Rasionalitas Berujung Irrasional

Kita melihat sejenak pesta demokrasi 2024 kemarin. Begitu banyak upaya merasionalisasikan berbagai hal untuk melanggengkan kekuasaan.

ISTIMEWA
Eric Yohanis Tatap. (ISTIMEWA) 

Rasionalitas Berujung Irrasional

Oleh Eric Yohanis Tatap

TRIBUNKALTARA.COM - Itulah kira-kira nasib bangsa kita saat ini! Segala sesuatu dirasionalisasikan, sementara upaya itu berhujung irrasional.

Kita melihat sejenak pesta demokrasi yang baru saja kita lalui ditahun 2024 kemarin. Begitu banyak upaya merasionalisasikan berbagai hal untuk melanggengkan kekuasaan. Yang terjadi ialah mengebiri hukum dan merusak sistem demokratisasi yang dibangun di tahah air. Alih-alih (massa) berteriak: selamatkan demokrasi! Sementara, 'sang pangeran' (elit) menyusun rencana berjilid-jilid untuk memuluskan karpet merah menuju tampuk yang dituju.

Rasa-rasanya kita sedang kembali ke belakang, ke zaman Modern. Zaman dimana kita merangkak keluar dari pra-sangka Mitos, membersihkan diri mencapai Pencerahan (Aufklarung). Secara positif, kenyataan itu membangkitkan semangat manusia untuk terus mengajukan pertanyaan. Apa kendala manusia sehingga mudah terjebak dalam pra-sangka Mitos?

Rene Descartes (1596-1650) yang dijuluki bapak pemikir Modern menemukan jawaban terhadap kendala-kendala yang dialami manusia, yaitu tentang kesadaran dalam diri manusia. Descartes mengemukakan sebuah istilah penting: Je pense donc je suis atau Cogito ergo sum, artinya Aku berpikir maka aku ada. Istilah ini mengatakan bahwa ukuran kesadaran manusia terbentuk berdasarkan kapasitas berpikir. Berpikir sama dengan menentukan keberadaan manusia (Aku=Subyek) dan keseluruhannya di dalam dunia. Dengan demikian, Mitos secara perlahan tersingkir, sementara Akal Budi dengan segala bentuk kegiatannya mulai diagungkan.

Keagungan dari Akal Budi menjadi ciri khas manusia di abad Modern. Abad itu disambut dengan penuh antusias sehingga daripadanya lahirlah pemikir-pemikir besar, penemu-penemu ilmu pengetahuan, teknologi, dan seterusnya. Hegel (1770-1831), salah seorang pemikir besar, memberikan justifikasi terhadap Akal Budi yang dimiliki oleh manusia Modern. Ia mengemukakan sebuah istilah die List der Vernunft, kelihaian/kecakapan Akal Budi. Kelihaian atau kecakapan Akal Budi merupakan daya kreativitas manusia. Manusia dengan penuh kesadaran dan kebebasan mampu membuat atau mencipta apa saja yang dikehendakinya.

Apakah dalam situasi itu manusia terus menggunakan Akal Budinya? Apakah tidak ada kemungkinan bahwa manusia bisa lupa atau tidak menggunakan Akal Budinya? Menjawab pertanyaan kedua, seorang pemikir seperti Karl Marx (1818-1883) pernah menghadapi situasi semacam ini. Marx bertumbuh di tengah hiruk-pikuk Revolusi Industri yang sedang marak-maraknya bermunculan. Bersamaan dengan itu, semangat kapitalisme mulai mengakar dalam kehidupan masyarakat. Marx muncul untuk menyelamatkan kembali Akal Budi yang telah ditengelamkan oleh semangat semangat zaman bernama kapitalisme.

Memasuki zaman atau babak baru, kita mengalami perubahan demi perubahan, baik itu ilmu pengetahuan, teknologi super cepat, mau pun prilaku manusia. Abad ini diberi nama sebagai abad Kontemporer. Semua dapat berubah secara cepat dalam sekejap mata. Tak ada yang lebih pasti daripada semua ini. Kaum Kosmolog memberi julukan bagi tatanan yang berubah-rubah itu seperti khaos. Tak ada yang teratur dan indah, melainkan acak-acakan.

Kita mencoba masuk ke dalam dunia Kontemporer untuk melirik sejenak tatanan negara kita yang sedang berubah dan tak menentu ini.

Pertama, negara kita seringkali disebut sebagai negara hukum, tetapi masih saja terdapat sistem hukum yang buruk. Itu terjadi pada pilpres kemarin.

Kedua, setelah menempati kuasa jabatan dalam pemerintahan, dengan semena-mena merubah undang-undang tanpa melakukan diskursus publik dengan pihak masyarakat.

Ketiga, kita telah dikejutkan dengan omongan tentang efisiensi anggaran, sementara masih saja terdapat pembocoran anggaran di sana sini. Yang dimaksud ialah korupsi besar-besaran yang berdampak pada kerugian negara.

Keempat, berlakunya dwifungsi TNI-Polri yang ikut berkecimpung dalam sistem pemerintahan saat ini.

Apa yang kita harapkan? Dan apa yang harus kita lakukan? Tak lain dan tak bukan ialah melawan. Kita bersama-sama bersuara dengan sekuat tenaga, agar memberhentikan prilaku-prilaku yang buruk yang menimpah negara ini. Negara yang selalu dikatakan sebagai negara demokrasi merupakan anak zaman dari reformasi. Namun, demokrasi yang kita saksikan akhir-akhir ini tidak jauh dari kata pengalaman pinggir jurang. Demokrasi akan sehat apabila pemangku kekuasaan sungguh-sungguh menjalankan mandat rakyat dan mematuhi hukum dengan baik.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

BERSAMA RAMADAN DI ERA DIGITAL

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved