Berita Nasional Terkini
Gerindra dan PDIP Saling Sindir soal Kenaikan PPN 12 Persen: Kalau Menolak Kenapa Tidak dari Dulu?
Dua partai besar di DPR RI, Partai Gerindra dan PDI-P saling sindir soal kenaikan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN 12 persen diberlakukan mulai 2025.
TRIBUNKALTARA.COM, JAKARTA – Dua partai besar di parlemen, Partai Gerindra dan PDI-P saling sindir soal kenaikan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN 12 persen yang akan diberlakukan mulai 1 Januari 2025.
Ketua Panitia Kerja ( Panja ) RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan ( RUU HPP ) dari Fraksi PDI-P, Dolfie Othniel Frederic Palit, buka suara usai disindir Partai Gerindra soal kenaikan tarif PPN 12 persen.
Dolfie mengakui, kenaikan tarif PPN dari 11 menjadi 12 persen mulai 2025 memang merupakan amanat dari UU HPP.
Dolfie menegaskan, kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen sudah termaktub dalam usulan RUU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang diusulkan pemerintahan Joko Widodo ke DPR RI.
Sebagai informasi, RUU KUP belakangan berganti nama menjadi RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan ( RUU HPP).
Baca juga: Tolak Kenaikan PPN 12 Persen, BEM se Indonesia Ancam Demo Serentak, Pengusaha pun Ketar-ketir
Dolfie kala itu menjadi Ketua Panja RUU HPP. " RUU HPP merupakan UU inisiatif pemerintahan Jokowi yang disampaikan ke DPR pada 5 Mei 2021," kata Dolfie, Minggu (22/12).
"Seluruh fraksi setuju untuk melakukan pembahasan atas usul inisiatif pemerintah atas RUU HPP," sambungnya.
Selanjutnya, RUU ini dibahas bersama antara pemerintah dengan DPR RI melalui Komisi XI.
Dalam pembahasannya, sejumlah kontroversi sempat mengemuka.

Selain tentang kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen, perluasan objek pajak yang dikenai PPN, termasuk di antaranya sembako, juga menjadi perbincangan hangat ketika itu.
RUU HPP kemudian disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada 7 Oktober 2021.
"Delapan fraksi, PDI-P, Partai Golkar, Partai Gerindra, Nasdem, PKB, Demokrat, PAN, dan PPP, menyetujui UU HPP, kecuali fraksi PKS," kata Dolfie.
Dalam paparan Dolfie, PKS menolak RUU HPP karena tidak sepakat rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen.
Menurutnya, kenaikan tarif akan kontra produktif dengan proses pemulihan ekonomi nasional.
Baca juga: Kenaikan PPN 12 Persen, GAPKI Kaltara Nilai akan Berdampak Mengurangi Aktivitas Ekonomi Kecil
"Sementara fraksi PDIP menyetujui karena RUU memperhatikan aspirasi pelaku UMKM dengan tetap berkomitmen bahwa bahan pokok yang dibutuhkan masyarakat, jasa pendidikan, jasa kesehatan, transportasi darat, keuangan, dibebaskan dari pengenaan PPN," ucap Dolfie.
Ia pun mengakui, kenaikan tarif PPN dari 11 menjadi 12 persen mulai 2025 memang merupakan amanat dari UU HPP.
Akan tetapi, ia menegaskan, Presiden RI Prabowo Subianto sebetulnya dimungkinkan untuk menetapkan penurunan tarif PPN, bahkan lebih rendah dari 11 persen.
"Pemerintah dapat mengusulkan perubahan tarif tersebut dalam rentang 5-15 persen, bisa menurunkan maupun menaikkan.
Sesuai Pasal 7 ayat (3) UU HPP, pemerintah dapat mengubah tarif PPN di dalam UU HPP dengan persetujuan DPR," kata Dolfie.
Hal itu, kata Dolfie, didasarkan pertimbangan bahwa kenaikan atau penurunan tarif PPN sangat bergantung pada kondisi perekonomian nasional.
"Oleh karena itu, pemerintah diberi ruang untuk melakukan penyesuaian tarif PPN, naik atau turun," tegas dia.
Kini, setelah pemerintahan Prabowo memutuskan tarif PPN tetap naik ke angka 12 persen, ada sejumlah pekerjaan rumah yang harus menjadi perhatian pemerintah menurut Dolfie.
"Pertama, kinerja ekonomi nasional (harus) semakin baik.
Kedua, pertumbuhan ekonomi berkualitas. Ketiga penciptaan lapangan kerja.
Keempat, penghasilan masyarakat meningkat. Kelima, pelayanan publik yang semakin baik," jelasnya.
Baca juga: Optimisme Ekonomi Kalimantan Utara Pasca Pilkada Serentak 2024 dan Kebijakan PPN 12 Persen
Politisi Partai Gerindra Heran
Sejumlah elite Partai Gerindra meledek balik PDI-P yang mulai melayangkan kritik terhadap keputusan pemerintah menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, misalnya, mengaku heran karena kursi Ketua Panja RUU HPP dijabat oleh kader PDI-P sendiri.
Saras mengungkit bahwa ketika rancangan beleid itu dibahas di DPR dalam RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP).
PDI-P merupakan fraksi yang mendapatkan jatah kursi ketua panitia kerja (panja) melalui kadernya, Dolfie Othniel Frederic Palit.
"Itulah kenapa saya heran saat ada kader PDI-P berbicara di rapat paripurna, tiba-tiba menyampaikan pendapatnya tentang PPN 12 persen," kata Rahayu dalam pesan singkatnya kepada Kompas.com, Sabtu (21/12) malam.
Kemenakan Presiden RI Prabowo Subianto itu bilang, banyak anggota partainya yang saat itu hanya bisa senyum dan geleng-geleng tertawa mendengar respons kritis PDI-P itu.
"Dalam hati, hebat kali memang kawan ini bikin kontennya," kata Saras.
"Padahal mereka ( PDI-P ) saat itu Ketua Panja RUU yang mengamanatkan kenaikan PPN 12 persen ini.
Kalau menolak ya kenapa tidak waktu mereka ketua panjanya?" tambah Saras.
Adapun sistematika UU HPP terdiri dari 9 bab dan 19 pasal.
Baca juga: Komisi II DPRD Kaltara Sebut Kenaikan PPN 12 Persen Bakal Berdampak bagi Perekonomian Masyarakat
UU ini telah mengubah beberapa ketentuan di UU lainnya, di antaranya UU KUP, UU Pajak Penghasilan, UU PPN, UU Cukai, dan UU Cipta Kerja.
QRIS dan E-Toll tak Kena
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto membantah transaksi pembayaran virtual melalui QRIS dan e-Money seperti e-toll dikenakan PPN.
Menurut Airlangga, pemerintah tidak mengenakan tarif PPN 12 persen untuk transaksi berbasis QRIS maupun kartu debit.
"Hari ini ramai QRIS. Itu juga tidak dikenakan PPN. Jadi QRIS tidak ada PPN. Sama seperti debit card transaksi yang lain,” kata Airlangga dalam keterangan tertulis, Minggu (22/12).
Airlangga mengatakan, QRIS sudah digunakan di berbagai negara di Asia, termasuk Indonesia, Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Thailand.
Ia memastikan, masyarakat tidak akan dikenakan PPN 12 persen jika bertransaksi menggunakan QRIS di Indonesia maupun di negara yang sudah menggunakan sistem pembayaran virtual itu.
"Kalau ke sana pun (negara Asia lain) juga pakai QRIS dan tidak ada PPN.
Jadi ini kami klarifikasi bahwa payment system tidak dikenakan PPN, karena ini kan transaksi, yang PPN adalah barang," ujarnya.
"Transportasi itu tanpa PPN. Jadi yang namanya tol dan kawan-kawannya, e-toll juga tidak ada PPN," sambungnya.
Airlangga mengatakan, selain sistem pembayaran, PPN juga tidak berlaku untuk bahan pokok.
Ia mengatakan, bahan makanan seperti tepung terigu, minyak goreng Minyakita, dan gula bebas dari dampak kenaikan PPN.
Menurut Airlangga, tarif PPN 12 persen juga tidak dikenakan untuk tarif tol, sektor kesehatan, dan pendidikan, kecuali barang dan jasa khusus.
"Kecuali yang khusus. Yang khusus nanti yang ditentukan," tuturnya.
Airlangga mengakui, kenaikan PPN memang akan berdampak terhadap inflasi. Namun, menurut dia, pengaruh itu tidak akan terlalu besar.
"PPN naik itu satu persen, dari 11 (persen) ke 12 (persen), bukan dari nol ke 12 (persen).
Jadi dari segi kenaikan ini pengaruh inflasi ada, tapi relatif tidak terlalu tinggi," ucap dia. (kps/tribunnews)
Baca berita terkini Tribun Kaltara di Google News
Biodata Kapolda Kaltara Brigjen Djati Wiyoto Abadhy, Akpol 1991 Dua Kali jadi Wakapolda |
![]() |
---|
2 Kali Jabat Kapolda, Ini Profil dan Rekam Jejak Komjen Wahyu Widada, Irwasum Hasil Mutasi Polri |
![]() |
---|
6 Fakta Setya Novanto Bebas Bersyarat, MA Potong Hukuman hingga Dapat Remisi 2 Tahun Lebih |
![]() |
---|
3 Mutasi TNI Terbaru di Angkatan Darat 2025, Jenderal di Lingkaran Prabowo jadi Pangdam |
![]() |
---|
Cara Cek Skor SKD Sekolah Kedinasan 2025 Mudah Cuma Lewat HP, Lengkap dengan Linknya |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.