Rasionalitas Berujung Irrasional

Kita melihat sejenak pesta demokrasi 2024 kemarin. Begitu banyak upaya merasionalisasikan berbagai hal untuk melanggengkan kekuasaan.

ISTIMEWA
Eric Yohanis Tatap. (ISTIMEWA) 

Apabila pemangku kekuasaan tidak mematuhi konstitusi dan menjalankan mandat rakyat dengan tepat, itu tak lain daripada berjalan dalam situasi ketidakberpikiran atau Gedankenlosigkeit. Sebuah situasi yang terjadi bahwa Akal Budi digunakan demi kepentingan segelintir orang, bukan untuk kepentingan atau kesejahteraan bersama. Itulah bagian dari semangat zaman Kontemporer yang sedang kita hadapi.

Dua pemikir besar yang tumbuh dalam semangat zaman Kontemporer ini memberikan pengajaran yang bermutu untuk kita perhatikan bersama. Pertama, Juergen Habermas. Ia mengajarkan kepada kita betapa pentingnya menjunjung tinggi etika diskursus. Etika ini terwujud dalam bentuk komunikasi-komunikasi yang dapat kita lakukan. Di sana, Habermas mendudukan komunikasi menjadi sebuah etika oleh karena partner komunikasi itu merupakan bagian dari diri kita sendiri. Mereka bukan lagi objek melainkan subyek. Sehingga, diskusi atau komunikasi yang dilakukan merupakan komunikasi inter-subyektif. Apabila pola komunikasi dan diskursus ini dipegang teguh pihak pemerintah, mustahil negara kita akan menjadi seperti sekarang ini. Karena, pemerintah telah mendudukkan dan melibatkan pihak masyarakat dalam berdiskusi untuk menentukan apa yang baik bagi negara ini.

Kedua, Axel Honneth. Ia mengajarkan tentang betapa pentingnya memiliki sikap mengakui. Tindakan mengakui merupakan sebuah tindakan etis. Sebagaimana, kita mau mengakui martabat orang lain selayaknya seperti seorang manusia. Sikap etis dalam bentuk tindakan mengakui ditempatkan dalam tatanan dunia pluralistik. Baik itu dalam pluralitas agama, suka, budaya, ras, dan antar-golongan, kita hendaknya memegang teguh budaya saling mengakui ini. Dengan itu, negara kita yang memiliki semangat merakyat terhadap rakyatnya, secara sungguh-sungguh pula mau mengakui dan menempatkan rakyat di atas segala-galanya.

Dua paradigma berpikir ini sekiranya dapat membantu untuk menyelamatkan kembali Ratio atau Akal Budi kita yang selama ini tenggelam diterpa oleh semangat zaman Kontemporer. Semua bentuk ketidakteraturan, cara berpikir yang keliru, bahkan situasi ketidakberpikiran yang terjadi saat ini, kini hendaknya kita koreksi dan perbaiki.

Mari kita menyelamatkan kembali Akal Budi yang menjadi ciri khas bagi kita manusia. Kita menggunakan Akal Budi itu untuk mengambil sikap dan tindakan yang bijak untuk melangkah menuju Indonesia yang lebih baik lagi.

(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

BERSAMA RAMADAN DI ERA DIGITAL

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved