Opini

Pentingnya Soliditas di Tengah Tekanan Global

Seperti sedang berselancar. Ekonomi akan terus  bergerak menyusuri ruang dan waktu diantara deburan ombak. Ombak adalah siklus ekonomi yang berulang.

Editor: Sumarsono
HO
Dr Margiyono, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Borneo Tarakan. 

Oleh: Dr Margiyono

Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Borneo Tarakan

TRIBUNKALTARA.COM - Seperti sedang berselancar. Ekonomi akan terus  bergerak menyusuri ruang dan waktu diantara deburan ombak.

Ombak adalah siklus ekonomi yang berulang.

Selalu ada momentum meningkat, berubah dan menurun. Meskipun begitu setiap kondisi selalu ada  aktifitas yang  berbeda kapasitasnya.

Postur ombak seperti siklus yang menggambarkan adanya lembah, lereng dan puncak. Tidak ada posisi yang  permanen. Serba mungkin untuk berubah.

Kapan ada perubahan? Tergantung pada ada-tidaknya variabel yang memengaruhinya.

Hal yang pasti  setiap sisi memiliki implikasi ekonomi yang berbeda. Karena itu pula, setiap  sisi membutuhkan respon kebijakan yang berbeda pula.

Dalam kondisi yang “tak menentu” dibutuhkan soliditas internal yang kuat.

Baca juga: Operasi Militer, Ini Ancaman Serius Untuk Ekonomi Global Rusia, Inggris dan Amerika Kompak Blokade

Prasyarat itu menjadi sangat urgent jika pada saat yang sama ada gelombang lain yang lebih besar dan  berpotensi menggulung dinamika internal.

Berkaitan dengan itu, tulisan ini akan membahas tentang dinamika ekonomi nasional dan global yang saling memengaruhi. Serta pentingnya soliditas antar-sektor, antar-aktor dan antar-wilayah

Siklus Ekonomi

Tak selamanya diatas!. Begitulah ungkapan yang paling mudah menggambarkan kinerja ekonomi. Kadang meninggi, namun juga tak jarang menurun.

Sehingga akan memberikan anggapan bahwa: positioning terbaik jika berada di puncak; kondisi transisi atau sedang berubah di lereng. Kemudian, terburuk ada di lembah.

 Posisi paling buruk, diasosiasikan ekonomi mengalami penurunan. Diikuti oleh meningkatnya pengangguran.

Namun di balik kondisi itu juga ada baiknya, yaitu  inflasi rendah.  Pada masa transisi, meningkat atau menurun tak jarang memicu kecemasan oleh karena ketidakpastian.

Dampak ikutannya adalah tindakan panik yang mendorong spekulasi. Sementara pada saat puncak aktifitas ekonomi meninggi, oleh kenaikan permintaan.

Posisi ini pengangguran menurun, tetapi inflasi cenderung meninggi. 

Siklus itu akan terus berulang sepanjang waktu. Perbedaanya terletak pada kapasitas dan tinggi rendahnya gelombang.

Baca juga: Ancaman Resesi, Ini Tips Kelola Keuangan Agar Bisa Bertahan di Tengah Kondisi Ekonomi Tak Menentu

Oleh karena itu, mengelola siklus ekonomi seperti sedang mengelola antara “peluang vs resiko”.

Dimensi yang menjadi perhatian adalah tidak hanya; antar-aktor, antar-sektor tetapi juga antar-wilayah.

Pertumbuhan Ekonomi 2022

Pertumbuhan ekonomi dapat dijejak dan diproyeksi melalui; konsumsi masyarakat, belanja pemerintah, besarnya pembentukan modal dan net ekspor.

Data statistik tahun 2022 (yoy) menunjukan; kuartal II, tahun ini ekspor tumbuh 19,74 persen. Meskipun impor juga tumbuh, sebesar 12,34 persen. Artinya net ekspor (ekspor – impor) masih tumbuh 7,4 persen.

Pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang hanya meningkat sebesar 5,51 persen.

Sementara investasi meningkat hanya sebesar 3,07 persen.  Nilai itu masih tumbuh lebih rendah dibandingkan kuartal I sebesar 4,09 persen.

Naiknya konsumsi rumah tangga, investasi swasta dan ekspor masih menjadi mesin utama pertumbuhan. Meskipun mendapat tekanan kenaikan harga BBM dan inflasi.

Hal berbeda terjadi pada belanja pemerintah, yang justru mengalami kontraksi sebesar -5,24 persen.

Bahkan kuartal I kontraksinya lebih dalam yaitu sebesar -7,59 persen. Padahal dua tahun sebelumnya rata-rata perumbuhannya positif.

Semua variabel permintaan, selain belanja pemerintah tumbuh positif.  Tidaklah heran, ditengah naiknya tekanan global, Indonesia masih tumbuh diatas negara maju.

Amerika hanya tumbuh (2,3 persen), Eropa (2,1 persen), Jepang (1,7 persen).

Tiongkok pertumbuhannya juga lebih kecil hanya sebesar 3,4 persen. Padahal 2021 masih tumbuh 8,1 persen. 

Meskipun Bank Indonesia memproyeksi bahwa pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2022 hanya 4,3 persen.

Namun IMF memprediksi negara-negara ASEAN-5 (Indonesia, Malaysia, Philippines, Thailand, Vietnam) tahun 2022 bisa tumbuh sebesar 5,3 persen. Proyeksi mana yang terbukti?.

Soliditas: Antar-sektor

 Beberapa waktu yang lalu kita masih ingat gonjang-ganjing harga minyak goreng. Ketidaksolidan aktifitas hulu (baca sub-sektor perkebunan) dengan hilir (sektor industri) mengakibatkan kebijakan tidak efektif.

Harga buah tandan segar di tekan, namun harga jual minyak tidak juga turun.

Baca juga: Ancaman Resesi, Ini Tips Kelola Keuangan Agar Bisa Bertahan di Tengah Kondisi Ekonomi Tak Menentu

Sejak Januari 2021 hingga Mei 2022 harga terus meningkat. Mulai Juli  terus menurun.

Harga minyak kemasan pada Juni 2022 masih RP 22.300/liter. Sebulan berikutnya menjadi 21.600/liter. Untuk jenis curah Maret 2022 masih 17.300 dan Juli 2022 sudah 15.000/liter.

Keterkaitan berikutnya adalah antara sektor riil dengan keuangan.  Kedua sektor sangat tergantung pada penetapan kebijakan “tingkat bunga”.

Meskipun sempat menjadi kekawatiran, kebijakan peningkatan BI 7-Day Reverse Repo Rate menjadi 4,75 persen pada Oktober 2022, ternyata kebijakan itu tidak berpengaruh berpengaruh negatif pada penyerapan kredit.

Bahkan sampai September 2022 kredit justru tumbuh sebesar 11 persen.

Penetapan kebijakan yang tepat akan menjaga soliditas antar-sektor, sehingga mampu menciptakan stabilitas.

Berdasarkan penjelasan tersebut soliditas sektor perkebunan dengan industri minyak, mampu menciptakan harga minyak yang lebih rasional.

Demikian juga soliditas antara sektor riil dengan sektor keuangan mampu menciptakan dinamika hubungan yang saling menguatkan.

Dapatlah dinyatakan bahwa, soliditas antar-sektor akan meminimalisir potensi “spekulatif” yang tidak pro stabilitas, serta menjauhkan target pertumbuhan.

Antar-aktor

Kondisi domestik tetap terjaga akan meminimalisir tekanan global. Optimisme semua pihak (Pemerintah, pengusaha dan masyarakat) akan melahirkan ekspektasi positif.

Hal itu setidaknya tergambar oleh Indeks pembelian barang tahan lama oleh konsumen sebesar 102,48. Bahkan trendnya terus meningkat sejak Juni 2020.

Artinya konsumen akan tetap belanja dengan wajar dan justru meningkat. Pengusaha akan terus berproduksi dan menambah kapasitas.

Baca juga: Krisis Energi Global Pengaruhi Penerimaan Royalti Batubara, Pendapatan APBDP Malinau 2022 Naik

Kondisi itu tergambar penyerapan kredit yang meningkat. Bahkan perbankan merevisi Rencana Bisnis Bank (RBB) awalnya 9,44 menjadi 11,63.

Kita juga terbiasa, menjelang akhir tahun realisasibelanja pemerintah kan meningkat.

Geliat sektor riil yang direspon oleh kucuran kredit perbankan akan menggerakan sektor riil dan keuangan.

Naiknya realisasi belanja pemerintah akan semakin mendorong ekonomi  tumbuh lebih tinggi di banding kuartal sebelumnya.

Antar-wilayah

Kerjasama antar-wilayah menentukan stabilitas ekonomi. Betapa tidak, hubungan fungsional antar-wilayah melahirkan saling-ketergantungan.

Terutama untuk mencukupi kebutuhan daerahnya masing-masing.

Baca juga: Bersama-sama Bank Indonesia, DPRD Kaltara Dorong Ekonomi Hijau, Minta Aksi Nyata Pemerintah

Soliditas antar-wilayah akan saling menguntungkan. Daerah yang produksinya surplus membutuhkan pasar untuk meningkatkan nilai tambah.

Sementara yang kekurangan akan mengimpor. Hal itu menjadi upaya menekan potensi kenaikan harga dan inflas.

Oleh karena itu, mutlak dilakukan koordinasi antar-wilayah agar potensi inflasi di setiap daerah bisa diminimalisir melalui perencanaan produksi, distribusi akan sesuai dengan besarnya konsumsi di masing-masing wilayah.

Akhirnya soliditas antar-wilayah akan menciptakan stabilitas ekonomi yang pro pertumbuhan dan kesejahteraan yang lebih berkelanjutan. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

BERSAMA RAMADAN DI ERA DIGITAL

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved