin menjadi warisan jejak sejarah dari peninggalan Kesultanan Kutai Kartanegara yang masih bisa dilihat, bahkan dapat dikunjungi.

Masjid tersebut berdiri satu kompleks dengan Kedaton Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.

Tepatnya berada di persimpangan Jalan Monumen Timur dan Jalan Mayjen Sutoyo, Tenggarong, Kutai Kartanegara.

Masjid yang berada di jantung Kota Raja ini memiliki sejarah panjang dalam perkembangan syiar Islam di Tanah Kutai.

Baca juga: Masjid Jami Adji Amir Hasanuddin, Warisan Sultan Kutai Saksi Perjalanan Syiar Islam di Kukar

Masjid Jami Adji Amir Hasanudin dibangun sejak zaman kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura ke-17 di bawah kepemimpinan Sultan Adji Muhammad Sulaiman sekitar tahun 1874 Masehi.

Konon, 16 tiang kayu ulin yang ada dalam masjid tersebut digunakan sebagai tiang saka yang hendak digunakan sebagai alat untuk proses ritual adat pemandian “menduduskan” Putra Mahkota Aji Penggeuk yang akan naik tahta.

 Namun sayangnya, sebelum ritual pemandian dilakukan, Putra Mahkota Aji Penggeuk justru meninggal dunia.

Masjid Jami Adji Amir Hasanudin atau yang dulu dikenal dengan Masjid Sultan dikunjungi Tribun Kaltim akhir Februari 2024 kemarin. Masjid yang sudah berusia lebih dari satu abad ini menjadi saksi perjalanan syiar islam di Kutai Kartanegara.
Masjid Jami Adji Amir Hasanudin atau yang dulu dikenal dengan Masjid Sultan dikunjungi Tribun Kaltim akhir Februari 2024 kemarin. Masjid yang sudah berusia lebih dari satu abad ini menjadi saksi perjalanan syiar islam di Kutai Kartanegara. (Tribun Kaltim/Dwi Ardianto)

Selang sekian waktu, kayu ulin tersebut akhirnya digunakan untuk proses peletakan batu pertama pembangunan masjid.

Pada 1874 waktu subuh itulah mulai pertama rakyat bergotong royong mendirikan masjid.

Pengurus Masjid Jami Adji Amir Hasanudin, Muhammad Maidy menerangkan bangunan masjid tersebut bentuknya menyerupai masjid yang ada di Demak.

Ketika dibangun, diarsiteki orang kepercayaan Kesultanan Kutai. Didirikan dengan gaya rumah lokal dan pengaruh budaya Melayu pada 1930.

Dengan atapnya yang bertumpang tiga, kemudian bagian puncak atapnya berbentuk limas segi lima serupa joglo.

Baca juga: Masjid Shiratal Mustaqiem, Kisah Pendirian 4 Tiang dan Syiar Islam di Samarinda

Struktur bangunan utamanya mayoritas berbahan ulin, komoditas khas hutan Kalimantan yang terkenal kekokohannya.

Bangunan menara yang masih tampak berdiri kokoh terbangun di samping masjid, dengan desain simple.

Tak lupa, tempat wudhu yang juga dibuat dengan atap limas bertumpang dua yang terlihat menyatu dengan bangunan masjid.

Masjid Jami Adji Amir Hasanudin memiliki luas area bangunan 50 x 50 meter per segi dengan kapasitas dapat menampung sekitar 1.000 jamaah.

Masjid Shiratal Mustaqiem atau masjid tua di kawasan Samarinda Seberang, Kota Samarinda. Masjid ini merupakan peninggalan Pangeran Bendahara, seorang ulama yang mengubah kawasan maksiat menjadi kawasan yang agamis.
Masjid Shiratal Mustaqiem atau masjid tua di kawasan Samarinda Seberang, Kota Samarinda. Masjid ini merupakan peninggalan Pangeran Bendahara, seorang ulama yang mengubah kawasan maksiat menjadi kawasan yang agamis. (Tribun Kaltim/Dwi Ardianto)

Sementara jika menghitung luas sampai di halaman depan masjid bisa menampung sekitar 1.600 jamaah.

Dari pintu masuk, sebanyak 19 buah pintu dengan tinggi sekitar 2,5 meter berwarna krem khas, kemudiam 16 tiang utama penyangga langit-langit yang terbuat dari ulin.

Dibangun berjejer dengan dasar keramik klasik berwarna khas, adapun dinding luarnya berlapis cat putih yang tiap tepinya diberi aksen hijau tua.

Masuk ke dalam masjid, mata kita akan dimanjakan dengan ruangan yang luas dan tampak klasik.

Lengkap dengan beberapa bagian bangunan masjid yang masih asli seperti mihrab, mimbar dan juga tiang soko gurunya.

Meski usia bangunannya sudah memasuki satu setengah abad atau hampir 150 tahun, masjid tersebut masih menjadi sentra kegiatan ibadah dan keagamaan warga setempat.

Baca juga: Masjid Shiratal Mustaqiem, Kisah Pendirian 4 Tiang dan Syiar Islam di Samarinda

Terlebih, kontruksi dari bangunan masjid tersebut masih relavan dengan gaya arsitektur yang khas.

“Beberapa kali dilakukan pemugaran, tapi tidak mengurangi arsitekturnya dari awal. Karena masjid ini masuk di dalam cagar budaya," kata Maidy,

Di dalam pengurusan masjid sendiri, Maidy menuturkan tidak ada kegiatan khusus yang dilakukan didalam masjid selain hari-hari besar keagamaan dan sholat berjamaah.

“Kecuali hari Jumat malam Sabtu, itu kita mengadakan pengajian rutin mingguan di sini. Biasanya jadwalnya setelah shalat mahgrib berjamaah, pengajian tentang fiqih hari-hari dan lain sebagainya,” ulasnya.

Sementara untuk aktivitas di bulan Ramadan, Masjid Jami Adji Amir Hasanudin rutin mengadakan buka puasa bersama. Diselingi sebuah kegiatan yakni kuliah 7 menit.

Biasanya, kegiatan tersebut dilakukan sebelum shalat tarawih dan dilanjutkan pelaksanaan shalat tarawih berjamaah.

Baca juga: Pemkab Bulungan Hibahkan Mobil Jenazah untuk Masjid Kasimuddin Tanjung Palas, Syarwani Titip Pesan

Selain itu, kegiatan lainnya selama bulan Ramadan ialah juga terdapat kegiatan kuliah dzuhur dan juga kuliah subuh yang pembahasan materinya tergantung dari sang Penceramah.

“Kuliah dzuhur itu dimulai dari hari Senin sampai dengan hari Kamis, kemudian Jumat itu Khatib, dan untuk Sabtu dan Minggu libur kegiatan di masjid.

Kalau kuliah subuh itu seminggu sekali, setelah shalat subuh,” pungkas Maidy. (*)

Penulis : Ary Nindita Intan R S

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved