Namun, upaya tersebut harus dilakukan secara bersama-sama dalam lingkungan pendidikan tinggi.
Dalam pandangan sederhana ini, terdapat beberapa langkah yang mesti dilakukan secara kolaboratif dan berkelanjutan.
Penulis berkeyakinan, bahwa langkah-langkah ini telah dilakukan oleh banyak kampus di Indonesia.
Namun, pandangan ini, hanya ingin kembali merefleksi tentang ingatan-ingatan dan langkah-langkah yang harus terus dipelihara dan diimplementasikan secara terstruktur dan berkelanjutan.
Langkah pertama adalah, bagaimana menumbuhkan kesadaran bersama dan kepedulian akan pentingnya menciptakan suasana aman dari kekerasan dan pelecehan seksual.
Untuk menumbuhkan dan memantik kesadaran bersama, dapat dilakukan melalui sosialisasi secara massif dan kontinyu tentang pendidikan dan materi-materi yang berkaitan dengan jenis-jenis kekerasan seksual, bagaimana mekanisme pelaporan, perlindungan serta mekanisme sanksi bagi pelaku kekerasan seksual.
Sosialisasi ini, harus dilakukan dengan berbagai cara-cara keratif. Seperti Kampanye via media sosial, membuat video-video edukasi, buku saku, membuat poster atau penanda-penanda lain yang terbuat dari papan ataukah besi yang tahan lama dan diletakkan ditiap-tiap tempat seperti di tiap-tiap fakultas, di perpsutakaan, di rektorat dan ditempat-tempat lain yang potensial.
Pada intinya adalah, bagaimana setiap warga kampus betul-betul memahami tentang konsep, dan segala jenis yang tergolong kedalam praktek-praktek kekerasan dan pelecehan seksual.
Seturut itu, juga penting bagi warga kampus untuk memahami pengaduan dan perlindungan bagi para korban.
Langkah kedua adalah, membiasakan budaya ataukah prilaku yang mendukung terciptanya situasi aman bagi seluruh civitas akademika. Misal, terkait pembimbingan yang dilakukan oleh seorang Dosen.
Pembimbingan dapat dilakukan hanya diruang-ruang publik, atau tempat yang tidak berpotensi menimbulkan kekerasan dan pelecehan seksual.
Problematika selama ini, yang kerap terjadi dan mendukung terjadinya kekerasan dan pelecehan seksual adalah, pembimbingan kerap dilakukan ditempat-tempat yang privat seperti rumah dan tempat-tempat lainnya.
Pola –pola pembimbingan yang selama ini yang sangat tertutup, menjadi benih-benih terjadinya kekerasan dan pelecehan seksual.
Langkah ketiga adalah, ikhtiar meyakinkan kepada segenap civitas akademika untuk berani berbicara (speak up), jika mengalami, mengetahui atas dugaan terjadinya pelecehan dan kekerasan seksual.
Dalam banyak kasus, terkadang korban lebih memilih diam karena adanya relasi kuasa yang sangat kuat antar Dosen atau pejabat dan kepada mahasiswa dilingkungan pendidikan tinggi. Potensi ini yang membuat mahasiswa cenderung diam, takut, kahwatir, dan setumpuk kegelisahan karena memikirkan masa depan kuliahnya.