Opini
Panic Baying yang Bikin Pusing
Akibat konflik perang Rusia dan Ukraina itu banyak negeri yang kehilangan mimpi. Pertumbuhan ekonominya kembali terkoreksi. Inflasi juga meninggi.
Oleh: Dr Margiyono
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Borneo Tarakan
TRIBUNKALTARA.COM - Pasca Covid-19 harapan pulih lebih cepat dan bangkit lebih kuat muncul. Tak dinyana masalah barupun juga datang.
Konflik perang Rusia dan Ukraina dituding menjadi biang keladi.
Akibat konflik perang Rudia dan Ukraina banyak negeri yang kehilangan mimpi. Pertumbuhan ekonominya kembali terkoreksi. Inflasi juga meninggi.
Respon atas situasi itu, setiap negara melakukan penyesuaian kebijakan. Baik melalui instrumen fiscal atau moneter.
Kebijakan itu tentu diarahkan untuk mendorong pertumbuhan dan menciptakan stabilitas ekonomi yang lebih kondusif.
Namun ada sebagian yang justru memanfaatkan situasi.
Motivasinya adalah keuntungan pribadi. Tulisan ini mencoba menjelaskan prilaku spekulatif yang mengakibatkan distorsi dan ketidakpastian.
Ekonomi Global
Permasalahan konflik Rusia-Ukraina berdampak pada ekonomi global.
Hal itu dipicu oleh upaya proteksionisme dan upaya dominasi aktifitas dan komoditas oleh pihak yang terlibat konflik.
Tentu dampaknya bukan hanya dirasakan oleh kedua negara dan koalisinya. Namun memengaruhi ekonomi global.
Baca juga: Kapolres Tarakan Imbau Masyarakat Jangan Panic Buying & Timbun Minyak Goreng, Begini Alasannya
Berkaitan dengan dampaknya terhadap ekonomi global, International Monetary Fund (IMF) memprediksi, pertumbuhan global tahun 2022 hanya 2,9 persen.
Pertumbuhan itu lebih rendah dibanding tahun 2021 yang mampu tumbuh sebesar 6,1 persen. Negara maju justru mengalami penurunan lebih dalam.
Tahun 2021 tumbuh 5,1 persen, maka 2022 hanya tumbuh 2,5 persen.
Negara berkembang masih mampu tumbuh lebih tinggi yaitu, 3,1 persen.
Namun pertumbuhan itu juga jauh lebih rendah pertumbuhan pada tahun 2021.
Bahkan kurang dari setengahnya, karena tahun 2021 pertumbuhan rata-rata Negara berkembang adalah 6,8 persen.
Bahkan Tiongkok yang tumbuh 8,1 persen pada 2021, pada tahun ini diprediksi hanya tumbuh 3,4 persen.
Kondisi lebih baik dialami oleh negara-negara ASEAN-5 (Indonesia, Malaysia, Philippines, Thailand, Vietnam) pertumbuhan tahun 2022 masih lebih tinggi dibanding 2021.
IMF memprediksi tahun 2022 ASEAN-5 masih tumbuh 5, 3 persen. Padahal tahun 2021 hanya tumbuh 3,4 persen.
Berdasarkan prediksi itu, Indonesia masih memiliki peluang mengalami peningkatan kesejahteraan lebih baik di banding negara lain.
Terutama Negara-negara maju dan China.
Untuk menuju pulau harapan, dengan tingkat pertumbuhan yang kita harapkan, tentu tidak mudah. Kita harus berlayar diatas gelombang social ekonomi.
Gelombang pengganggu itu kini mulai terasa. Apakah itu? Apalagi kalau bukan stabilitas harga.
Instabilitas harga pada tingkat global tidak bisa dipisahkan oleh proteksionisme yang dilakukan oleh negara yang sedang berkonflik.
Baik yang terlibat langsung atau tidaklangsung.
Selain itu juga dampak dari gelombang panas (headwave) mengakibatkan ketersedian bahan pangan global menjadi lebih sedikit.
Keterbatasan itu memicu peningkatan inflasi global.
Sesuai data yang dirilis Bloomberg & IMF, bahwa pada Agustus 2022 inflasi (year on year), rata-rata negara berkembang adalah 10,43 persen.
Sementara negara maju 7,91 persen. Bahkan pola inflasi ini bukan hanya terjadi pada saat ini. Kenaikan telah terjadi sejak November 2020.
Perspektif Nasional
Inflasi setiap negara tentu bervariasi. Misalnya Indonesia Agustus 2022 hanya sebesar 4,69 persen (y.o.y).
Bahkan mengalami sedikit penurunan dibandingkan bulan Juli, yaitu 4,94 persen.
Trend inflasi Indonesia terjadi sejak Juni 2021 dan terus meningkat.
Baca juga: Keseimbangan Ekonomi Usai Kenaikan Harga BBM, Bupati Malinau Beber Strategi Daerah Tekan Inflasi
Jika dalam konteks global ada variasi, tentu demikian juga halnya dalam konteks regional.
BPS merilis bahwa, pada bulan Agustus , dari 90 kota yang disurvei, 79 mengalami deflasi. Namun 11 kota yang mengalami inflasi.
Meskipun mendekati inflasi moderat inflasi bulan Agustus 2022 lebih rendah dibandingkan inflasi bulan juli tahun yang sama.
Dalam konteks regional inflasi tertinggi terjadi di kota Ambon.
Sementara deflasi tertinggi terjadi di Tanjung Pandan. Variasi ini tentu diakibatkan oleh faktor-faktor yang berbeda.
Memasuki bulan September 2022 kondisinya agak sedikit berbeda. Karena pada hari Sabtu tanggal 3 September Pemerintah menaikkan harga BBM.
Baik untuk solar, pertamax atau pertalite. Diantara jenis BBM yang laian persentase kenaikan tertinggi dialami oleh Pertalite.
Harga sebelumya Rp 7.650 meningkat menjadi 10.000 per liter. Sehingga terjadi kenaikan sebesar Rp 2.350. Secara persentase mengalami kenaikan lebih dari 30 persen.
Ditengah trend inflasi yang meninggi tentu menimbulkan polemik di tengah masyarakat.
Argumentasi pemerintah adalah menyesuaikan harga minyak dunia, memperbaiki pola alokasi subsidi yang tidak tepat sasaran dan penguatan APBN.
Tentu berbeda dengan argumentasi yang disampaikan masyarakat. Namun hal yang pasti dampak kenaikan harga BBM memicu kenaikan harga secara umum.
Terutama untuk perusahaan transportasi. Mereka selama ini menikmati harga yang lebih rendah. Tak ayal akibat kenaikan harga BBM Mereka pun juga menaikan tarif.
Minimalisir Panic Buying
Sebelum kenaikan terjadi antrian. Namun setelah dinaikan, antria di semua Pom Bensin tetap saja mengular.
Terutama untu memburu solar. Hampir tiap malam ratusan mobil, truk dan kendaraan yang menggunakan solar antri.
Meskipun sopirnya tidur di rumah. Pagi subuh menjelang Pom bensin dibuka para sopir segera kembali ke Pom untuk antrian.
Baca juga: Cerita Tukang Ojek di Kabupaten Tana Tidung, Pendapatan Seret Pasca Kenaikan Harga BBM
Fenomena ini mengingatkan kita pada antrean minyak tanah dan gas melon 3 kg.
Antreannya panjang. Saat itu kita tahu itu bukan hanya akibat kebutuhan tetapi juga karena dipengaruhi oleh kapanikan (panic buying).
Takut kehabisan stok. Mekipun sudah punya gas dan minyak tanah di rumah, tetap saja ikut antri.
Perilaku ini dipengaruhi oleh ketidakpercayaan konsumen terhadap stok barang.
Kawatir!!. Jika itu tidak dikendalikan maka aka nada efek bola salju yang merugikan kondusifitas dan stabilitas ekonomi.
Solusi atas masalah ini bisa melalui waktu pelayanan yang lebih cepat atau pengawasan sejak dari produksi, transportasi dan distribusi.
Pola distribusi yang tidak tepat memberikan peluang spekulasi. Untuk konsumen akhir ada kekawatiran kehabisan stok.
Baca juga: Ditugaskan Langsung Presiden RI, BPS Kaltara Mulai Registrasi Sosial Ekonomi 2022, Ini yang Didata
Para spekulan melakukan pembelian berkali-kali, berpindah-pindah tempat dalam satu kota kemudian disimpan. Selanjutnya dijual lagi dengan harga yang lebih tinggi.
Tindakan spekulatif seperti itu bisa terjadi untuk komoditas apapun. Jika dibiarkan merusak stabilitas harga dan mengganggu upaya pemulihan ekonomi.
Oleh karena itu, selain penegakan hukum, penting juga dilakukan sosialisasi keberadaan stok. Hal itu bisa membantu meninimalisir panic buying.
Sosialisasi stok seringkali disampaikan menjelang naiknya permintaan. Misalnya saat hari raya, diumumkan jumlah stok; BBM, daging, telur, beras, gula dan sebagainya.
Bahwa barang kebutuhan itu stoknya aman dan cukup sampai dengan sekian waktu. Informasi ini tentu akan menciptakan ketenangan dan stabilitas social.
Akhirnya mendorong stabilitas ekonomi dan stabilitas harga. (*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kaltara/foto/bank/originals/Pa-Margiyono.jpg)