Advertorial

Tegas Tolak KRIS, DPP KSBSI Khawatir Ada Kepentingan Sepihak yang Dirahasiakan

Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) mendapat beragam penolakan dari beragam pihak, salah satunya dari serikat pekerja, termasuk KSBSI.

|
Editor: Amiruddin
Istimewa
KRIS DITOLAK - Rencana implementasi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) mendapat beragam penolakan dari beragam pihak, salah satunya dari serikat pekerja. Kali ini, penolakan implementasi penggabungan kelas rawat inap yang rencana akan diimplementasikan per Juli nanti dilayangkan oleh Dewan Pengurus Pusat Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (DPP KSBSI). 

Buruh yang selama ini memiliki hak kelas 1 (dua tempat tidur per kamar), harus rela dipindah ke kamar berisi empat tempat tidur sesuai standar KRIS. Ini dianggap sebagai penurunan kualitas dan kenyamanan layanan," katanya.

Untuk itu, Dartha meminta agar Presiden Republik Indonesia maupun para regulator untuk mengkaji ulang berbagai kebijakan jaminan sosial agar tidak menyulitkan masyarakat khususnya para buruh.

Selain itu, penolakan implementasi KRIS juga dilayangkan oleh Ketua Dewan Perwakilan Cabang (DPC) Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan, Ahmad Supriadi.

Ia juga menyoroti peran dari regulator yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat, khususnya bagi para buruh.

Ia berharap, kepada para regulator bisa bekerja mewakili rakyat dan memiliki keberpihakan kepada rakyat.

Ia juga meminta agar para regulator bekerja dengan sepenuh hati dan tidak berorientasi kepada profit dan kepentingan apapun yang bersifat subjektif.

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timbul Siregar mengatakan bahwa hingga saat ini belum ada yang mengatakan bahwa KRIS harus satu kelas.

Terbitnya Perpres 59 tahun 2024 juga sangat disayangkan oleh Timbul, lantaran tidak melibatkan peran masyarakat dalam penyusunan regulasi tersebut.

Padahal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus melibatkan masyarakat.

"Penetapan regulasi mengenai KRIS ini tidak melibatkan masyarakat di program JKN, ini jelas kami tidak pernah dilibatkan.

Jika memang ingin diterapkan, coba patuhi dulu saja UU Nomor 13 tahun 2022 untuk melibatkan masyarakat," kata Timbul.

Ia menegaskan bahwa negara wajib menyediakan akses kesehatan yang layak.

Artinya negara wajib memberikan akses fasilitas kesehatan bagi masyarakat yang mudah diakses dan tidak ada diskriminasi pelayanan bagi peserta.

"Faktanya kalau peserta mau ke rumah sakit kita selalu mendapatkan kendala.

Masih ada peserta yang kesulitan mendapatkan ruang rawat inap. 

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved