Berita Tarakan Terkini

Kasus Asusila Korban di Bawah Umur, Psikolog Fanny Sumajouw Nilai Ada Degradasi Moral

Dua kasus terbaru melibatkan tindak asusila terhadap belasan korban yang rerata berusia di bawah umur saat ini masih ditangani Polres Tarakan.

Penulis: Andi Pausiah | Editor: Junisah
TRIBUNKALTARA.COM/ ANDI PAUSIAH
Psikolog Fanny Sumajouw, S.Psi, Psi. 

Ia juga menegaskan, siapapun dan apapun profesinya bisa menjadi pelaku dan korban.

Berbagai modus dilakukan untuk menjebak korban. Psikolog Fanny menganalogikan, dalam hal deviasi (penyimpangan) juga terjadinya bias dalam pola pikir.

“Kondisi ini disebut sebagai degradasi moral. Ini yang sekarang lagi menurun banget. Jadi ada penurunan perilaku amoral. Di tengah situasi saat ini benar-benar kebutuhan biologis seperti tidak terbendung. Dan itu kena di semua kalangan. Bukan hanya tokoh atau pejabat. Bahkan anak-anak kemarin 12 orang pelakunya juga bukan siapa-siapa,” bebernya.

Jika melihat kronologis kasus AR (27) tersebut, cara memodusi korban-korbannya yakni memanggil ke dalam WC dan menanyakan apakah sudah pernah menonton film porno dan melakukan masturbasi.

Baca juga: Ngaku Hanya Ingin Bangunkan Korban, Terduga Kasus Asusila Lari ke Anjungan Kapal dan Lakukan ini

Di situ AR bisa saja menggiring opini bahwa dia sedang mengedukasi anak-anak ini. Padahal di balik itu ada terbesit hasrat ingin melampiaskan kebutuhan seksualnya. Mengapa korbannya anak-anak, karena mereka mudah sekali dimanipulasi, diiming-imingi, ditakut-takuti bahkan diancam.

Psikolog Fanny menilai, inilah salah satu bentuk deviasi dan bias pola pikir yang dilakukan pelaku. Dimana pelaku menyadari betul bahwa yang dilakukan salah tapi karena tindak uncontrol menyebabkan pelaku bisa melakukan hal tersebut.

“Misalnya begini, kamu gak boleh mempermainkan begini kepada korban tapi pelakunya malah memegang korban. Contoh dia memegang kemaluan korban tapi dengan bahasa yang menggiring korbannya kepada ajaran baik. Padahal itu modus. Karena anak-anak ini kan mudah banget dituntun,” ungkap Fanny.

Sedangkan si pelaku adalah orang yang sudah memiliki bias dalam cara berpikirnya. Dan anak-anak sangat mudah tergiring mindsetnya bahwa perbuatan ini benar, perbuatan ini yang tidak benar.

“Tanpa sadar, pelaku sedang menjadikan dia korban. Pelaku mengajarkan tapi mempraktekkan. Bisa dikatakan juga, ini adalah bentuk degradasi moral,” ujarnya.

Lebih jauh membahas degradasi moral, bisa disebabkan salah satu faktornya adalah stress dari masalah hidup dunia yang dihadapi terlebih di masa pandemi. Efek yang dirasakan kepada orang masing-masing cara meresponsnya berbeda.

Tinggal sebenarnya kata Fanny, bagaimana defense mekanisme atau pertahanan diri yang harus benar-benar kuat dimiliki.

“Saya sudah berapa kali menyampaikan, pertahanan diri itu seseorang berbeda dan tidak pernah sama. Ada yang rentan mudah stres, walau sumber stresnya atau stressor-nya sama. Tingkat kerentanan pertahananan imun tubuh seseorang, kondisi psikologis itu sangat berpengaruh banget efeknya baik fisikly dan psikis,” ulas Fanny.

Meskipun lanjutnya, ada penguatan psikologis ataupun pendampingan keluarga di dalam penguatan agama sangat kental dalam keluarga, tetap tidak menjamin orang itu bisa tetap bertahan atau tidak.

“Tinggal bagaimana mindset kita masing-masing. Jadi bisa bepengaruh dari sumber stress dari persoalan dunia. Ada yang disebut psikosomatis dan ada yang disebut somatopsikis,” jelas perempuan yang juga saat ini menjabat sebagai Ketua Partisipasi Publik untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak (PUSPA) Provinsi Kaltara yang berada di bawah naungan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA).

Psikosomatis berawal dari terganggunya psikis yang berakibat pada fungsi fisik, sebaliknya somatopsikis berarti terganggunya fungsi fisik dahulu, lalu berakibat pada psikologisnya.

Sumber: Tribun Kaltara
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved