Politik Uang di Kaltara

Soal Politik Uang, Begini Reaksi dan Cara Caleg Tarakan Lepas dari Budaya Curang di Pemilu

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ILUSTRASI - Politik uang dalam Pemilu. (TribunKaltara.com)

TRIBUNKALTARA.COM, TARAKAN – Sejumlah calon anggota legislatif (caleg) asal Tarakan bereaksi soal isu money politic atau politik uang, beber cara lepas dari budaya curang dalam Pemilu.

Calon Anggota Legislatif DPRD Provinsi Kaltara dari Partai Gelora Indonesia, Uriyanto menilai money politic harus dihentikan.

Pasalnya, politik uang membawa dampak ke depannya yang kurang mendidik di tengah masyarakat untuk hal pencegahan korupsi.

"Bagaimana mungkin calon pemimpin, di awal sudah memberikan menghamburkan uang? Menurut saya pribadi justru menimbulkan dampak kurang mendidik," kata dia, Senin (8/1/2024).

Ia menilai, praktik money politic justru berimplikasi pada kinerja caleg yang terpilih duduk di kursi legislatif.

"Karena hal utama jadi perhatian bagaiamana modal kembali sehingga mempengaruhi kinerja tidak konsentrasi terhadap tugas lemabaga lesgitlatif," ujar Uriyanto.

Caleg DPRD Provinsi Kaltara dari Partai Gelora Indonesia, Uriyanto. (TribunKaltara.com/Andi Pausiah)

Baca juga: Polemik Money Politic di Malinau, Siklus Kontestasi dan Strategi Menangkan Caleg

Ia berpendapat melawan money politic tentu sulit. Namun jika ada niat baik untuk masyarakat Tarakan dan Kaltara, Uriyanto secara pribadi akan memulai dari diri sendiri untuk menolak politik uang.

"Ada komitmen pribadi bekerja maksimal sungguh-sungguh bagaimana perjuangan masyarakat yang memang harus diwakili," ucapnya.

Seharusnya, kata Uriyanto, tanpa money politic pun para caleg bisa tetap mendapatkan suara. Salah satunya diperlukan latar belakang politik dan rekam jejak sebagai modal awal. Tidak mendadak menjadi caleg.

"Kemudian sejak jauh hari sudah turun ke masyarakat, menemui tokoh masyarakat, bertemu kelompok petambak, kelompok nelayan, ketua rumput laut, asosiasi seni budaya dan pegiat olahraga seni bela diri, adakan pertemuan tidak skala besar.

Saya sendiri sifatnya door to door bertemu tokoh yang mempunya symbol dan sekiranya bisa memberikan dukungan moral," ungkap Uriyanto.

Selama beberapa bulan masuk masa kampanye ia juga menyampaikan tidak memasang atau membuat baliho dan hanya mengandalkan media sosial.

Apalagi money politic, ia tegas tidak akan melakukan hal tersebut.

"Jujur saya saja dicalonkan di detik pencalonan DCT. Karena DCS kemarin, belum. Dan ada pihak parpol hubungi saya di detik terakhir," tuturnya.

Ia menyadari menghilangkan praktik politik uang membutuhkan perjalanan panjang.

Menurut Uriyanto, perlu waktu dan juga masyarakat butuh pendidikan politik.

"Kita tak menampik, dua belah pihak berkepentingan, masyarakat dan caleg. Satu sisi, yang bersangkutan berani siapkan dana, nah, sekarang siapa yang berani menolak uang. Sehingga menurut saya harus dihentikan sistem tersebut. Ini tidak mendidik.

Seharusnya yang kita lakukan adalah sebenarnya konsentrasi ke apa yang dibutuhkan masyarakat," ungkapnya.

Ia mengakui selama melakukan silaturahmi, banyak persoalan didapatkan di lapangan.

Baca juga: Warga Nunukan Akui Terima Amplop Berisi Rp600 Ribu sampai Rp 1 Juta Jelang Pemilu 2024

Mengambil contoh dari sisi lingkungan petambak. Petambak berharap harga udang bisa terjangkau. Salah satunya, sentuhan pemerintah harus ada, bagaimana pembinaan, pembimbingan secara langsung.

"Rumput laut juga demikian, banyak pemerintah bisa hadir di tengah mereka. Apalagi sektor laut, ikan rumput laut di Tarakan bisa berpotensi ekonomi. Kalau pendampingan maksimal diberikan tentu bisa mengatasi persoalan," katanya.

Kemudian dari sisi seni budaya, Uriyanto menilai perlu mengangkat wajah Tarakan melalui even. Seperti kolaborasi seni budaya Jawa kolaborasi reog dan kuda lumping dikaitkan hari jadi Kaltara.

Menurut Uriyanto, efek kegiatan tersebut akan memberikan dampak pendidik seni budaya berkesinambungan. Begitu juga pencak silat, bisa potensi digelar even nasional skalanya atau internasional.

"Manakala perhelatan kompetisi rutin diadakan, pembinaan atlet diadakan mungkin bukan pencak silat saja tapi juga bulu tangkis mungki, tenis meja, catur, ini bisa berdampak luas, ke UMKM juga," ucapnya.

Sehingga lanjutnya, pendidikan politik menjadi dasar masyarakat agar bisa perlahan menghilangkan money politic. Masyarakat harus dicerdaskan. Masyarakat cerdas mencari calon pemimpin berkualitas, jujur, bisa mengamati banyak skala politisi dadakan.

"Harus bisa memberikan konsep bukan menciptakan situasi mengharap. Yang dibutuhkan kontribusi pemikiran calon, silakan jual konsep," tegas pria yang sejak 1998 lalu pernah menjabat sekjen di salah satu parpol sebelum bergabung ke Gelora.

Hal sama disampaikan Hanip Matiksan, salah seorang caleg DPRD Tarakan dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Seperti termuat dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam salah satu pasalnya tertuang juga terkait larangan money politic.

"Jadi tergantung dari peserta pemilunya. Masih mau terima atau tidak. Walaupun saya ada uang dan tidak ada uang, saya tidak akan lakukan. Dalam konsep saya sendiri, melakukan silaturahmi ke rumah membawa kartu nama dan kalender selama masa kampanye," kata Hanip.

Ia berharap semua caleg memiliki cara berpikir yang sama untuk tidak melakukan politik uang. Cara tersebut perlahan bisa menghilangkan money politic dalam Pemilu.

"Memberi dan menerima sama-sama haram. Kita memberikan makan anak dan istri kita, itu risikonya ada, dosa juga. Saya pernah dengar ceramah Pak Ustaz, yang memberi dan menerima sama-sama dosa. Hindari politk uang yang akan membunuh alkhairatmu," tegasnya.

Caleg DPRD Tarakan dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Hanip Matiksan. (TribunKaltara.com/Andi Pausiah)

Baca juga: Cerita Pengalaman Warga Tarakan Terima Uang dari Caleg saat Pemilu, Beber Alasan Realistis

Meski demikian, ia tak menampik sudah ada isu walaupun belum tentu benar dan dipastikan valid bahwa telah beredar informasi oknum menjanjikan memberikan nominal uang tunai.

"Jika itu benar, bagaimana demokrasi kita bisa berjalan baik, amanah?

Tapi memang juga survei KPK, LIPI mengatakan 95,5 persen pemilu dipengaruhi uang," ujarnya.

Terkait dengan pola masyarakat yang memilih mengambil uangnya, namun belum tentu memilih orang yang memberikan uang, Hanip menilai hal tersebut akan menjadi beban caleg, serta menimbulkan kemarahan bagi pelaku pemberi.

"Kalau saya pesankan jangan diambil uangnya. Tidak ada bebas. Meski memang kita tahu, orang-orang dengan ekonomi lemah juga bisa menerima. Tapi untuk kalangan PNS, saya rasa mereka bisa melawan hal demikian," ujar Hanip.

(*)

Penulis: Andi Pausiah

Berita Liputan Khusus Politik Uang di Kaltara

Jangan Lupa Like Fanpage Facebook TribunKaltara.com

Follow Twitter Tribun Kaltara Redaksi

Follow Instagram tribun_kaltara

TikTok tribunkaltara.com

YouTube Shorts TribunKaltara.com

Subscribes YouTube Tribun Kaltara Official

Berita Terkini