Berita Bulungan Terkini

Mengenal Prosesi Pekiban, Perkawinan Adat Bagi Kaum Bangsawan Dayak Kenyah: Libatkan Semua Kampung

Ingkong Ala menyampaikan maksud dan tujuan digelarnya prosesi adat Pekiban atau perkawinan adat Dayak Kenyah di perkawinan keponakannya.

Penulis: Edy Nugroho | Editor: M Purnomo Susanto
TribunKaltara.com
Ingkong Ala, bersama keluarga dari pasangan Johan Nathaniel Ega dan Elva Waniza, pada prosesi pernikahan adat Pekiban Dayak Kenyah, Jumat (24/05/2024). 

TRIBUNKALTARA.COM, TANJUNG SELOR - Mewakili pihak keluarga mempelai wanita, Ingkong Ala menyampaikan maksud dan tujuan digelarnya prosesi adat pekiban atau perkawinan adat Dayak Kenyah antara anak keponakannya, Eva Waniza dengan Johan Nathaniel Ega, Jumat (24/05/2024).

Dibeberkan, kedua mempelai sebelumnya telah menjalani prosesi pernikahan kudus secara agama Kristen di Jawa Tengah, berikut juga resepsinya.

Namun kedua mempelai beda adat dan budaya ini, merasa tidak lengkap jika tidak melaksanakan perkawinan adat/pekiban di tempat keluarga mempelai perempuan untuk melengkapi prosesi perkawinan adat.

"Dari itu, maka kedua mempelai sepakat mengundang kita semua untuk mengikuti dan memberi doa restu dalam acara pekiban atau perkawinan adat yang kita laksanakan pada hari ini," kata Ingkong yang merupakan saudara dari Ibau Ala, ayah dari mempelai wanita.

Baca juga: Buat Penumpang Nyaman, Pemkab Bulungan Kaltara Rencana Lakukan Peremajaan Dermaga Pelabuhan Kayan II

Pekiban ataun perkawinan adat, kata Ingkong yang kini menjabat sebagai wakil bupati Bulungan itu, merupakan budaya tradisi perkawinan adat dayak kenyah yang telah berlansung dari dulu (zaman nenek moyang) sampai sekarang.

Diuraikan, tradisi pekiban merupakan perkawinan adat bagi kalangan suku bangsa dayak kenyah. Biasa dilaksanakan bagi kaum bangsawan atau dikenal dengan istilah da’ ta’ u atau Paren atau orang terpandang di kalangan masyarakat Dayak Kenyah.

"Tradisi dulu sampai sekarang pelaksanaan budaya pekiban ini melibatkan semua masyarakat kampung atau desa dalam satu wilayah kepala adat besar," jelasnya.

Pekiban atau perkawinan adat yang melibatkan para sesepuh adat dalam semua rangkaian proses
kegiatan. Tak hanya itu, selama prosesi pekiban menggunakan beberapa simbol dan peralatan adat.

Di antaranya, sebut Ingkong yang juga merupakan Ketua Lembaga Adat Dayak Kenyah (LADK) Kaltara ini, ada lampit atau tikar rotan. Yang melambangkan tikar tempat kedua mempelai duduk bersama, menyatukan hati melaksanakan musyawarah merencanakan menyelesaikan semua permasalahan keluarga.

Yang kedua ampit atau rantai besi, yang merupakan tali pengikat menyatukan kedua keluarga yang sangat kuat tidak dapat dipisahkan.

Peralatan adat lainnya, adalah 2 buah taweq atau gong tempat kedua mempelai duduk sebagai singgasana yang kuat dan kokoh.

Kemudian ada sua pok atau parang hias yang merupakan alat yang digunakan untuk membuka dan merintis jalan kehidupan dan memotong semua penghalang keluarga mempelai menuju suatu keluarga yang harmonis dan bahagia.

Peralayan tradisional selanjutnnya ada tajau atau tempayan, yang melambangkan tempat semua keluarga dan kedua mempelai bersatu hati hidup rukun aman dan damai.

Lainnya, ada Taweq atau gong sebagai atap besi yang sangat kuat melindungi kedua mempelai dari terik matahari hujan, ganguan lainnya.

Terakhir menggunakan air penyeleng air kehidupan yang berfungsi membersihkan diri dan kehidupan keluarga kedua mempelai.

Seperti diketahui, prosesi adat pekiban digelar di Gedung Pesparawi Tanjung Selor, Bulungan, Kalimantan Utara (Kaltara), Jumat (24/05/2024).

Tampak kedua pihak keluarga pasangan pengantin, yakni dari pihak pria (Ega) ada ayahanda, Irjen Pol Daniel Adityajaya yang kini sebagai Kapolda Kaltara. Kemudian dari pihak putri, ads Kepala Adat Besar Apau Kayan, Ibau Ala masing-masing bersama keluarganya.

Hadir sejumlah pejabat di Kaltara. Termasuk Gubernur Kaltara Zainal A Paliwang yang juga mengikuti prosesi pernikahan adat ini dari awal hingga akhir.

Dengan mayoritas mengenakan pakaian adat dayak kenyah, ratusan warga turut memadati Gedung Pesparawi untuk menyaksikan langsung prosesi adat ini.

Prosesi Pekiban diawali dengan penjemputan mempelai perempuan oleh mempelai laki-laki bersama rombongan.

Setelah penjemputan, kedua mempelai beserta rombongan menuju gedung Pesparawi, melalui rute dari Jl Sengkawi, Jl Katamso, Jl Pahlawan dan Jl Kolonel Soetadji.

Setibanya di Gedung Pesparawi, upacara diawali dengan serah terima “SUA FA” atau sebilah parang sebagai wujud keseriusan calon mempelai laki-laki.

Prosesi pekiban yang dipimpin oleh tua-tua kampung dengan peran khusus yang disebut  “Pengulo” adat pekiban. 

Turut mengiringi juga arak-arakan hudoq. Yaitu sekelompok orang mengenakan topeng dan properti lainnya menyerupai karakter yang menakutkan.

Dalam pelaksanaan upacara adat pernikahan Pekiban, juga disediakan property Tempayan sebagai lambang kesatuan hati, Batu Jala/Batu Ampit tidak terpisahkan, tikar atau Pat bermakna mengutamakan musyawarah untuk duduk bersama menyelesaikan masalah yang terjadi.

Baca juga: Detik-detik Peringatan Tri Suci Waisak di Tanjung Selor Bulungan, Umat Buddha Siapkan Lilin dan Air

Kemudian ada Sua Fa atau sebilah parang mengambarkan untuk membersihkan jalan kedua mempelai antar keluarga mempelai, untuk memotong penghambat yang akan merusak hubungan kekeluargaan keluarga besar mempelai laki-laki dan perempuan.

Memulai pekiban kedua mempelai dipersilakan oleh pemimpin upacara adat untuk duduk pada gong kecil/tawek dan bersama-sama memegang parang dan sambil menginjak parang berikutnya sebagai komitmen dalam sebuah ikatan perkawinan yang sah.

Ingkong mengatakan, dari prosesi ini diyakini juga sebagai sarana untuk melihat masa depan kedua mempelai, baik atau banyak rintangan yang akan dihadapi.

(*)


Penulis: Edy Nugroho

Sumber: Tribun Kaltara
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved