Berita Tarakan Terkini

Bahas 3 Kakak Beradik tak Naik Kelas, KPAI Lakukan Pertemuan Bersama Disdik dan SDN 051 Tarakan

Bahas 3 kakak beradik tak naik kelas, KPAI lakukan pertemuan bersama Disdik dan SDN 051 Tarakan.

Penulis: Andi Pausiah | Editor: M Purnomo Susanto
TRIBUNKALTARA.COM/ANDI PAUSIAH
Kegiatan pertemuan KPAI bersama LPMP Kaltara dan Disdikbud Tarakan serta Kepala SDN 051 Tarakan, Selasa (23/11/2021). TRIBUNKALTARA.COM/ANDI PAUSIAH 

TRIBUNKALTARA.COM, TARAKAN – Bahas 3 kakak beradik tak naik kelas, KPAI lakukan pertemuan bersama Disdik dan SDN 051 Tarakan.

Menindaklanjuti persoalan tiga anak tak naik kelas yang terjadi di SDN 051 Tarakan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia ( KPAI) melakukan pertemuan pada Selasa (23/11/2021) hari ini.

Pertemuan dilakukan di SDN 051 menghadirkan pihak Disdikbud Kota Tarakan, LPMP Provinsi Kaltara, Kepsek SDN 051 Tarakan, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak, dan HIMPSI Kota Tarakan.

Usai kegiatan pertemuan, Komisioner KPAI Retno Listyarti mengungkapkan, pertemuan itu memang belum menghasilkan kesepakatan tetap dan masih akan dilanjutkan pada Rabu (24/11/2021) besok rencananya.

Baca juga: Kronologi 3 Siswa SD di Tarakan tak Naik Kelas, Sampai Sidang ke PTUN, Penjelasan Disdik Mengejutkan

“Pertemuan ini kita ingin mencari jalan keluar. Bukan dilupakan tapi dalam pertemuan ini dan besok arah pembicaraannya ke depan yakni solusi,” beber Retno kepada awak media.

Dalam hal ini KPAI menilai berdasarkan laporan yang masuk, ketiga anak tersebut bukan karena ketidakmampuan akademis, melainkan dalam hal penilaian agama.

“Kami komisi KPAI menerima pengaduan dua kali kasus ini. Kami koordinasi ke Inspektorat Jenderal Kemendikbud dan saat kami koordinasi mereka sambut baik. Turun bersama,” bebernya.

Ia melanjutkan, pihaknya datang ke Tarakan untuk mendengar klarifikasi adanya dugaan intoleransi terhadap ketiga pelajar ini.

“Kami tidak menganggap pengadu 100 persen benar. Kami datang untuk mengonfirmasi bukan menghakmi. Kami mau cari jalan kluar demi kpentingan anak-anak,” jelasnya.

Ia melanjutkan, pihaknya sudah mendengar dari versi kuasa hukum penggugat. Pihaknya juga sudah bertemu dengan orangtua dan tiga anak tersebut.

“Kami berbicara dari hati ke hati apa harapan anak. Tiga kali bertanya harapannya ingin naik kelas. Kecuali ingin ganti kelas dengan suasana baru. Berikutnya kami sudah berbicara, sepakat bahwa terkait keyakinna, kami tidak mau masuk di situ karena pasti ada perdebatan panjang. Kami hanya fokus perlindungan anak di masa depan,” bebernya.

Sampai Sidang ke PTUN

Mantan Kepala SDN 051 Tarakan Tarakan beber kronologi kasus tiga pelajar tak naik kelas, tegaskan tidak ada intoleransi kepercayaan dan diskriminasi keyakinan

Tiga pelajar tingkat Sekolah Dasar Negeri (SDN) 051, Kelurahan Juata Permai, Kota Tarakan menjadi viral usai dikabarkan tidak mendapatkan kenaikan kelas selama tiga tahun berturut-turut.

Buntut perkaranya berdasarkan pemberitaan yang viral ditengarai faktor keyakinan atau kepercayaan agama orangtua.

Dalam hal ini, SDN 051 Tarakan pun menjadi tergugat atau dilaporkan orangtua tiga pelajar bersaudara yakni M kelas 5, kemudian Y kelas 4 dan Yn kelas 2.

Baca juga: Warga Tarakan Herankan Kelangkaan LPG 3 Kg, Akui Bisa Dapat Harga Eceran Elpiji Hingga Rp 75 Ribu

Kepala Seksi Pembinaan PAUD Disdik Tarakan, Kamal yang juga pernah menjabat sebagai Kepala SDN 051 Tarakan Kelurahan Juata Permai membeberkan kronologi bagaimana awal kasus itu bermula.

Ia juga menampik keras pemberitaan media yang sebagian besar belum terkonfirmasi tersebut di awal viralnya pemberitaan tersebut.

Kamal menjelaskan kronologi kejadian tiga anak sekolah yang sempat menjadi viral diduga tidak naik kelas selama tiga tahun karena diskriminasi latar belakang agama atau kepercayaan yang dianut.

Dikatakan Kamal, pihaknya hanya menilai satu hal, seharusnya tidak ada berita yang muncul dan viral sebelum ada klarifikasi ke lapangan.

Kepala Seksi Pembinaan PAUD Disdik Tarakan, Kamal. TRIBUNKALTARA.COM/ANDI PAUSIAH
Kepala Seksi Pembinaan PAUD Disdik Tarakan, Kamal. TRIBUNKALTARA.COM/ANDI PAUSIAH (TRIBUNKALTARA.COM/ANDI PAUSIAH)

“Apa boleh buat sudah terlanjur viral. Jadi kami luruskan,” bebernya.

Ia mengungkapkan persoalan ini cukup panjang untuk dibeberkan mengingat persoalan ini bukan persoalan baru melainkan sudah muncul sejak tahun 2017.

Waktu itu tahun 2017, sebelum dirinya ditugaskan di Disdik Tarakan, saat itu ia dilantik sebagai kepala SDN 051 Tarakan, tempat tiga anak tersebut belajar.

Saat itu lanjut Kamal, semua berjalan dengan lancar, termasuk tiga anak tersebut yakni M, Y dan Yn.

Diketahui ketiga anak bersaudara ini beragama Kristen.

“Mereka mengikuti pelajaran Agama Kristen sejak kelas 1 SD. Lalu sampailah duduk di bangku kelas 4 SD,” ujarnya.

Mereka dalam belajar pada prinsipnya sama.

Mengikuti pelajaran yang sama dengan siswa lainnya.

Perlu diketahui kata Kamal yang saat itu didampingi Debora Pademme, Guru Mata Pelajaran Agama Kristen, SDN 051 Tarakan adalah sekolah filial atau cabang dari SDN 043 Tarakan.

Baca juga: SKB CPNS Kabupaten Tana Tidung 2021 Direncanakan Pekan Depan, Pelaksanaan Tetap di UPT BKN Tarakan

“Sekolah jarak jauh SDN 043 yang mana guru Agama SDN 051 Tarakan dan SDN 043 sama. Tapi ketika SDN 051 Tarakan dimekarkan dan bukan lagi menjadi cabang pada tahun 2016, saya kepsek pertama saat itu, guru agama tetap membantu siswa di sini,” beber Kamal.

Adapun untuk pelajaran Agama Kristen tetap diikuti oleh tiga pelajar bersaudara ini.

Kemudian lanjut Kamal, asal muasal akhirnya mulailah terjadi hal yang menurut rekan pembina agama, ada kegiatan mahasiswa Kristen dari Universitas Borneo Tarakan melakukan KKR.

“Saat itu mereka dapat rekomendasi dari Disdikbud Tarakan dan saya persilakan. Pelaksanaan KKR itu dilakukan namun ketiga anak ini tidak ikut. Ketidakikutsertaan anak ini mengundang pertanyaan pembina Agama Kristen,” beber Kamal.

Dalam hal ini sebagai pembina agama, memohon izin kepada dirinya sebagai Kepala SDN 051 Tarakan saat itu untuk mengundang orangtua ketiga pelajar tersebut yakni A.

“Dari hasil penyampaian mereka, keluar bahasa yang menurut saya inilah bahasa yang bertentangan sebenarnya dengan keyakinan Agama Kristen. Padahal mereka berada di bawah binaan Kristen,” ujar Kamal.

Kemudian lanjutnya, ketika di wali kelas, siswa tersebut tidak lagi menyanyikan lagu kebangsaan dan hormat bendera.

Lalu pihaknya pun segera melakukan mediasi.

“Orangtuanya sedia untuk tetap menyanyikan lagu kembangsaan kecuali salut hormat. Tidak ada masalah dan semua dilakukan. Tapi dalam perjalanannya tiba-tiba jangankan hormat, menyanyi pun tidak mau,” bebernya.

Sehingga lanjutnya, berpengaruh terhadap nilai mata pelajaran Kewarganegaraan tiga pelajar tersebut.

Saat itu langkah yang dilakukan Disdik dan sekolah sudah diadakan pembinaan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010, diberikan pemahaman tentang nilai-nilai Pancasila kepada orangtua.

Prakiraan Cuaca Selasa 23 November 2021, BMKG Prediksi Kota Tarakan Diguyur Hujan Ringan Malam Ini

“Orangtua tetap bersikeras bahwa itu melanggar dan sebagainya. Sehingga kami dari dewan guru mengadakan rapat dan memutuskan anak ini tidak mau lagi mengikuti tata tertib di sekolah,” bebernya.

Karena awal masuk sekolah ada tatib yang harus disetujui orangtua.

Akhirnya keputusan dikembalikan ke orangtua, pada saat pengembalian ke orangtua, sekolah tidak menutup akses komunikasi.

“Kami berikan kesempatan untuk bisa memperbaiki dan kenyataannya mereka langsung menggugat Kepsek SDN 051 Tarakan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN),” ujarnya.

Lalu PTUN akhirnya berjalan.

Pada saat berjalannya PTUN, ibu wali kelas yang menjadi saksi termasuk pihaknya semua hadir.

Saksi ahli dihadirkan dari kedua pihak.

Saksi ahli dari pihak Disdik yakni Dekan Fakultas Hukum, Yahya Ahmad Zein.

“Termasuk dari bagian Bimas Kristen hadir membantu karena di bawah binaan mereka. Lalu pada saat putusan keluar dalam hal ini SDN 051 Tarakan selaku tergugat kalah. Lalu muncul pernyataan dari KPAI Bu Retno bahwa anak ini tidak naik kelas karena agama. Dan saya klarifikasi bahwa kenaikan kelas, bukan karena agama,” tegasnya.

Di sinilah ia ingin meluruskan bahwa ketidaknaikan kelas pelajar tersebut bukan karena agama melainkan karena tidak mengikuti tatib yang diberlakukan.

Salah satu tatib yang diberlakukan dalam sekolah yakni setiap sebelum memulai pembelajaran ada membaca doa dan menyanyikan lagu kebangsaan.

“Dan itu tidak mau dilakukan. Kami sudah bina dan kami sampaikan bahwa itu menyangkut nilai kewarganegaraan untuk menyanyikan lagu kebangsaan ini. Namun tetap tidak mau, bahkan ada bukti kami anak itu mengirimkan lewat WA kalau menyanyikan lagu nasional hati nuraninya terganggu,” jelasnya.

Baca juga: Jadwal Speedboat Kaltara, Rute Malinau ke Tarakan Selasa 23 November 2021, Harga Tiket Rp 250 Ribu

Menurutnya secara psikologis, dengan usia setingkat SD ini tentu bukanlah bahasa yang umum dikeluarkan seorang anak.

Kemudian selanjutnya, PTUN pertama, ketidaknaikan kelas anak-anak tersebut tidak berpengaruh terhadap pemberhentian.

Ketiga anak tetap bersekolah karena saat PTUN berjalan, ada keputusan sela yang disampaikan oleh PTUN.

“Bahwa anak harus tetap sekolah, anak tetap belajar. Walaupun proses hukum berjalan. Akhirnya pada saat mereka pelapor menang dan keputusannya, mencabut pemberhentian anak sekolah,” ujarnya.

Namun dalam hal ini pihak sekolah tak bisa menaikkan kelas karena nilai mata pelajaran Olahraga pada saat itu nol karena tidak mau ikut dalam mata pelajaran olahraga.

“Nilai kewarganegaraan tidak tuntas. Dan nilai agama tidak tuntas. Dan pada saat itu kami anggap selesai, karena tidak naik kelas. Sehingga di sini juga kami klarifikasi, kami tegaskan terkait munculnya bahasa intoleran. Itu semua tidak betul,” tegasnya.

Lalu lanjutnya lagi, proses kembali berjalan.

Pihak sekolah kembali melakukan mediasi.

Dalam hal ini sekolah menawarkan pembelajaran agama tapi orangtua saat itu hanya menjawab pikir-pikir dahulu.

“Sampailah satu tahun ketiga anak ini tidak dapat nilai Agama, kosong, karena tidak mengikuti proses sama sekali. Permendikbud Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pasal 32 Ayat 1 Tentang Kurikulum,” jelasnya.

Baca juga: Jadwal dan Tarif Speedboat Rute Tana Tidung-Tarakan Selasa 23 November 2021

Dalam hal itu ia menjelaskan bahwa, jika tawaran tersebut jika memang diperuntukkan mengakomodir agama, satu permintaan pihaknya.

“Kalau memang keyakinan mereka ingin diakui, dalam hal ini diketahui pengakuan orangtua penganut Saksi-saksi Yehuwa, maka harus keluar dulu dari Agama Kristen. Lalu kemudian membuat agama sendiri. Selama mereka berada dalam binaan Agama Kristen, harusnya mengikuti kurikulum yang diberlakukan pemerintah,” jelasnya.

Ia dalam hal ini ingin mengcounter berita yang sudah telanjur beredar tanpa konfirmasi bahwa diduga pihak SD melakukan intoleransi.

“Intoleransi dari mana? Kami sudah memberikan jalan. Bahkan dua minggu solusi diberikan Kepala Disdik yakni anak ini bisa naik kelas, solusinya belajar dua minggu dengan guru agama kemudian diberikan ujian,” jelas Kamal.

Ia melanjutkan, itu adalah solusi terbaik dengan tawaran hanya dua minggu syarat siswa tersebut mengikuti pelajaran agama dan nanti akan diberikan penilaian agar memenuhi syarat kenaikan kelas.

“Hanya dua minggu anaknya diminta mengikuti pelajaran ke guru agama, lalu ujian dan bisa naik kelas. Pada saat itu mereka pikir-pikir lagi. Lalu kami menunggu jawaban mereka yang justru muncul adalah gugatan yang dilayangkan PTUN kedua,” jelasnya.

Gugatan ini muncul setelah diberikan solusi. Lalu fakta terakhir jika menyangkut keyakinan Saksi-sakssi Yehowa.

Ia melanjutkan di Tarakan juga ada juga penganutnya.

Dan ia melakukan pendalaman, di sekolah lainnya, mereka bisa mengikuti pelajaran Agama Kristen.

“Saya berbicara dengan susternya di SD Saverius misalnya, mereka mengikuti pelajaran Agama Kristen. Mereka hormat, ikuti upacara bendera, menyanyikan lagu kebangsaan. Tapi kenapa hanya di SDN 051 Tarakan yang dipersoalkan,” jelasnya.

Ia meminta agar jangan sampai masyarakat hanya mengetahui satu pihak saja.

Dan terkesan seolah SDN 051 Tarakan melakukan diskriminasi keyakinan yang dianut.

Baca juga: Pemkot MoU dengan Pertamina EP Tarakan Field, Komitmen Tangani Bencana Kebakaran di Tarakan

Sehingga lanjutnya, hari ini pertemuan KPAI dengan sekolah dan Disdikbud Tarakan, apapun solusinya yang diambil, diharapkan bisa menyelamatkan anak.

“Namun bukan berarti kami berjalan tanpa dasar hukum. Dasar hukum itulah yang membuat kami bekerja seperti saat ini. Kami juga hadir untuk negara,” ucapnya.

Lanjutnya lagi, pada PTUN saat ini yang kedua pihaknya kembali dikalahkan penggugat.

Namun dalam hal ini lanjutnya ada kejanggalan untuk gugatan kedua tersebut.

“Saya juga berlatar hukum, kejanggalan saya nilai putusan PTUN menyatakan memerintahkan kepada kepala sekolah membatalkan raport, menerbitkan raport baru dan memberikan nilai agama untuk kenaikan kelas,” kutipnya.

Ini menurut pemahamannya, jika ini sampai dijalankan, maka pihak SDN 051 Tarakan berpotensi besar dituntut pidana.

Alasannya beber Kamal,karena memberi nilai tanpa proses adalah rekayasa.

“Sehingga kami banding. Dan saat kami banding, kami di Tarakan menang. Ketika kita menang banding seharusnya dikaji ada apa dengan putusan PTUN, kalau memang putusan PTUN mereka menang seharusnya banding juga mereka tetap menang,” jelasnya.

Hari ini juga lanjutnya, melanjutkan proses kasasi, dan saat proses kasasi sedang berjalan, pihak mereka kembali menuntut dengan objek PTUN yang sama.

Baca juga: Temukan Laporan Pengecer Jual LPG 3 Kg Tembus Rp 100 Ribu, Disdagkop Tarakan Sidak dan Tertibkan

“Setahu saya dengan objek yang sama hakim bisa membatalkan. Karena kemarin di banding, kami sudah menang. Tapi ini tetap berproses. Ada apa ini. Makanya kami tetap sepakat menyelamatkan anak tapi proses hukum tetap kami akan hadapi. Karena kita berjalan di negara yang berdasarkan aturan hukum,” pungkasnya. (*)

Penulis: Andi Pausiah

Sumber: Tribun Kaltara
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved