Berita Tarakan Terkini
Vonis Mati Herry Wirawan Berbeda dengan Kasus Asusila Anak di Tarakan, Ini Penjelasan Dosen FH UBT
Vonis mati kasus Herry Wirawan berbeda dengan kasus asusila anak di Tarakan, ini penjelasan Dosen FH UBT.
Penulis: Andi Pausiah | Editor: M Purnomo Susanto
TRIBUNKALTARA.COM, TARAKAN – Vonis mati kasus Herry Wirawan berbeda dengan kasus asusila anak di Tarakan, ini penjelasan Dosen FH UBT.
Sidang vonis terhadap Herry Wirawan, pelaku kekerasan seksual terhadap korbannya di bawah umur, telah diputuskan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi (PT) Bandung pada Selasa (4/4/2022) lalu.
Majelis Hakim diketuai Herri Swantoro dalam putusannya mengabulkan banding yang diajukan JPU yang meminta vonis mati kepada Herry Wirawan, pemerkosa 13 santriwati di Bandung.
Lantas apakah vonis mati bisa juga diterapkan di Tarakan mengingat beberapa kasus besar melibatkan puluhan korban yang rerata usia di bawah umur?
Baca juga: Viral di Sosmed, Korban Asusila di Nunukan Depresi, Pelaku & Penyebar Video Diancam 9 Tahun Penjara
Menjawab pertanyaan tersebut, Dr. Syafruddin, S.H., M.Hum mengungkapkan, jika berkaca pada kasus Herry Wirawan, penetapan kasus vonis mati tidak bisa asal diterapkan pada kasus-kasus tindak asusila yang terjadi di Kota Tarakan.
Alasannya dibeberkan pria yang saat ini juga bertugas sebagai salah seorang dosen pasca sarjana (S2) di Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan ini,
sebelum menetapkan vonis mati, ada beberapa pertimbangan yang harus benar-benar dilakukan oleh hakim.
Sebelumnya diketahui, kasus tindak pidana asusila yang terjadi di Tarakan dan kasusnya cukup besar sampai tiga kasus.
Pertama terjadi di salah satu sekolah di Kota Tarakan dan melibatkan oknum pengajar dan di sini ada dua korban melaporkan pelaku.
Setelah ditelusuri Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk serta Keluarga Berencana (DP3APPKB) Kota Tarakan, korbannya juga ada mencapai 10 anak.
Itu terjadi di 2022 ini.
Kasus kedua terjadi di Selumit Pantai melibatkan juga oknum pengajar dan sebagai guru mengaji.
Kasus ini melibatkan lima orang anak sebagai korbannya dan melapor pada 1 Januari 2022 lalu. Pelaku berinisal AR (27).
Terakhir kasus ketiga yang juga ditangani (DP3APPKB) Kota Tarakan, adalah terbaru kasus RD atau RA (22).
Dimana korbannya dari sebelumnya hanya 30 anak bertambah menjadi 48 anak seperti disampaikan Dra. Hj. Maryam, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk serta Keluarga Berencana (DP3APPKB) Kota Tarakan dalam pemberitaan TribunKaltara.com pada Kamis (24/3/2022) lalu.
Baca juga: Polres Nunukan Jemput Pelaku Penyebar Video Asusila Anak di Bawah Umur di Sekolah Keagamaan Jateng
Pelakunya sendiri bukan tenaga pengajar resmi di sekolah santri tersebut namun pelaku dianggap senior yang dipercayakan membantu membimbing para santri di sekolah informal tersebut yang berada di Juata Laut.
Jika melihat kasusnya, rerata pelaku dan korban berjenis kelamin yang sama yakni laki-laki.
Maka dikatakan Syafruddin, kasus Herry Wirawan dan kasus yang terjadi di Tarakan tidak bisa diterapkan hukuman vonis yang sama.
Jika menyoal kasus Herry Wirawan, putusan hakim berangkat dari adanya dasar-dasar yang memberatkan terdakwa melalui pertimbangan hakim tersebut.
“Maka itu wajar saja karena menyangkut pelecehan seksual. Apalagi korbannya anak-anak. Tapi kalau dihubungkan dengan kasus di Tarakan tidak boleh menggeneralisasi atau menyimpulkan secara umum seperti itu walaupun sama-sama tindak pidana asusila,” tegasnya.
Karena bisa saja lanjutnya kasus atau case berbeda-beda. Sehingga memang perlu pertimbangan.
Apalagi kalau ada faktor yang bisa menjadi dasar peringan bagi pelaku seksual tersebut.
“Biasanya terjadi bukan karena mau semata-mata melakukan itu tapi mungkin ada penyakit yang ada dalam dirinya dan mendorong secara internal dan tidak bisa dielakkan. Hukum juga melindungi orang-orang yang seperti itu,” ujar pria alumni S2 Universitas Hasanuddin tahun 1999 ini.
Sehingga case yang terjadi di Bandung Herry Irawan berbeda dengan case yang terjadi di Tarakan.
Maka lanjutnya, setiap kali menghadapi kasus serupa harus mencari siapa yang menjadi korban dan siapa yang menjadi pelakunya,
“Kita harus mempelajari. Polisi, jaksa harus melihat itu. Supaya di pengadian nanti betul-betul fear atau adil. Bahwa secara ketentuan melawan hukum, tapi ingat alasan orang melakukan kesalahan ini. Mungkin saja ada dorongan yang tidak bias dilawan, ada penyakit. Dan namanya penyakit seperti itu sulit dilawan,” beber Syafruddin yang juga merupakan alumni Universitas Airlangga tahun 2015.
Baca juga: Beli Konten Asusila Dea Only Fans, Polisi Beber Kemungkinan Status Marshel Widianto Jadi Tersangka
Jika melihat kasus di Tarakan yang jumlah korbannya mencapai puluhan, pelaku dan korbannya sesama jenis atau bisa dikategorikan pelaku memiliki keabnormalan dalam melampiaskan hasrat seksualnya bukan pada lawan jenis melainkan pada lawan jenis.
“Itu bisa menjadi pertimbangan hakim. Tapi kalau tidak ada penyakit itu dan kerjanya suka begitu ya diberikan saja hukuman setinggi-tingginya supaya kapok. Memang secara umum ada kepentingan umum semua yang melakukan kejahatan. Harus dihukum setinggi-tingginya. Tapi jangan sampai melupakan kepentingan hukum orang untuk dilindungi karena salah satunya ada penyakit yang membelenggu dirinya,” tegas Syafruddin.
Ia melanjutkan, membahas dari sisi korban yang ingin meminta seadil-adilnya pelaku diberikan hukuman, ia tak menampik hal tersebut. Korban juga sangat perlu diperhatikan.
“Korban itu mengantarkan kita untuk memproses orang secara hukum. Jadi hukum melihat korban dan akibat. Tapi dalam memberikan penilaian kita lihat prosesnya. Kenapa bisa terjadi. Kalau murni kejahatan hukum saja setinggi-tingginya,” tegas pria yang juga pengajar Hukum Pidana Universitas Borneo Tarakan (UBT) pasca sarjana (S2).
Namun jika di balik kejahatan tersebut ada hal-hal yang menjadi beban dan pelaku melakukan kejahatan maka perlu dipertimbangkan apakah perlu sampai vonis mati.
“Kita tidak bisa melihat korban-korban pelecehan secara merata. Harus melihat case per case,” ujar pria alumni Universitas Hasanuddin dan Airlangga ini.
Jika melihat case di Tarakan, ia menilai yang terjadi di pelaku bukanlah penormalan.
“Ini sesama jenis. Berarti ada keabnormalan, karena tidak biasanya mohon maaf orang melakukan hal tersebut. Justru dengan sesame jenis berarti ada ketidaknormalan dalam diri pelaku,” ungkap Syafruddin.
Ia menambahkan, dalam pasal 44 KUHP jelas dinyatakan, orang yang tidak mampu bertanggung jawab. Lantas siapakah yang bisa dikategorikan orang yang tidak mampu bertanggung jawab lanjutnya, adalah orang yang tidak bisa memahami apa yang dilakukan kepada dirinya.
“Ada dorongan di luar kemampuannya untuk menahan itu. Itu persoalan di pengadilan nantinya. Saya minta semua kasus pelecehan melibatkan guru, murid siapapun silakan diproses secara hukum tapi nanti hakim menilai perbuatan ini layak dipidana setinggi-tingginya atau layak diringankan bahkan layak dibebaskan,” urainya.
Baca juga: Update Kasus Asusila Dea OnlyFans, Polisi Sebut Komedian Inisial M Ikut Terlibat Sebagai Pembeli
Dari sisi kacamata pihaknya, pasal yang bisa digunakan ada banyak dan mengacu pada UU Perlindungan Anak jika korbannya adalah anak yang memang usianya masih di bawah umur.
Itu tertuang dalam UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
“Kalau anak-anak korbannya, saya minta digunakan pasal perlindungan anak. Kasih dulu ancaman hukuman setinggi-tingginya. Nanti di pengadilan dilihat apakah ancaman hukuman yang diajukan jaksa ini patut menjadi pertimbangan hakim memutus setinggi-tingginya,” pungkasnya.
Penulis: Andi Pausiah